Novanto di Sukamiskin
A
A
A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Vonis atas Setya Novanto sudah berkekuatan hukum tetap. Novanto diberi sanksi hukum berupa pidana penjara 15 tahun, denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan penjara, dan uang pengganti USD7,3 juta (dikurangi Rp5 miliar yang telah dikembalikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi), serta larangan menduduki jabatan publik selama lima tahun (terhitung sejak selesai menjalani masa hukuman).
Eksekusi terhadap terpidana kasus e-KTP ini segera dilaksanakan. Terhitung sejak Jumat (4/5/2018), Novanto resmi dipenjarakan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung. Satu hal menarik, ketika eksekusi akan dilaksanakan, terucap kata-kata bernada moralis dari mantan politikus elite ini. "Di Sukamiskin, ini saya mulai dari kos, saya akan ke pesantren."
Pernyataan sungguh menarik untuk dianalisis dari perspektif sosiologi hukum. Pasalnya, kasus korupsi bukan sekadar kasus hukum, melainkan juga kasus politik, sosial, dan moral. Masyarakat, utamanya para korban e-KTP, punya hak untuk didengar dan diakomodasi suaranya.
Sosiologi hukum sebagai ilmu nomografis senantiasa peduli terhadap realitas hukum sehari-hari (the full social reality of law). Pada aras ini hukum tidak dilihat semata-mata sebagai perundang-undangan atau putusan pengadilan, tetapi juga hukum sebagai jati diri (Gestalt-like vision). Dalam jati dirinya hukum mewujud berbagai bentuk seperti perilaku, pengalaman, ataupun fakta. Setiap kasus hukum, karena itu, hanya dapat dipahami secara utuh bila dianalisis sejak paradigma hukumnya. Kasus Novanto akan dimaknakan seperti apa sebagai persoalan politik, hukum, sosial, ataukah moral tergantung paradigma yang digunakan untuk penilaian.
Memadankan Lapas Sukamiskin sebagai “pesantren” merupakan pernyataan yang sarat moralitas. Telah menjadi common sense bahwa pesantren merupakan lembaga keagamaan, wahana pendidikan para santri, agar menjadi manusia-manusia bermoral, berakhlak mulia (akhlaqul karimah). Dalam koridor husnudzan, patut diapresiasi bila Novanto berniat tulus menjadi manusia bermoral selepas menjalani seluruh hukumannya. Banyak bukti, penjahat-penjahat bertobat seusai menjalani hukuman, kemudian menjadi orang-orang bermoral, mampu bermasyarakat, bahkan bermanfaat bagi kehidupan bersama.
Lon Fuller dan Philip Selznick adalah tokoh-tokoh yang konsisten memandang pentingnya moral dalam hukum. Keduanya mengatakan bahwa hukum tidaklah diterima sebagai hukum, kecuali berdasarkan moralitas. Moralitas dimaksud sangat luas cakupannya, sejak moralitas individual sampai kolektif, dari yang relatif sampai kepastian. Secara eksplisit dikatakan bahwa atas nama moral, harus ada kecocokan antara peraturan dengan perilaku sehari-hari.
Dalam konteks moralitas, ucapan Novanto dapat diterima sebagai benar-benar ucapan terpuji bila disertai perilaku konkret sebagai santri selama dalam penjara. Dia rajin belajar agama, bersikap jujur, berorientasi kepada kebaikan umum. Betapapun kehendaknya menjadi justice collaborator tertolak, tetapi senantiasa kooperatif terhadap KPK untuk pembuktian tersangka-tersangka lain. Akankah Novanto demikian? Pembuktiannya dapat disimak pada perilakunya sepanjang 15 tahun di penjara.
Perlu diketahui bahwa paradigma moral tidak mudah diterima umum. Tokoh sosiologi hukum Donald Black menolaknya. Mengapa? Karena berdasarkan pengalamannya, pada aras historis-sosiologis, organisasi-organisasi modern seperti KPK, pengadilan, lapas, dan peraturan-peraturan modern seperti undang-undang, standard operating procedure (SOP) sebenarnya merupakan resultante pergulatan antarberbagai kekuatan untuk mengunggulkan kepentingannya di dalam organisasi. Kepentingan individu dan kepentingan komunal ditransaksikan sampai ditemukan kesepakatan. Aspirasi dan fakta-fakta sosial sering diabaikan dan tidak terakomodasi dalam perundang-undangan maupun SOP.
Menurut Black, hukum bukan sekadar kesepakatan-kesepakatan rasional, melainkan juga ilmu tentang perilaku, pengalaman, dan fakta-fakta sosial. Kemanfaatan perilaku seseorang bagi masyarakatnya perlu diunggulkan sebagai dasar penilaian kadar moralitasnya. Di situlah, sebanyak-banyaknya pengalaman dan fakta-fakta sosial, digunakan sebagai dasar penilaian.
Bertolak dari pendapat Black, banyak penjahat kelas teri berubah menjadi kelas kakap karena dibesarkan oleh lingkungan lapas. Secara empiris lapas merupakan “sekolah penjahat”. Fakta-fakta seperti ini tak bisa diabaikan kebenarannya. Benarkah Novanto (dan para residivis serta para koruptor) selama di penjara menjadi santri (kemudian berubah menjadi orang-orang baik), ataukah justru menjadi penjahat ganas, ataupun menjadi guru-guru kejahatan? Fakta-fakta empiris akan menjawab apa adanya.
Fakta-fakta sosial adalah representasi suara-suara kebenaran masyarakat, sekaligus kebenaran hukum. Dalam konteks demikian, pemidanaan terhadap Novanto mestinya akomodatif terhadap suara-suara masyarakat. Demi keadilan sosial, selain sanksi hukum (berupa pidana dan/atau denda), perlu ada sanksi sosial. Bentuk dan pelaksanaan sanksi sosial ditetapkan berdasarkan analisis sosial. Dus, KPK, pengadilan, dan lapas mestinya menjadi lembaga hukum dan sekaligus lembaga sosial.
Sungguh berbahaya bila proses pengadilan dan eksekusi terpidana dipisahkan dari dimensi sosialnya. Berat-ringannya vonis atas Novanto dipastikan memiliki implikasi sosial dan implikasi moral terhadap calon-calon terpidana lain. George Bataile dalam Literature and Evil (1990) mengingatkan perlunya kewaspadaan terhadap munculnya “hipermoralitas”, yaitu satu kondisi di mana ukuran-ukuran moralitas yang ada tidak dapat dipegang lagi. Cegahlah, jangan sampai muncul social distrust terhadap lembaga-lembaga hukum. Wallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Vonis atas Setya Novanto sudah berkekuatan hukum tetap. Novanto diberi sanksi hukum berupa pidana penjara 15 tahun, denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan penjara, dan uang pengganti USD7,3 juta (dikurangi Rp5 miliar yang telah dikembalikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi), serta larangan menduduki jabatan publik selama lima tahun (terhitung sejak selesai menjalani masa hukuman).
Eksekusi terhadap terpidana kasus e-KTP ini segera dilaksanakan. Terhitung sejak Jumat (4/5/2018), Novanto resmi dipenjarakan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung. Satu hal menarik, ketika eksekusi akan dilaksanakan, terucap kata-kata bernada moralis dari mantan politikus elite ini. "Di Sukamiskin, ini saya mulai dari kos, saya akan ke pesantren."
Pernyataan sungguh menarik untuk dianalisis dari perspektif sosiologi hukum. Pasalnya, kasus korupsi bukan sekadar kasus hukum, melainkan juga kasus politik, sosial, dan moral. Masyarakat, utamanya para korban e-KTP, punya hak untuk didengar dan diakomodasi suaranya.
Sosiologi hukum sebagai ilmu nomografis senantiasa peduli terhadap realitas hukum sehari-hari (the full social reality of law). Pada aras ini hukum tidak dilihat semata-mata sebagai perundang-undangan atau putusan pengadilan, tetapi juga hukum sebagai jati diri (Gestalt-like vision). Dalam jati dirinya hukum mewujud berbagai bentuk seperti perilaku, pengalaman, ataupun fakta. Setiap kasus hukum, karena itu, hanya dapat dipahami secara utuh bila dianalisis sejak paradigma hukumnya. Kasus Novanto akan dimaknakan seperti apa sebagai persoalan politik, hukum, sosial, ataukah moral tergantung paradigma yang digunakan untuk penilaian.
Memadankan Lapas Sukamiskin sebagai “pesantren” merupakan pernyataan yang sarat moralitas. Telah menjadi common sense bahwa pesantren merupakan lembaga keagamaan, wahana pendidikan para santri, agar menjadi manusia-manusia bermoral, berakhlak mulia (akhlaqul karimah). Dalam koridor husnudzan, patut diapresiasi bila Novanto berniat tulus menjadi manusia bermoral selepas menjalani seluruh hukumannya. Banyak bukti, penjahat-penjahat bertobat seusai menjalani hukuman, kemudian menjadi orang-orang bermoral, mampu bermasyarakat, bahkan bermanfaat bagi kehidupan bersama.
Lon Fuller dan Philip Selznick adalah tokoh-tokoh yang konsisten memandang pentingnya moral dalam hukum. Keduanya mengatakan bahwa hukum tidaklah diterima sebagai hukum, kecuali berdasarkan moralitas. Moralitas dimaksud sangat luas cakupannya, sejak moralitas individual sampai kolektif, dari yang relatif sampai kepastian. Secara eksplisit dikatakan bahwa atas nama moral, harus ada kecocokan antara peraturan dengan perilaku sehari-hari.
Dalam konteks moralitas, ucapan Novanto dapat diterima sebagai benar-benar ucapan terpuji bila disertai perilaku konkret sebagai santri selama dalam penjara. Dia rajin belajar agama, bersikap jujur, berorientasi kepada kebaikan umum. Betapapun kehendaknya menjadi justice collaborator tertolak, tetapi senantiasa kooperatif terhadap KPK untuk pembuktian tersangka-tersangka lain. Akankah Novanto demikian? Pembuktiannya dapat disimak pada perilakunya sepanjang 15 tahun di penjara.
Perlu diketahui bahwa paradigma moral tidak mudah diterima umum. Tokoh sosiologi hukum Donald Black menolaknya. Mengapa? Karena berdasarkan pengalamannya, pada aras historis-sosiologis, organisasi-organisasi modern seperti KPK, pengadilan, lapas, dan peraturan-peraturan modern seperti undang-undang, standard operating procedure (SOP) sebenarnya merupakan resultante pergulatan antarberbagai kekuatan untuk mengunggulkan kepentingannya di dalam organisasi. Kepentingan individu dan kepentingan komunal ditransaksikan sampai ditemukan kesepakatan. Aspirasi dan fakta-fakta sosial sering diabaikan dan tidak terakomodasi dalam perundang-undangan maupun SOP.
Menurut Black, hukum bukan sekadar kesepakatan-kesepakatan rasional, melainkan juga ilmu tentang perilaku, pengalaman, dan fakta-fakta sosial. Kemanfaatan perilaku seseorang bagi masyarakatnya perlu diunggulkan sebagai dasar penilaian kadar moralitasnya. Di situlah, sebanyak-banyaknya pengalaman dan fakta-fakta sosial, digunakan sebagai dasar penilaian.
Bertolak dari pendapat Black, banyak penjahat kelas teri berubah menjadi kelas kakap karena dibesarkan oleh lingkungan lapas. Secara empiris lapas merupakan “sekolah penjahat”. Fakta-fakta seperti ini tak bisa diabaikan kebenarannya. Benarkah Novanto (dan para residivis serta para koruptor) selama di penjara menjadi santri (kemudian berubah menjadi orang-orang baik), ataukah justru menjadi penjahat ganas, ataupun menjadi guru-guru kejahatan? Fakta-fakta empiris akan menjawab apa adanya.
Fakta-fakta sosial adalah representasi suara-suara kebenaran masyarakat, sekaligus kebenaran hukum. Dalam konteks demikian, pemidanaan terhadap Novanto mestinya akomodatif terhadap suara-suara masyarakat. Demi keadilan sosial, selain sanksi hukum (berupa pidana dan/atau denda), perlu ada sanksi sosial. Bentuk dan pelaksanaan sanksi sosial ditetapkan berdasarkan analisis sosial. Dus, KPK, pengadilan, dan lapas mestinya menjadi lembaga hukum dan sekaligus lembaga sosial.
Sungguh berbahaya bila proses pengadilan dan eksekusi terpidana dipisahkan dari dimensi sosialnya. Berat-ringannya vonis atas Novanto dipastikan memiliki implikasi sosial dan implikasi moral terhadap calon-calon terpidana lain. George Bataile dalam Literature and Evil (1990) mengingatkan perlunya kewaspadaan terhadap munculnya “hipermoralitas”, yaitu satu kondisi di mana ukuran-ukuran moralitas yang ada tidak dapat dipegang lagi. Cegahlah, jangan sampai muncul social distrust terhadap lembaga-lembaga hukum. Wallahualam.
(zik)