Pariwisata, Sudah Siapkah?
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SALAH satu problem yang cukup mengganggu eksistensi perekonomian di Indonesia saat ini adalah terjadinya defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan membuat nilai tawar rupiah sempat menurun berulang-ulang sekaligus memukul mundur kinerja ekonomi domestik.
Sumber masalahnya disinyalir berasal dari hasil ekspor kita yang setahun belakangan ini terus menurun alias kian tidak berimbang dengan menguatnya impor. Faktor penyebabnya antara lain adalah perdagangan dunia yang melambat, harga komoditas yang menurun, dan harga minyak dunia yang meningkat hingga sempat menembus rekor dunia (BI, 2019).
Alhasil, alih-alih hendak memperbaiki, hasil ekspor kita justru kian menambah beban berat kurs rupiah berkat adanya berbagai masalah struktural. Kita tentu tidak bisa tinggal diam karena kondisinya sangat bisa memengaruhi psikologi pasar dalam jangka menengah-panjang.
Dengan belum membaiknya kinerja ekspor kita saat ini, praktis kita butuh langkah alternatif dan preventif untuk mengamankan neraca transaksi berjalan Indonesia. Dalam pandangan penulis, sektor pariwisata berpeluang besar menjadi pendulang mata uang asing yang menjanjikan.
Dalam lima tahun terakhir banyak langkah maju yang diunggah pemerintah agar kinerja pariwisata dapat terus meningkat. Sektor pariwisata dijadikan ujung tombak untuk memangkas defisit transaksi berjalan dengan berperan sebagai mercusuar sektor jasa.
Pariwisata juga dianggap mampu menjadi jembatan penghubung untuk menyeimbangkan peranan sektor primer, sekunder, dan tersier dalam struktur perekonomian Indonesia. Apalagi kinerja sektor pariwisata diapresiasi sangat positif oleh beberapa lembaga internasional.
Misalnya melalui indikator Travel and Tourism Competitiveness Index yang digubah World Economic Forum (WEF) pada 2017. Daya saing pariwisata kita perlahan meningkat dari 50 menjadi 42 dunia.
Ada empat indeks yang menjadi parameter daya saing, yaitu iklim yang mendukung (enabling environment), kebijakan dan kondisi yang mendukung pariwisata (travel and tourism policy and enabling conditiong), infrastruktur (infrastructure), serta sumber daya alam dan budaya (natural and cultural resources).
Jika dideterminasikan lagi, akan ada 14 pilar dan 90 indikator di dalamnya. Dari 14 pilar, setidaknya ada 6 pilar yang menjadi kekuatan daya saing Indonesia dengan indikasi berada di 50 besar dunia, yaitu keterbukaan internasional (peringkat 17), prioritas perjalanan dan pariwisata (12), daya saing harga (5), infrastruktur transportasi udara (36), SDA (14), serta sumber daya budaya dan perjalanan bisnis (23).
Adapun yang masih menjadi PR besar adalah kesiapan teknologi informasi dan komunikasi/ICT (91), kesehatan dan kebersihan (108), keamanan dan keselamatan (91), keberlanjutan lingkungan (131), serta infrastruktur layanan wisata (96).
Informasi penting lainnya, betapa agresifnya pertumbuhan kinerja pariwisata Indonesia. Berdasarkan catatan The Telegraph, salah satu perusahaan media terkemuka di Inggris, pada 2017 pertumbuhan pariwisata Indonesia sudah mencapai 25,68% dan menjadi yang tercepat kesembilan di dunia, nomor tiga di Asia, dan yang terbaik di kawasan ASEAN. Pertumbuhan tersebut bahkan jauh berlipat ganda dibandingkan kinerja rata-rata di ASEAN yang tumbuh 7% dan dunia yang hanya meningkat 6%.
Performa progresif Indonesia juga diakui World Travel & Tourism Council (WTTC) melalui publikasi bertajuk Power and Performance Rankings 2018. Indonesia termasuk dalam jajaran top performances dengan berada di peringkat 9 dunia.
Posisi Indonesia bahkan lebih baik daripada beberapa negara tetangga lain seperti Thailand (12), Filipina dan Malaysia (sama-sama urutan 13), Singapura (16), dan Vietnam (21). Ada empat indikator sebagai parameter yang terdiri atas nilai PDB/GDP (sektor pariwisata), jumlah pengunjung, pengeluaran domestik, dan investasi.
Dari beberapa apresiasi positif tersebut, tentu beberapa di antaranya dinilai sangat melegakan dan membanggakan. Akan tetapi, kita masih perlu bekerja keras agar performa ini dapat kita tingkatkan dan pertahankan dalam durasi jangka panjang.
Selain untuk meningkatkan produktivitas nasional, pariwisata juga bisa menjadi bumper atas guncangan ekonomi eksternal melalui cadangan devisa. Berdasarkan data Kementerian Pariwisata (Kemenpar), tahun lalu 15,6 juta wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung di Indonesia telah menghasilkan devisa USD16,1 miliar.
Angka tersebut berada di urutan kedua di bawah kelapa sawit (beserta produk turunannya). Tahun ini Kemenpar meningkatkan target menjadi 17 juta kunjungan wisman dengan devisa USD17,6 miliar. Tentu angka yang cukup realistis kendati masih begitu banyak tantangan yang harus dihadapi. Lalu apa saja yang harus dilakukan ke depan?
Pertama, kita perlu mempersiapkan shifting tenaga kerja yang sesuai dengan kriteria dan kebutuhan usaha pariwisata. Tugas ini tentu bukan tugas yang mudah, mengingat mayoritas tenaga kerja di daerah yang akan/sedang dikembangkan basic-nya bukan sebagai penyedia jasa pariwisata.
Nah, perilaku tenaga kerja di sektor pariwisata sebagian besar bisa jadi akan berbeda dibandingkan karakter di sektor primer atau sekunder. Idealnya tenaga kerja (ditambah dengan masyarakat lokal) di sektor tersebut mesti ramah, tanggap terhadap teknologi untuk informasi dan promosi, mendukung kualitas layanan (infrastruktur, harga yang rasional, kebersihan, keselamatan, dan keamanan) yang pada intinya adalah membuat para wisatawan feels like home.
Kedua, kita perlu mempersiapkan kerangka kelembagaan yang mendukung (supporting). Bank Indonesia (BI) dalam Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2018 mengajak para stakeholders untuk menyambut perkembangan pariwisata melalui strategi yang disebut 3A2P.
3A terdiri dari akses, amenities, dan atraksi, sedangkan 2P merupakan singkatan dari promosi dan pelaku pariwisata. Di dalam strategi tersebut ada 9 indikator sebagai faktor turunan.
Jika penulis sederhanakan, mungkin faktor yang paling vital dengan kondisi yang sekarang adalah persoalan aksesibilitas (infrastruktur), kerja sama antara swasta dan pemerintah, promosi digital, kualitas SDM dan usaha, kelembagaan dan koordinasi, serta akses pembiayaan.
Tugas penting bagi pemerintah adalah bagaimana caranya agar faktor-faktor penting tersebut dapat diatasi secara simultan dengan pihak swasta dan masyarakat. Mengapa?
Karena pariwisata pada hakikatnya adalah representasi gotong-royong ekonomi yang melibatkan banyak pihak, dari sektor primer, sekunder, hingga tersier. Apa pun bisa “dipasarkan”, apalagi dengan daya dukung media sosial sebagai ajang promosi. Hal ini pula yang menjadikan pariwisata sangat ideal untuk menggenjot nilai tambah ekonomi lokal.
Sebagai contoh, dalam kerangka pariwisata, sektor pertanian bisa berperan sebagai buffer untuk penyediaan bahan makanan-minuman sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata. Kawasan Ubud di Bali sudah membuktikan betapa mewahnya peran sektor pertanian untuk meningkatkan daya tawar pariwisata, baik sebagai penyedia pangan, wahana pemandangan, maupun pertanian sebagai bagian dari adat dan budaya. Melalui pariwisata, sektor pertanian tidak akan lagi dipandang sebelah mata.
Ketiga, untuk menjaga daya saing jangka panjang, akses infrastruktur dan kebijakan sustainable environment sangat mutlak dibutuhkan. Keduanya selama ini tampak belum merata dan menjadi kendala besar untuk membangun pariwisata berkelanjutan.
Beberapa daerah wisata yang basisnya potensi SDA kebanyakan belum didukung sarana transportasi memadai. Akibatnya ekonomi pariwisata berbiaya tinggi karena mahalnya jasa transportasi. Hal ini pula yang menjadi kegelisahan para produsen dan konsumen wisata pada saat harga tiket pesawat meningkat akhir-akhir ini.
Selain itu, banyak sarana penginapan yang belum memadai. Kita tidak harus membangun hotel/penginapan yang baru secara besar-besaran karena keberadaan rumah penduduk atau home stay lokal juga dapat dimanfaatkan melalui standardisasi layanan. Hal yang terpenting akomodasinya nyaman dan menawarkan sensasi yang sulit terlupakan.
Nah PR yang terakhir mungkin terkait tantangan terhadap eksistensi lingkungan. Di balik kebijakan pariwisata yang didesain cukup megah, ada kerentanan yang tersembunyi berupa ancaman deforestasi dan penanganan limbah (khususnya air bersih dan sampah).
Hal itu pula yang selama ini menjadi catatan dari pemerhati internasional terkait wisata di Indonesia. Mampukah kita akan menanganinya? Wallahua'lam.
Yang jelas dengan potensi yang ada, pariwisata sangat bisa menjadi andalan perekonomian di masa depan. Tinggal bagaimana kita berikhtiar untuk mewujudkannya. Semoga!
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SALAH satu problem yang cukup mengganggu eksistensi perekonomian di Indonesia saat ini adalah terjadinya defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan membuat nilai tawar rupiah sempat menurun berulang-ulang sekaligus memukul mundur kinerja ekonomi domestik.
Sumber masalahnya disinyalir berasal dari hasil ekspor kita yang setahun belakangan ini terus menurun alias kian tidak berimbang dengan menguatnya impor. Faktor penyebabnya antara lain adalah perdagangan dunia yang melambat, harga komoditas yang menurun, dan harga minyak dunia yang meningkat hingga sempat menembus rekor dunia (BI, 2019).
Alhasil, alih-alih hendak memperbaiki, hasil ekspor kita justru kian menambah beban berat kurs rupiah berkat adanya berbagai masalah struktural. Kita tentu tidak bisa tinggal diam karena kondisinya sangat bisa memengaruhi psikologi pasar dalam jangka menengah-panjang.
Dengan belum membaiknya kinerja ekspor kita saat ini, praktis kita butuh langkah alternatif dan preventif untuk mengamankan neraca transaksi berjalan Indonesia. Dalam pandangan penulis, sektor pariwisata berpeluang besar menjadi pendulang mata uang asing yang menjanjikan.
Dalam lima tahun terakhir banyak langkah maju yang diunggah pemerintah agar kinerja pariwisata dapat terus meningkat. Sektor pariwisata dijadikan ujung tombak untuk memangkas defisit transaksi berjalan dengan berperan sebagai mercusuar sektor jasa.
Pariwisata juga dianggap mampu menjadi jembatan penghubung untuk menyeimbangkan peranan sektor primer, sekunder, dan tersier dalam struktur perekonomian Indonesia. Apalagi kinerja sektor pariwisata diapresiasi sangat positif oleh beberapa lembaga internasional.
Misalnya melalui indikator Travel and Tourism Competitiveness Index yang digubah World Economic Forum (WEF) pada 2017. Daya saing pariwisata kita perlahan meningkat dari 50 menjadi 42 dunia.
Ada empat indeks yang menjadi parameter daya saing, yaitu iklim yang mendukung (enabling environment), kebijakan dan kondisi yang mendukung pariwisata (travel and tourism policy and enabling conditiong), infrastruktur (infrastructure), serta sumber daya alam dan budaya (natural and cultural resources).
Jika dideterminasikan lagi, akan ada 14 pilar dan 90 indikator di dalamnya. Dari 14 pilar, setidaknya ada 6 pilar yang menjadi kekuatan daya saing Indonesia dengan indikasi berada di 50 besar dunia, yaitu keterbukaan internasional (peringkat 17), prioritas perjalanan dan pariwisata (12), daya saing harga (5), infrastruktur transportasi udara (36), SDA (14), serta sumber daya budaya dan perjalanan bisnis (23).
Adapun yang masih menjadi PR besar adalah kesiapan teknologi informasi dan komunikasi/ICT (91), kesehatan dan kebersihan (108), keamanan dan keselamatan (91), keberlanjutan lingkungan (131), serta infrastruktur layanan wisata (96).
Informasi penting lainnya, betapa agresifnya pertumbuhan kinerja pariwisata Indonesia. Berdasarkan catatan The Telegraph, salah satu perusahaan media terkemuka di Inggris, pada 2017 pertumbuhan pariwisata Indonesia sudah mencapai 25,68% dan menjadi yang tercepat kesembilan di dunia, nomor tiga di Asia, dan yang terbaik di kawasan ASEAN. Pertumbuhan tersebut bahkan jauh berlipat ganda dibandingkan kinerja rata-rata di ASEAN yang tumbuh 7% dan dunia yang hanya meningkat 6%.
Performa progresif Indonesia juga diakui World Travel & Tourism Council (WTTC) melalui publikasi bertajuk Power and Performance Rankings 2018. Indonesia termasuk dalam jajaran top performances dengan berada di peringkat 9 dunia.
Posisi Indonesia bahkan lebih baik daripada beberapa negara tetangga lain seperti Thailand (12), Filipina dan Malaysia (sama-sama urutan 13), Singapura (16), dan Vietnam (21). Ada empat indikator sebagai parameter yang terdiri atas nilai PDB/GDP (sektor pariwisata), jumlah pengunjung, pengeluaran domestik, dan investasi.
Dari beberapa apresiasi positif tersebut, tentu beberapa di antaranya dinilai sangat melegakan dan membanggakan. Akan tetapi, kita masih perlu bekerja keras agar performa ini dapat kita tingkatkan dan pertahankan dalam durasi jangka panjang.
Selain untuk meningkatkan produktivitas nasional, pariwisata juga bisa menjadi bumper atas guncangan ekonomi eksternal melalui cadangan devisa. Berdasarkan data Kementerian Pariwisata (Kemenpar), tahun lalu 15,6 juta wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung di Indonesia telah menghasilkan devisa USD16,1 miliar.
Angka tersebut berada di urutan kedua di bawah kelapa sawit (beserta produk turunannya). Tahun ini Kemenpar meningkatkan target menjadi 17 juta kunjungan wisman dengan devisa USD17,6 miliar. Tentu angka yang cukup realistis kendati masih begitu banyak tantangan yang harus dihadapi. Lalu apa saja yang harus dilakukan ke depan?
Pertama, kita perlu mempersiapkan shifting tenaga kerja yang sesuai dengan kriteria dan kebutuhan usaha pariwisata. Tugas ini tentu bukan tugas yang mudah, mengingat mayoritas tenaga kerja di daerah yang akan/sedang dikembangkan basic-nya bukan sebagai penyedia jasa pariwisata.
Nah, perilaku tenaga kerja di sektor pariwisata sebagian besar bisa jadi akan berbeda dibandingkan karakter di sektor primer atau sekunder. Idealnya tenaga kerja (ditambah dengan masyarakat lokal) di sektor tersebut mesti ramah, tanggap terhadap teknologi untuk informasi dan promosi, mendukung kualitas layanan (infrastruktur, harga yang rasional, kebersihan, keselamatan, dan keamanan) yang pada intinya adalah membuat para wisatawan feels like home.
Kedua, kita perlu mempersiapkan kerangka kelembagaan yang mendukung (supporting). Bank Indonesia (BI) dalam Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2018 mengajak para stakeholders untuk menyambut perkembangan pariwisata melalui strategi yang disebut 3A2P.
3A terdiri dari akses, amenities, dan atraksi, sedangkan 2P merupakan singkatan dari promosi dan pelaku pariwisata. Di dalam strategi tersebut ada 9 indikator sebagai faktor turunan.
Jika penulis sederhanakan, mungkin faktor yang paling vital dengan kondisi yang sekarang adalah persoalan aksesibilitas (infrastruktur), kerja sama antara swasta dan pemerintah, promosi digital, kualitas SDM dan usaha, kelembagaan dan koordinasi, serta akses pembiayaan.
Tugas penting bagi pemerintah adalah bagaimana caranya agar faktor-faktor penting tersebut dapat diatasi secara simultan dengan pihak swasta dan masyarakat. Mengapa?
Karena pariwisata pada hakikatnya adalah representasi gotong-royong ekonomi yang melibatkan banyak pihak, dari sektor primer, sekunder, hingga tersier. Apa pun bisa “dipasarkan”, apalagi dengan daya dukung media sosial sebagai ajang promosi. Hal ini pula yang menjadikan pariwisata sangat ideal untuk menggenjot nilai tambah ekonomi lokal.
Sebagai contoh, dalam kerangka pariwisata, sektor pertanian bisa berperan sebagai buffer untuk penyediaan bahan makanan-minuman sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata. Kawasan Ubud di Bali sudah membuktikan betapa mewahnya peran sektor pertanian untuk meningkatkan daya tawar pariwisata, baik sebagai penyedia pangan, wahana pemandangan, maupun pertanian sebagai bagian dari adat dan budaya. Melalui pariwisata, sektor pertanian tidak akan lagi dipandang sebelah mata.
Ketiga, untuk menjaga daya saing jangka panjang, akses infrastruktur dan kebijakan sustainable environment sangat mutlak dibutuhkan. Keduanya selama ini tampak belum merata dan menjadi kendala besar untuk membangun pariwisata berkelanjutan.
Beberapa daerah wisata yang basisnya potensi SDA kebanyakan belum didukung sarana transportasi memadai. Akibatnya ekonomi pariwisata berbiaya tinggi karena mahalnya jasa transportasi. Hal ini pula yang menjadi kegelisahan para produsen dan konsumen wisata pada saat harga tiket pesawat meningkat akhir-akhir ini.
Selain itu, banyak sarana penginapan yang belum memadai. Kita tidak harus membangun hotel/penginapan yang baru secara besar-besaran karena keberadaan rumah penduduk atau home stay lokal juga dapat dimanfaatkan melalui standardisasi layanan. Hal yang terpenting akomodasinya nyaman dan menawarkan sensasi yang sulit terlupakan.
Nah PR yang terakhir mungkin terkait tantangan terhadap eksistensi lingkungan. Di balik kebijakan pariwisata yang didesain cukup megah, ada kerentanan yang tersembunyi berupa ancaman deforestasi dan penanganan limbah (khususnya air bersih dan sampah).
Hal itu pula yang selama ini menjadi catatan dari pemerhati internasional terkait wisata di Indonesia. Mampukah kita akan menanganinya? Wallahua'lam.
Yang jelas dengan potensi yang ada, pariwisata sangat bisa menjadi andalan perekonomian di masa depan. Tinggal bagaimana kita berikhtiar untuk mewujudkannya. Semoga!
(poe)