Tak Kenakan Masker di Tempat Umum, Siap-siap Didenda
Kamis, 16 Juli 2020 - 06:07 WIB
Program yang bakal dimulai 27 Juli 2020 mendatang diberlakukan sebagai upaya untuk mendisiplinkan masyarakat sekaligus merespons laporan terkait mulai menurunnya kesadaran masyarakat dalam mengenakan masker. Rencananya, dana yang terkumpul dari penerapan sanksi tersebut akan masuk ke kas negara. Adapun penegakan aturan tersebut akan dilaksanakan oleh Satpol PP, TNI, dan Polri.
Sejumlah daerah lain seperti DKI Jakarta sebenarnya juga menerapkan sanksi, tapi tidak berjalan efektif. Selain denda Rp250.000, Pemprov DKI Jakarta juga mengancam pelanggar dengan kerja sosial. (Baca juga: Jenderal AS Peringatkan Iran Tidak Bertindak Gegabah)
Bisa Efektif?
Anggota Komisi IX Fraksi PAN Intan Fauzi mengatakan, kalau kebijakan denda dimaksudkan sebagai salah satu upaya pemerintah menekan penyebaran virus korona sebagai bagian dari protokol kesehatan, itu baik. Namun dia menggariskan, kebijakan itu harus didukung juga dengan ketersediaan fasilitas yang cukup.
Misalnya masker. Selama ini masker harganya relatif mahal, sampai akhirnya produksi dalam negeri dan masyarakat juga buat sendiri dengan tangan. "Selain itu, harus dipikirkan, dengan adanya denda ini tidak mudah juga buat masyarakat dalam kondisi sulit harus ada lagi tambahan biaya. Bagi beberapa orang mungkin bisa," ujarnya.
Selain itu, Intan juga menekankan pentingnya tempat mencuci tangan, terutama di pusat interaksi publik seperti stasiun, kawasan perbelanjaan, dan lainnya. Begitu pula dengan tanda silang X untuk membatasi jarak orang. "Kalau tidak ada rambu-rambunya, bagaimana mau patuh?," tanyanya.
Karena itu, dia pesimistis sanksi bisa efektif memaksa masyarakat patuh mengenakan masker dan protokol kesehatan lain. “Apakah itu efektif? Ini kan kita semua lagi susah. Belum lagi kalau ada kurungan badan bagi pelanggar, jangan disamakan orang yang tidak patuh atas protokol kesehatan dengan melakukan tindakan kriminal,” tolaknya. (Baca juga: Ramai Kawin Tangkap di Sumba, Dandim Panggil Babinsa)
Selain itu, menurut Intan, masyarakat sepertinya sudah apatis dengan Covid-19 dan diatur. karenanya, pemerintah sebaiknya melakukan mitigasi yang tegas dalam rangka pencegahan persebaran Covid-19. "Di sisi lain, harus kerja extraordinary karena penanganan ini sudah lintas kementerian/lembaga, bukan hanya recofusing anggarannya. Kemudian, harus diikuti dengan belanja-belanja untuk fasilitas kesehatan," ucapnya.
Pengamat bidang sosial pada lembaga riset kebijakan publik, The Indonesian Institute (TII), Vunny Wijaya, menilai kebijakan pemerintah terkait protokol kesehatan dalam rangka menertibkan masyarakat dengan aturan yang tegas disertai sanksi memang baik. Namun, jenis sanksinya yang perlu diperhatikan. Dalam pandangannya, bentuk sanksi denda bisa memberatkan masyarakat.
"Jika pun diberikan sanksi, paling tidak dimulai dari teguran hingga kerja sosial, misalnya, membersihkan fasilitas umum seperti menyapu dan sebagainya, seperti yang berlaku di DKI Jakarta. Bagi wilayah seperti Jakarta yang telah mempraktikkan sanksi kerja sosial, perlu juga dilihat efektivitasnya atau hasilnya," katanya.
Sejumlah daerah lain seperti DKI Jakarta sebenarnya juga menerapkan sanksi, tapi tidak berjalan efektif. Selain denda Rp250.000, Pemprov DKI Jakarta juga mengancam pelanggar dengan kerja sosial. (Baca juga: Jenderal AS Peringatkan Iran Tidak Bertindak Gegabah)
Bisa Efektif?
Anggota Komisi IX Fraksi PAN Intan Fauzi mengatakan, kalau kebijakan denda dimaksudkan sebagai salah satu upaya pemerintah menekan penyebaran virus korona sebagai bagian dari protokol kesehatan, itu baik. Namun dia menggariskan, kebijakan itu harus didukung juga dengan ketersediaan fasilitas yang cukup.
Misalnya masker. Selama ini masker harganya relatif mahal, sampai akhirnya produksi dalam negeri dan masyarakat juga buat sendiri dengan tangan. "Selain itu, harus dipikirkan, dengan adanya denda ini tidak mudah juga buat masyarakat dalam kondisi sulit harus ada lagi tambahan biaya. Bagi beberapa orang mungkin bisa," ujarnya.
Selain itu, Intan juga menekankan pentingnya tempat mencuci tangan, terutama di pusat interaksi publik seperti stasiun, kawasan perbelanjaan, dan lainnya. Begitu pula dengan tanda silang X untuk membatasi jarak orang. "Kalau tidak ada rambu-rambunya, bagaimana mau patuh?," tanyanya.
Karena itu, dia pesimistis sanksi bisa efektif memaksa masyarakat patuh mengenakan masker dan protokol kesehatan lain. “Apakah itu efektif? Ini kan kita semua lagi susah. Belum lagi kalau ada kurungan badan bagi pelanggar, jangan disamakan orang yang tidak patuh atas protokol kesehatan dengan melakukan tindakan kriminal,” tolaknya. (Baca juga: Ramai Kawin Tangkap di Sumba, Dandim Panggil Babinsa)
Selain itu, menurut Intan, masyarakat sepertinya sudah apatis dengan Covid-19 dan diatur. karenanya, pemerintah sebaiknya melakukan mitigasi yang tegas dalam rangka pencegahan persebaran Covid-19. "Di sisi lain, harus kerja extraordinary karena penanganan ini sudah lintas kementerian/lembaga, bukan hanya recofusing anggarannya. Kemudian, harus diikuti dengan belanja-belanja untuk fasilitas kesehatan," ucapnya.
Pengamat bidang sosial pada lembaga riset kebijakan publik, The Indonesian Institute (TII), Vunny Wijaya, menilai kebijakan pemerintah terkait protokol kesehatan dalam rangka menertibkan masyarakat dengan aturan yang tegas disertai sanksi memang baik. Namun, jenis sanksinya yang perlu diperhatikan. Dalam pandangannya, bentuk sanksi denda bisa memberatkan masyarakat.
"Jika pun diberikan sanksi, paling tidak dimulai dari teguran hingga kerja sosial, misalnya, membersihkan fasilitas umum seperti menyapu dan sebagainya, seperti yang berlaku di DKI Jakarta. Bagi wilayah seperti Jakarta yang telah mempraktikkan sanksi kerja sosial, perlu juga dilihat efektivitasnya atau hasilnya," katanya.
tulis komentar anda