Absurditas Klaim Politik
A
A
A
Rendy Putra Kusuma
Staf Pengajar di HI FISIP Universitas Budi Luhur, Jakarta
SALAH satu isu politik yang demikian santer dalam beberapa tahun terakhir di negeri ini adalah tentang agama dan nasionalisme. Hal yang cukup mencemaskan, ketika dua isu tersebut menjadi klaim sebagian kelompok untuk melegitimasi tujuan dan kepentingan politik masing-masing. Tak ayal, fenomena itu berhasil mengguncang fundamen persatuan dan kesatuan kita.
Bagaimana tidak, keduanya, baik rasa kebangsaan dan prinsip keagamaan, merupakan sesuatu yang inheren dan tidak bisa dipertentangkan. Terlepas dari apa pun agamanya, tidak ada satu pun manusia yang tidak beriman (percaya). Di sisi lain, tidak pula ada manusia sepenuhnya pengembara. Pasti ada satu wilayah, Tanah Air atau tempat yang dianggapnya sebagai rumah, tempat itu pasti dicintainya.
Maka itu, sudah menjadi nature -nya, kedua prinsip ini menetap dalam diri manusia tanpa terkecuali. Keduanya merupakan rangkapan yang membentuk identitas setiap orang. Keduanya merasuk di dalam diri setiap orang secara subjektif sehingga dedikasinya pun bisa tak terbatas.
Dengan demikian, "membajak" kedua isu ini dalam politik praktis (bukan politik substansial), tentu akan sangat berbahaya. Karena isu ini hanya mungkin digunakan dalam kondisi yang mengancam identitas secara substansial. Targetnya bersifat sangat eksistensial menyangkut hidup atau mati.
Ini sebabnya, baik nasionalisme maupun agama, menyediakan teks yang ajeg untuk digunakan sewaktu-waktu bila eksistensi agama maupun negara terancam. Tidak tanggung-tanggung, kedua teks agama maupun negara juga menginstruksikan warga negaranya atau umatnya untuk membela, hidup atau mati.
Karena itu, yang menjadi masalah sebenarnya adalah ketika ada kelompok mencoba meracik argumentasi objektif untuk membangun definisi yang tepat bahwa bangsa ini atau agama ini sedang terancam. Karena di saat konteks terjabar secara benar, maka teks-teks bisa digunakan semaunya untuk melegitimasi tindakan paling ekstrem sekalipun. Inilah titik persoalannya.
Pada satu pihak ada yang mengatakan bahwa agama ini sedang terancam. Para pemuka agama dikriminalisasi dan nilai-nilai keagamaan dilecehkan atau dihina. Sedangkan di pihak lain mengatakan bahwa negara sedang terancam, ada paham-paham impor sedang berusaha mengubah fundamen kebangsaan kita dengan paham lainnya.
Karena itu, sebagaimana genealoginya, kedua klaim ini memiliki daya pikat luar biasa. Seseorang atau satu kelompok akan sangat militan dalam menganut keduanya. Daya ikatnya pun tak kalah kuat, keduanya menuntut kesetiaan tanpa batas. Sebagaimana sejarah peradaban manusia merekam, jutaan nyawa manusia melayang dalam konflik atas nama agama dan nasionalisme.
Meski begitu, di balik sisi gelapnya, kedua klaim ini, baik agama maupun kebangsaan, sesungguhnya memiliki energi besar untuk melindungi semua hak manusia yang paling fundamental, yaitu hak hidup dan hak mengenyam kebebasan. Sejarah lagi-lagi menunjukkan bahwa tak ada satu doktrin pun bisa demikian luas melayani kemanusiaan, selain agama dan rasa kebangsaan.
Sayangnya, yang kini sedang dipentaskan di negeri ini justru sisi kelam dari keduanya. Saat kebangsaan Indonesia sedang mencapai puncaknya dan menjadi satu prinsip kebangsaan tersendiri, sisi tersebut menjadi begitu chauvistik . Nilai-nilai kebangsaan dimonopoli, didefinisikan secara sepihak, dan kemudian dijadikan sebuah otoritas untuk menjustifikasi tujuan-tujuan politik. Tiba-tiba atas nama rasa kebangsaan, semua yang berbeda dengan pilihan politiknya menjadi "tidak Indonesia", melawan Pancasila, dan anti-kebinekaan.
Sedangkan di sisi lain, nilai-nilai keagamaan yang sudah begitu cair di relung kebudayaan masyarakat justru hadir dalam wajah begitu garang. Agama (khususnya Islam) yang sejak awal hadir dengan profil profetiknya dan sudah turut membidani lahirnya kebudayaan baru Nusantara modern, justru saling mengecam di antara para pemeluknya. Agama serta-merta menjelma menjadi struktur otoritas yang kaku dan bengis. Agama yang terkenal begitu damai dan bersahabat ini muncul dalam bentuk paling eksklusif, bahkan begitu keras pada sesama penganutnya yang berbeda tendensi politik.
Jelas indikasi kedua-duanya, baik nilai kebangsaan maupun agama, telah ditunggangi dan dimanipulasi. Karena faktanya, kedua-duanya hingga sekarang tak kunjung mengajukan definisi yang tepat dan universal tentang ancaman eksistensi terhadap kedaulatan bangsa ataupun agama. Keduanya hanya bersifat insidental, spasial, dan temporal.
Paling dikhawatirkan dari fenomena ini, masyarakat menjadi jengah dan kemudian abai terhadap mekanisme politik dan demokrasi. Karena politik sudah sedemikian murah memperdagangkan sebuah prinsip fundamental kehidupan manusia. Kedua paham ini adalah pilar utama yang menopang kehidupan sosial dan kebudayaan manusia di belahan bumi manapun. Bila keberadaannya dipermainkan sedemikian murah, maka yang terancam adalah eksistensi negara dan peradaban itu sendiri.
Kita sangat berharap semua pihak sudah mulai membuat kesepahaman untuk memitigasi brutalitas permainan politik yang berbahaya ini. Bila tidak, hari-hari ke depan kita akan menghadapi masa depan kelam, karena rasa kebangsaan akan menjelma menjadi fasisme dan nilai-nilai keagamaan akan menjadi fanatisme buta. Sejarah sudah menunjukkan kedua-duanya tidak pernah melayani kemanusiaan, melainkan akan menyeret martabat kemanusiaan hingga ke titik terendah peradabannya. Wallahualam bi sawab.
Staf Pengajar di HI FISIP Universitas Budi Luhur, Jakarta
SALAH satu isu politik yang demikian santer dalam beberapa tahun terakhir di negeri ini adalah tentang agama dan nasionalisme. Hal yang cukup mencemaskan, ketika dua isu tersebut menjadi klaim sebagian kelompok untuk melegitimasi tujuan dan kepentingan politik masing-masing. Tak ayal, fenomena itu berhasil mengguncang fundamen persatuan dan kesatuan kita.
Bagaimana tidak, keduanya, baik rasa kebangsaan dan prinsip keagamaan, merupakan sesuatu yang inheren dan tidak bisa dipertentangkan. Terlepas dari apa pun agamanya, tidak ada satu pun manusia yang tidak beriman (percaya). Di sisi lain, tidak pula ada manusia sepenuhnya pengembara. Pasti ada satu wilayah, Tanah Air atau tempat yang dianggapnya sebagai rumah, tempat itu pasti dicintainya.
Maka itu, sudah menjadi nature -nya, kedua prinsip ini menetap dalam diri manusia tanpa terkecuali. Keduanya merupakan rangkapan yang membentuk identitas setiap orang. Keduanya merasuk di dalam diri setiap orang secara subjektif sehingga dedikasinya pun bisa tak terbatas.
Dengan demikian, "membajak" kedua isu ini dalam politik praktis (bukan politik substansial), tentu akan sangat berbahaya. Karena isu ini hanya mungkin digunakan dalam kondisi yang mengancam identitas secara substansial. Targetnya bersifat sangat eksistensial menyangkut hidup atau mati.
Ini sebabnya, baik nasionalisme maupun agama, menyediakan teks yang ajeg untuk digunakan sewaktu-waktu bila eksistensi agama maupun negara terancam. Tidak tanggung-tanggung, kedua teks agama maupun negara juga menginstruksikan warga negaranya atau umatnya untuk membela, hidup atau mati.
Karena itu, yang menjadi masalah sebenarnya adalah ketika ada kelompok mencoba meracik argumentasi objektif untuk membangun definisi yang tepat bahwa bangsa ini atau agama ini sedang terancam. Karena di saat konteks terjabar secara benar, maka teks-teks bisa digunakan semaunya untuk melegitimasi tindakan paling ekstrem sekalipun. Inilah titik persoalannya.
Pada satu pihak ada yang mengatakan bahwa agama ini sedang terancam. Para pemuka agama dikriminalisasi dan nilai-nilai keagamaan dilecehkan atau dihina. Sedangkan di pihak lain mengatakan bahwa negara sedang terancam, ada paham-paham impor sedang berusaha mengubah fundamen kebangsaan kita dengan paham lainnya.
Karena itu, sebagaimana genealoginya, kedua klaim ini memiliki daya pikat luar biasa. Seseorang atau satu kelompok akan sangat militan dalam menganut keduanya. Daya ikatnya pun tak kalah kuat, keduanya menuntut kesetiaan tanpa batas. Sebagaimana sejarah peradaban manusia merekam, jutaan nyawa manusia melayang dalam konflik atas nama agama dan nasionalisme.
Meski begitu, di balik sisi gelapnya, kedua klaim ini, baik agama maupun kebangsaan, sesungguhnya memiliki energi besar untuk melindungi semua hak manusia yang paling fundamental, yaitu hak hidup dan hak mengenyam kebebasan. Sejarah lagi-lagi menunjukkan bahwa tak ada satu doktrin pun bisa demikian luas melayani kemanusiaan, selain agama dan rasa kebangsaan.
Sayangnya, yang kini sedang dipentaskan di negeri ini justru sisi kelam dari keduanya. Saat kebangsaan Indonesia sedang mencapai puncaknya dan menjadi satu prinsip kebangsaan tersendiri, sisi tersebut menjadi begitu chauvistik . Nilai-nilai kebangsaan dimonopoli, didefinisikan secara sepihak, dan kemudian dijadikan sebuah otoritas untuk menjustifikasi tujuan-tujuan politik. Tiba-tiba atas nama rasa kebangsaan, semua yang berbeda dengan pilihan politiknya menjadi "tidak Indonesia", melawan Pancasila, dan anti-kebinekaan.
Sedangkan di sisi lain, nilai-nilai keagamaan yang sudah begitu cair di relung kebudayaan masyarakat justru hadir dalam wajah begitu garang. Agama (khususnya Islam) yang sejak awal hadir dengan profil profetiknya dan sudah turut membidani lahirnya kebudayaan baru Nusantara modern, justru saling mengecam di antara para pemeluknya. Agama serta-merta menjelma menjadi struktur otoritas yang kaku dan bengis. Agama yang terkenal begitu damai dan bersahabat ini muncul dalam bentuk paling eksklusif, bahkan begitu keras pada sesama penganutnya yang berbeda tendensi politik.
Jelas indikasi kedua-duanya, baik nilai kebangsaan maupun agama, telah ditunggangi dan dimanipulasi. Karena faktanya, kedua-duanya hingga sekarang tak kunjung mengajukan definisi yang tepat dan universal tentang ancaman eksistensi terhadap kedaulatan bangsa ataupun agama. Keduanya hanya bersifat insidental, spasial, dan temporal.
Paling dikhawatirkan dari fenomena ini, masyarakat menjadi jengah dan kemudian abai terhadap mekanisme politik dan demokrasi. Karena politik sudah sedemikian murah memperdagangkan sebuah prinsip fundamental kehidupan manusia. Kedua paham ini adalah pilar utama yang menopang kehidupan sosial dan kebudayaan manusia di belahan bumi manapun. Bila keberadaannya dipermainkan sedemikian murah, maka yang terancam adalah eksistensi negara dan peradaban itu sendiri.
Kita sangat berharap semua pihak sudah mulai membuat kesepahaman untuk memitigasi brutalitas permainan politik yang berbahaya ini. Bila tidak, hari-hari ke depan kita akan menghadapi masa depan kelam, karena rasa kebangsaan akan menjelma menjadi fasisme dan nilai-nilai keagamaan akan menjadi fanatisme buta. Sejarah sudah menunjukkan kedua-duanya tidak pernah melayani kemanusiaan, melainkan akan menyeret martabat kemanusiaan hingga ke titik terendah peradabannya. Wallahualam bi sawab.
(wib)