Penataan Regulasi Pasca-Omnibus Law
Senin, 27 Februari 2023 - 11:22 WIB
Aji Kurnia Dermawan
Aparatur Sipil Negara Biro Hukum Kementerian Pertanian
Menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum
di Universitas Padjadjaran
Salah satu alasan (ratio legis) pengadopsian metode omnibus law dalam pembentukan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja (Dicabut dengan Perppu No. 2/2022) yakni urgensi untuk melakukan reformasi regulasi di bidang perizinan berusaha.
Beleid ini dikeluarkan untuk menyelesaikan panjangnya rantai birokrasi, peraturan yang tumpang tindih, dan banyaknya regulasi yang tidak harmonis di Pusat dan daerah (hyper-regulation) (Naskah Akademis RUU Cipta Kerja, hlm. 23).
Hyper-regulationdi tingkat peraturan pelaksanaan sebagai tindak lanjut dari banyaknya undang-undang dalam bahasa Petra Mahy dari Department of Business Law & Taxation, Monash University, Australia telah menyebabkan“the site of bureaucratic power struggles and infighting” (Mahy, 2022). Suatu kalimat yang lebih sarkastis dibanding ungkapan “ego-sektoral” yang selama ini sering digunakan beberapa pihak.
Barbara L Sinclair dalam literatur lama yang ditulisnya telah menyebut undang-undangomnibus lawsebagai, “Legislation that addresses numerous and not necessarily related subjects, issues, and programs-and therefore is usually highly complex and long” (Sinclair, 2016).
Kajian komparatifomnibus lawyang dilakukan oleh Ittai Bar-Siman-Tov juga mengkonfirmasi bahwa praktik di banyak negara, metode ini dipakai untuk mengesahkan perubahan berbagai undang-undang dalam satu naskah melalui proses yang cepat (Bar-Siman-Tov, 2021). Batasan ini telah lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwaomnibus lawsengaja dipilih untuk melakukan simplifikasi akibat disharmoni regulasi di banyak sektor.
Aparatur Sipil Negara Biro Hukum Kementerian Pertanian
Menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum
di Universitas Padjadjaran
Salah satu alasan (ratio legis) pengadopsian metode omnibus law dalam pembentukan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja (Dicabut dengan Perppu No. 2/2022) yakni urgensi untuk melakukan reformasi regulasi di bidang perizinan berusaha.
Beleid ini dikeluarkan untuk menyelesaikan panjangnya rantai birokrasi, peraturan yang tumpang tindih, dan banyaknya regulasi yang tidak harmonis di Pusat dan daerah (hyper-regulation) (Naskah Akademis RUU Cipta Kerja, hlm. 23).
Hyper-regulationdi tingkat peraturan pelaksanaan sebagai tindak lanjut dari banyaknya undang-undang dalam bahasa Petra Mahy dari Department of Business Law & Taxation, Monash University, Australia telah menyebabkan“the site of bureaucratic power struggles and infighting” (Mahy, 2022). Suatu kalimat yang lebih sarkastis dibanding ungkapan “ego-sektoral” yang selama ini sering digunakan beberapa pihak.
Barbara L Sinclair dalam literatur lama yang ditulisnya telah menyebut undang-undangomnibus lawsebagai, “Legislation that addresses numerous and not necessarily related subjects, issues, and programs-and therefore is usually highly complex and long” (Sinclair, 2016).
Kajian komparatifomnibus lawyang dilakukan oleh Ittai Bar-Siman-Tov juga mengkonfirmasi bahwa praktik di banyak negara, metode ini dipakai untuk mengesahkan perubahan berbagai undang-undang dalam satu naskah melalui proses yang cepat (Bar-Siman-Tov, 2021). Batasan ini telah lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwaomnibus lawsengaja dipilih untuk melakukan simplifikasi akibat disharmoni regulasi di banyak sektor.
tulis komentar anda