Pemerintah Dinilai Tak Tepat Tangani Corona dengan Darurat Sipil

Selasa, 31 Maret 2020 - 07:53 WIB
Pemerintah Dinilai Tak Tepat Tangani Corona dengan Darurat Sipil
Pemerintah Dinilai Tak Tepat Tangani Corona dengan Darurat Sipil
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR, Saleh Pertaonan Daulay melihat, kebijakan pemerintah sejauh ini masih belum mampu mengendalikan kecepatan penyebaran virus corona atau COVID-19. Terbukti jumlah warga negara yang terpapar makin banyak. Begitu juga, jumlah yang meninggal dunia dilaporkan semakin bertambah.

"Kelihatannya, darurat sipil itu diperlukan hanya untuk mendukung kebijakan pembatasan sosial berskala besar itu. Saya khawatir, darurat sipil ini pun tidak begitu membantu," ujar Saleh saat dihubungi SINDOnews, Selasa (31/3/2020).

(Baca juga: Presiden Dinilai Perlu Berlakukan Perppu Keadaan Darurat Sipil)

Menurut Saleh, melihat kondisi saat ini, sebaiknya pemerintah sudah lebih tepat jika memilih opsi karantina wilayah. Dengan karantina wilayah, warga masyarakat bisa diatur agar lebih taat dan tertib. Karantina itu juga dapat disebut kunci dari keberhasilan social and physical distancing.

"Pemerintah harus memikirkan ulang pilihan-pilihan kebijakan yang akan diambil. Jika pun mau menerapkan darurat sipil, maka masih hal ini masih memerlukan aturan tambahan lainnya. Kondisi ini tentu akan memakan waktu yang lebih lama lagi," ucapnya.

Ketua DPP PAN ini mengaku heran, kenapa tiba-tiba opsi pembatasan berskala besar yang disertai darurat sipil muncul. Yang ia tahu, kemarin Menko Polhukam sudah mengumumkan, bahwa pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan karantina wilayah.

(Baca juga: YLBHI Sebut Penerapan Darurat Sipil Tangani Corona Berlebihan)

Menurut dia, dengan adanya opsi baru ini, pemerintah kelihatannya belum siap mengambil keputusan yang cepat dan tegas. "Sementara, masyarakat sedang menunggu kebijakan yang dianggap dapat memutus penyebaran virus corona di Indonesia," tutur dia.

Lebih lanjut Saleh menyatakan, darurat Sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya diyakini tidak begitu tegas. Sebab, pimpinan operasi masih ditangani oleh sipil.

Selain itu darurat sipil dipergunakan kemungkinan karena pemerintah menganggap bahwa keadaan darurat yang ada skalanya masih rendah. Karena itu, darurat sipil dikombinasikan dengan pembatasan sosial berskala besar.

Di sisi lain lanjut dia, karantina wilayah sepertinya bukan mejadi opsi utama pemerintah. Sebab, karantina wilayah membutuhkan banyak biaya. Termasuk untuk membiayai kebutuan pokok masyarakat yang terdampak akibat kebijakan tersebut, dan itu nilainya tentu tidak sedikit.

"Belum lagi, dampak sosial ekonomi yang mengiringinya. Jika karantina wilayah yang diberlakukan, konsekuensinya akan banyak perusahaan dan tenaga kerja yang berhenti beroperasi. Dampak sosial ekonominya tentu tidak sedikit. Belum tentu semua pihak siap menerimanya," papar dia.

Sedangkan Saleh menilai, penggunaan darurat sipil juga bertentangan dengan asas hukum Lex specialis derogat legi generalis (hukum yang khusus dapat menyampingkan hukum yang umum). Undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan lebih khusus membahas tentang kesehatan dan lebih sesuai dengan bencana yang dihadapi saat ini.

"Menurut saya, pilihan penerapan darurat sipil kurang tepat. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan," sambung dia.

Pertama kata Saleh, dasarnya hukumnya adalah perppu tentang keadaan bahaya di mana kelahiran perppu itu sendiri lahir di masa revolusi sebagai respon terhadap situasi pada saat itu yang sifatnya sementara dan temporal.

Kedua lanjut Saleh, perppu itu lahir sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Karena itu, jika perpu itu diterapkan belum tentu sesuai dengan situasi dan sistem politik yang ada saat ini.

"Ketiga, perppu itu ditetapkan bilamana keamanan atau tertib hukum terancam. Salah satunya bisa diakibatkan oleh bencana alam," katanya.

Sementara menurut dia, bencana yang kita hadapi saat ini adalah bencana non-alam. Selain itu, saat ini sudah ada BNPB dan gugus tugas yang bekerjasama dengan 33 kementerian/lembaga yang ditugaskan untuk mengatasinya. Dan payung hukum mereka untuk bekerja sudah ada di dalam beberapa undang-undang terkait.

"Langkah yang ditempuh pemerintah sama dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan alat 'darurat sipil'. Jadi darurat sipil dipakai sebagai alat untuk menjalankan pembatasan sosial berskala besar," jelasnya.

Menurutnya, daripada pakai darurat sipil, pemerintah mestinya menetapkan darurat kesehatan masyarakat sebagaimana amanat Pasal 10 Ayat 1 Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan.

"Saya bukan ahli hukum. Tetapi itu bisa ditanyakan dan diskusikan dengan mereka yang lebih paham. Ini penting diingatkan sebagai bentuk kehati-hatian dalam pengambilan payung hukum," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5769 seconds (0.1#10.140)