Tak Kenakan Masker di Tempat Umum, Siap-siap Didenda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Upaya mengajak masyarakat membudayakan disiplin mengenakan masker untuk mencegah penyebaran virus corona (Covid-19) ternyata bukan perkara mudah. Apalagi dalam kondisi new normal, kesadaran untuk bahu membahu mempersempit semua peluang penyebarluasan corona semakin rendah.
Karena itulah opsi pengenaan denda bagi mereka yang tidak mengenakan masker semakin relevan. Bahkan, langkah tersebut bukan tidak mungkin dilaksanakan di Jawa Barat saja atau daerah lain yang sudah menerapkan aturan tersebut, tapi juga diadopsi secara nasional. Namun, rencana penerapan sanksi denda menuai kritikan. Selain karena tidak bakal efektif, denda bukan langkah mendidik dan terlalu memberatkan masyarakat. Jika pun terpaksa harus ada sanksi, yang lebih tepat dilakukan berupa sanksi kerja sosial.
Dorongan agar daerah lain menerapkan sanksi pihak yang tidak mengenakan masker atau pelanggar protokol kesehatan lain kemarin disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat mengumpulkan para gubernur di Istana Bogor kemarin. Presiden berharap pemberlakuan sanksi dapat meningkatkan disiplin masyarakat. Dengan begitu, roda ekonomi dapat dijalankan. “Pak Presiden memberikan arahan untuk menegakkan disiplin. Memang seyogianya ada sanksi. Apa itu denda maupun administrasi,” kata Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di Istana Kepresidenan Bogor kemarin.
Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil membenarkan Presiden mendorong pelaksanaan denda bagi pelanggar protokol kesehatan. Bahkan, Presiden tengah menggodok instruksi presiden (inpres) yang akan menjadi dasar hukum penerapan denda. "Presiden sedang siapkan namanya instruksi presiden sebagai penguatan dasar hukum untuk sanksi," ujarnya di Istana Bogor kemarin. (Baca: Eonomi Diprediksi Minus 4,3%, Jokowi: Tak Bisa Lagi Andalkan Investasi)
Menurut pria yang akrab disapa Kang Emil itu, Pemprov Jabar mendapat apresiasi dari Presiden Jokowi lantaran akan memberlakukan sanksi denda kepada warga yang tak patuh protokol kesehatan. Seperti diketahui, Pemprov Jawa Barat akan memberlakukan sanksi denda kepada warga yang tidak pakai masker di tempat umum sebesar Rp100.000-150.000. Kebijakan itu berlaku mulai 27 Juli 2020.
"Tadi ditanya Jawa Barat berapa, saya bilang sekitar Rp100.000 sampai Rp150.000. (Jokowi bilang) ya nanti diperkuat oleh inpres yang mudah-mudahan pekan ini keluar. Jabar mendenda yang tidak pakai masker di ruang publik, kecuali pidato, kecuali makan, itu pada 27 Juli," kata Kang Emil.
Sebelumnya pemerintah memang tengah merumuskan sanksi untuk pelanggar protokol kesehatan Covid-19. Presiden Jokowi tampaknya geregetan karena rendahnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. “Yang kita siapkan sekarang ini untuk ada sanksi. Sanksi. Misalnya pakai masker di sebuah provinsi kita survei. Ada 30%. Yang 70% enggak pakai masker. Bagaimana tingkat positifnya enggak tinggi,” ujar Jokowi beberapa waktu lalu. (Baca juga: Rapat Paripurna DPR Sahkan Perppu Penundaan Pilkada 2020)
Namun, sanksi seperti apa, apakah dilakukan dengan menjatuhkan denda atau kerja sosial, pemerintah pusat belum memutuskan. “Yang kita siapkan regulasi untuk memberikan sanksi baik dalam bentuk denda atau bentuk kerja sosial atau tipiring (tindak pidana ringan). Tapi masih dalam pembahasan. Memang kalau diberikan itu menurut kita semua akan berbeda,” ungkapnya.
Wacana denda terhadap warga yang tidak mengenakan masker mengemuka kembali saat Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Provinsi Jabar bakal menerapkan aturan tersebut. Mereka bakal menjatuhkan denda Rp100.000-150.0000 bagi warga yang kedapatan tidak mengenakan masker di tempat-tempat umum.
Program yang bakal dimulai 27 Juli 2020 mendatang diberlakukan sebagai upaya untuk mendisiplinkan masyarakat sekaligus merespons laporan terkait mulai menurunnya kesadaran masyarakat dalam mengenakan masker. Rencananya, dana yang terkumpul dari penerapan sanksi tersebut akan masuk ke kas negara. Adapun penegakan aturan tersebut akan dilaksanakan oleh Satpol PP, TNI, dan Polri.
Sejumlah daerah lain seperti DKI Jakarta sebenarnya juga menerapkan sanksi, tapi tidak berjalan efektif. Selain denda Rp250.000, Pemprov DKI Jakarta juga mengancam pelanggar dengan kerja sosial. (Baca juga: Jenderal AS Peringatkan Iran Tidak Bertindak Gegabah)
Bisa Efektif?
Anggota Komisi IX Fraksi PAN Intan Fauzi mengatakan, kalau kebijakan denda dimaksudkan sebagai salah satu upaya pemerintah menekan penyebaran virus korona sebagai bagian dari protokol kesehatan, itu baik. Namun dia menggariskan, kebijakan itu harus didukung juga dengan ketersediaan fasilitas yang cukup.
Misalnya masker. Selama ini masker harganya relatif mahal, sampai akhirnya produksi dalam negeri dan masyarakat juga buat sendiri dengan tangan. "Selain itu, harus dipikirkan, dengan adanya denda ini tidak mudah juga buat masyarakat dalam kondisi sulit harus ada lagi tambahan biaya. Bagi beberapa orang mungkin bisa," ujarnya.
Selain itu, Intan juga menekankan pentingnya tempat mencuci tangan, terutama di pusat interaksi publik seperti stasiun, kawasan perbelanjaan, dan lainnya. Begitu pula dengan tanda silang X untuk membatasi jarak orang. "Kalau tidak ada rambu-rambunya, bagaimana mau patuh?," tanyanya.
Karena itu, dia pesimistis sanksi bisa efektif memaksa masyarakat patuh mengenakan masker dan protokol kesehatan lain. “Apakah itu efektif? Ini kan kita semua lagi susah. Belum lagi kalau ada kurungan badan bagi pelanggar, jangan disamakan orang yang tidak patuh atas protokol kesehatan dengan melakukan tindakan kriminal,” tolaknya. (Baca juga: Ramai Kawin Tangkap di Sumba, Dandim Panggil Babinsa)
Selain itu, menurut Intan, masyarakat sepertinya sudah apatis dengan Covid-19 dan diatur. karenanya, pemerintah sebaiknya melakukan mitigasi yang tegas dalam rangka pencegahan persebaran Covid-19. "Di sisi lain, harus kerja extraordinary karena penanganan ini sudah lintas kementerian/lembaga, bukan hanya recofusing anggarannya. Kemudian, harus diikuti dengan belanja-belanja untuk fasilitas kesehatan," ucapnya.
Pengamat bidang sosial pada lembaga riset kebijakan publik, The Indonesian Institute (TII), Vunny Wijaya, menilai kebijakan pemerintah terkait protokol kesehatan dalam rangka menertibkan masyarakat dengan aturan yang tegas disertai sanksi memang baik. Namun, jenis sanksinya yang perlu diperhatikan. Dalam pandangannya, bentuk sanksi denda bisa memberatkan masyarakat.
"Jika pun diberikan sanksi, paling tidak dimulai dari teguran hingga kerja sosial, misalnya, membersihkan fasilitas umum seperti menyapu dan sebagainya, seperti yang berlaku di DKI Jakarta. Bagi wilayah seperti Jakarta yang telah mempraktikkan sanksi kerja sosial, perlu juga dilihat efektivitasnya atau hasilnya," katanya.
Vunny kemudian menandaskan, bagi daerah yang ingin mempraktikkan, sebaiknya diadakan kajian terlebih dulu, seberapa jauh pemahaman masyarakatnya terkait penggunaan masker, termasuk pendapat masyarakat soal denda. Baru kemudian mengambil kebijakan yang tepat. “Memutus Covid-19 ini kan yang paling utama sebenarnya bagaimana mengedukasi dan mendorong masyarakat agar mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat secara lebih konsisten ditambah adaptasi perilaku baru, misalnya jaga jarak,” imbuhnya.
Kolaborasi pemerintah dengan masyarakat dalam sosialisasi yang lebih merata juga masih perlu ditingkatkan lagi. Apalagi memasuki era adaptasi kebiasaan baru (ABK) yang sebelumnya disebut new normal.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menilai, sanksi denda bagi warga yang tidak menggunakan masker di tempat-tempat umum kurang efektif. Menurut dia, Pemprov Jabar sebaiknya fokus mengoptimalkan sosialisasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat terkait penerapan protokol pencegahan Covid-19. (Lihat videonya: Tak Puas Perihal Warisan, Anak Tega Aniaya Ibu Kandung hingga Tewas di Kebumen)
Dia menegaskan, penerapan sanksi merupakan opsi paling terakhir. "Pemerintah harus memfasilitasi, misalnya memberikan bantuan masker. Kalau upaya-upaya itu sudah optimal, dari sisi edukasi pemberdayaan masyarakat sudah optimal, baru pada tahap sanksi," ujarnya kemarin.
Cecep juga menekankan, jika Pemprov Jabar merasa telah maksimal melakukan sosialisasi dan edukasi dan memutuskan akan menerapkan sanksi, sanksi tersebut seharusnya bukan berupa denda, melainkan sanksi sosial. Sekali lagi, dia menekankan sanksi dalam bentuk denda tidak akan membuat jera para pelanggar.
Selain itu, sanksi denda juga dinilainya tidak berkeadilan bagi masyarakat menengah ke bawah. "Mungkin bagi masyarakat tertentu uang segitu, misalnya Rp150.000, itu terasa berat. Tapi bagi masyarakat yang mampu, bisa saja membiarkan dirinya tidak menggunakan masker karena mampu membayar denda," katanya. (Dita Angga/Agung Bakti Sarasa/Faorick Pakpahan/Fahmi)
Karena itulah opsi pengenaan denda bagi mereka yang tidak mengenakan masker semakin relevan. Bahkan, langkah tersebut bukan tidak mungkin dilaksanakan di Jawa Barat saja atau daerah lain yang sudah menerapkan aturan tersebut, tapi juga diadopsi secara nasional. Namun, rencana penerapan sanksi denda menuai kritikan. Selain karena tidak bakal efektif, denda bukan langkah mendidik dan terlalu memberatkan masyarakat. Jika pun terpaksa harus ada sanksi, yang lebih tepat dilakukan berupa sanksi kerja sosial.
Dorongan agar daerah lain menerapkan sanksi pihak yang tidak mengenakan masker atau pelanggar protokol kesehatan lain kemarin disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat mengumpulkan para gubernur di Istana Bogor kemarin. Presiden berharap pemberlakuan sanksi dapat meningkatkan disiplin masyarakat. Dengan begitu, roda ekonomi dapat dijalankan. “Pak Presiden memberikan arahan untuk menegakkan disiplin. Memang seyogianya ada sanksi. Apa itu denda maupun administrasi,” kata Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di Istana Kepresidenan Bogor kemarin.
Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil membenarkan Presiden mendorong pelaksanaan denda bagi pelanggar protokol kesehatan. Bahkan, Presiden tengah menggodok instruksi presiden (inpres) yang akan menjadi dasar hukum penerapan denda. "Presiden sedang siapkan namanya instruksi presiden sebagai penguatan dasar hukum untuk sanksi," ujarnya di Istana Bogor kemarin. (Baca: Eonomi Diprediksi Minus 4,3%, Jokowi: Tak Bisa Lagi Andalkan Investasi)
Menurut pria yang akrab disapa Kang Emil itu, Pemprov Jabar mendapat apresiasi dari Presiden Jokowi lantaran akan memberlakukan sanksi denda kepada warga yang tak patuh protokol kesehatan. Seperti diketahui, Pemprov Jawa Barat akan memberlakukan sanksi denda kepada warga yang tidak pakai masker di tempat umum sebesar Rp100.000-150.000. Kebijakan itu berlaku mulai 27 Juli 2020.
"Tadi ditanya Jawa Barat berapa, saya bilang sekitar Rp100.000 sampai Rp150.000. (Jokowi bilang) ya nanti diperkuat oleh inpres yang mudah-mudahan pekan ini keluar. Jabar mendenda yang tidak pakai masker di ruang publik, kecuali pidato, kecuali makan, itu pada 27 Juli," kata Kang Emil.
Sebelumnya pemerintah memang tengah merumuskan sanksi untuk pelanggar protokol kesehatan Covid-19. Presiden Jokowi tampaknya geregetan karena rendahnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. “Yang kita siapkan sekarang ini untuk ada sanksi. Sanksi. Misalnya pakai masker di sebuah provinsi kita survei. Ada 30%. Yang 70% enggak pakai masker. Bagaimana tingkat positifnya enggak tinggi,” ujar Jokowi beberapa waktu lalu. (Baca juga: Rapat Paripurna DPR Sahkan Perppu Penundaan Pilkada 2020)
Namun, sanksi seperti apa, apakah dilakukan dengan menjatuhkan denda atau kerja sosial, pemerintah pusat belum memutuskan. “Yang kita siapkan regulasi untuk memberikan sanksi baik dalam bentuk denda atau bentuk kerja sosial atau tipiring (tindak pidana ringan). Tapi masih dalam pembahasan. Memang kalau diberikan itu menurut kita semua akan berbeda,” ungkapnya.
Wacana denda terhadap warga yang tidak mengenakan masker mengemuka kembali saat Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Provinsi Jabar bakal menerapkan aturan tersebut. Mereka bakal menjatuhkan denda Rp100.000-150.0000 bagi warga yang kedapatan tidak mengenakan masker di tempat-tempat umum.
Program yang bakal dimulai 27 Juli 2020 mendatang diberlakukan sebagai upaya untuk mendisiplinkan masyarakat sekaligus merespons laporan terkait mulai menurunnya kesadaran masyarakat dalam mengenakan masker. Rencananya, dana yang terkumpul dari penerapan sanksi tersebut akan masuk ke kas negara. Adapun penegakan aturan tersebut akan dilaksanakan oleh Satpol PP, TNI, dan Polri.
Sejumlah daerah lain seperti DKI Jakarta sebenarnya juga menerapkan sanksi, tapi tidak berjalan efektif. Selain denda Rp250.000, Pemprov DKI Jakarta juga mengancam pelanggar dengan kerja sosial. (Baca juga: Jenderal AS Peringatkan Iran Tidak Bertindak Gegabah)
Bisa Efektif?
Anggota Komisi IX Fraksi PAN Intan Fauzi mengatakan, kalau kebijakan denda dimaksudkan sebagai salah satu upaya pemerintah menekan penyebaran virus korona sebagai bagian dari protokol kesehatan, itu baik. Namun dia menggariskan, kebijakan itu harus didukung juga dengan ketersediaan fasilitas yang cukup.
Misalnya masker. Selama ini masker harganya relatif mahal, sampai akhirnya produksi dalam negeri dan masyarakat juga buat sendiri dengan tangan. "Selain itu, harus dipikirkan, dengan adanya denda ini tidak mudah juga buat masyarakat dalam kondisi sulit harus ada lagi tambahan biaya. Bagi beberapa orang mungkin bisa," ujarnya.
Selain itu, Intan juga menekankan pentingnya tempat mencuci tangan, terutama di pusat interaksi publik seperti stasiun, kawasan perbelanjaan, dan lainnya. Begitu pula dengan tanda silang X untuk membatasi jarak orang. "Kalau tidak ada rambu-rambunya, bagaimana mau patuh?," tanyanya.
Karena itu, dia pesimistis sanksi bisa efektif memaksa masyarakat patuh mengenakan masker dan protokol kesehatan lain. “Apakah itu efektif? Ini kan kita semua lagi susah. Belum lagi kalau ada kurungan badan bagi pelanggar, jangan disamakan orang yang tidak patuh atas protokol kesehatan dengan melakukan tindakan kriminal,” tolaknya. (Baca juga: Ramai Kawin Tangkap di Sumba, Dandim Panggil Babinsa)
Selain itu, menurut Intan, masyarakat sepertinya sudah apatis dengan Covid-19 dan diatur. karenanya, pemerintah sebaiknya melakukan mitigasi yang tegas dalam rangka pencegahan persebaran Covid-19. "Di sisi lain, harus kerja extraordinary karena penanganan ini sudah lintas kementerian/lembaga, bukan hanya recofusing anggarannya. Kemudian, harus diikuti dengan belanja-belanja untuk fasilitas kesehatan," ucapnya.
Pengamat bidang sosial pada lembaga riset kebijakan publik, The Indonesian Institute (TII), Vunny Wijaya, menilai kebijakan pemerintah terkait protokol kesehatan dalam rangka menertibkan masyarakat dengan aturan yang tegas disertai sanksi memang baik. Namun, jenis sanksinya yang perlu diperhatikan. Dalam pandangannya, bentuk sanksi denda bisa memberatkan masyarakat.
"Jika pun diberikan sanksi, paling tidak dimulai dari teguran hingga kerja sosial, misalnya, membersihkan fasilitas umum seperti menyapu dan sebagainya, seperti yang berlaku di DKI Jakarta. Bagi wilayah seperti Jakarta yang telah mempraktikkan sanksi kerja sosial, perlu juga dilihat efektivitasnya atau hasilnya," katanya.
Vunny kemudian menandaskan, bagi daerah yang ingin mempraktikkan, sebaiknya diadakan kajian terlebih dulu, seberapa jauh pemahaman masyarakatnya terkait penggunaan masker, termasuk pendapat masyarakat soal denda. Baru kemudian mengambil kebijakan yang tepat. “Memutus Covid-19 ini kan yang paling utama sebenarnya bagaimana mengedukasi dan mendorong masyarakat agar mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat secara lebih konsisten ditambah adaptasi perilaku baru, misalnya jaga jarak,” imbuhnya.
Kolaborasi pemerintah dengan masyarakat dalam sosialisasi yang lebih merata juga masih perlu ditingkatkan lagi. Apalagi memasuki era adaptasi kebiasaan baru (ABK) yang sebelumnya disebut new normal.
Pakar kebijakan publik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menilai, sanksi denda bagi warga yang tidak menggunakan masker di tempat-tempat umum kurang efektif. Menurut dia, Pemprov Jabar sebaiknya fokus mengoptimalkan sosialisasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat terkait penerapan protokol pencegahan Covid-19. (Lihat videonya: Tak Puas Perihal Warisan, Anak Tega Aniaya Ibu Kandung hingga Tewas di Kebumen)
Dia menegaskan, penerapan sanksi merupakan opsi paling terakhir. "Pemerintah harus memfasilitasi, misalnya memberikan bantuan masker. Kalau upaya-upaya itu sudah optimal, dari sisi edukasi pemberdayaan masyarakat sudah optimal, baru pada tahap sanksi," ujarnya kemarin.
Cecep juga menekankan, jika Pemprov Jabar merasa telah maksimal melakukan sosialisasi dan edukasi dan memutuskan akan menerapkan sanksi, sanksi tersebut seharusnya bukan berupa denda, melainkan sanksi sosial. Sekali lagi, dia menekankan sanksi dalam bentuk denda tidak akan membuat jera para pelanggar.
Selain itu, sanksi denda juga dinilainya tidak berkeadilan bagi masyarakat menengah ke bawah. "Mungkin bagi masyarakat tertentu uang segitu, misalnya Rp150.000, itu terasa berat. Tapi bagi masyarakat yang mampu, bisa saja membiarkan dirinya tidak menggunakan masker karena mampu membayar denda," katanya. (Dita Angga/Agung Bakti Sarasa/Faorick Pakpahan/Fahmi)
(ysw)