Novanto di Sukamiskin

Senin, 07 Mei 2018 - 08:00 WIB
Novanto di Sukamiskin
Novanto di Sukamiskin
A A A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM

Vonis atas Setya No­vanto sudah ber­ke­kuatan hukum tetap. Novanto di­be­ri sanksi hukum berupa pi­da­na penjara 15 tahun, denda Rp500 juta subsider enam bu­lan kurungan penjara, dan uang pengganti USD7,3 juta (dikurangi Rp5 miliar yang telah dikembalikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi), ser­ta larangan menduduki jabatan publik selama lima tahun (terhitung sejak selesai menjalani masa hukuman).

Eksekusi terhadap ter­pi­dana kasus e-KTP ini segera di­lak­sanakan. Terhitung sejak Jumat (4/5/2018), Novanto res­mi dipenjarakan di Lemba­ga Pemasyarakatan (Lapas) Su­ka­miskin, Bandung. Satu hal me­narik, ketika eksekusi akan dilaksanakan, terucap kata-kata bernada moralis dari man­tan politikus elite ini. "Di Su­ka­miskin, ini saya mulai dari kos, saya akan ke pesantren."

Pernyataan sungguh me­na­rik untuk dianalisis dari per­spek­tif sosiologi hukum. Pasal­nya, kasus korupsi bukan seka­dar kasus hukum, melainkan juga kasus politik, sosial, dan moral. Masyarakat, utamanya para korban e-KTP, punya hak untuk didengar dan diako­mo­das­i suaranya.

Sosiologi hukum sebagai ilmu nomografis senantiasa pe­duli terhadap realitas hu­kum sehari-hari (the full social reality of law). Pada aras ini hu­kum tidak dilihat semata-mata sebagai perundang-undangan atau putusan pengadilan, te­tapi juga hukum sebagai jati diri (Gestalt-like vision). Dalam jati dirinya hukum mewujud ber­ba­gai bentuk seperti perilaku, pengalaman, ataupun fakta. Setiap kasus hukum, karena itu, hanya dapat dipahami se­cara utuh bila dianalisis sejak para­dig­ma hukumnya. Kasus No­vanto akan dimaknakan se­per­ti apa sebagai persoalan po­li­tik, hukum, sosial, ataukah moral tergantung paradigma yang digunakan untuk peni­lai­an.

Memadankan Lapas Su­ka­mis­kin sebagai “pesantren” me­rupakan pernyataan yang sarat moralitas. Telah menjadi common sense bahwa pesantren merupakan lembaga ke­agama­an, wahana pendidikan para san­tri, agar menjadi manusia-ma­nusia bermoral, berakhlak mulia (akhlaqul karimah). Da­lam koridor husnudzan, patut diapresiasi bila Novanto ber­niat tulus menjadi manusia ber­moral selepas menjalani seluruh hukumannya. Banyak bukti, penjahat-penjahat be­r­to­bat seusai menjalani hu­kum­an, kemudian menjadi orang-orang bermoral, mampu ber­ma­syarakat, bahkan ber­man­faat bagi kehidupan bersama.

Lon Fuller dan Philip Selznick adalah tokoh-tokoh yang konsisten memandang pentingnya moral dalam hu­kum. Keduanya mengatakan bah­wa hukum tidaklah di­te­rima sebagai hukum, kecuali ber­dasarkan moralitas. Mo­ra­litas dimaksud sangat luas ca­kupannya, sejak moralitas individual sampai kolektif, dari yang relatif sampai kepastian. Secara eksplisit dikatakan bah­wa atas nama moral, harus ada kecocokan antara peraturan de­ngan perilaku sehari-hari.

Dalam konteks moralitas, ucapan Novanto dapat dite­ri­ma sebagai benar-benar ucap­an terpuji bila disertai perilaku kon­kret sebagai santri selama dalam penjara. Dia rajin belajar agama, bersikap jujur, ber­orien­tasi kepada kebaikan umum. Betapapun kehen­dak­nya menjadi justice collaborator tertolak, tetapi senantiasa koope­ratif terhadap KPK un­tuk pembuktian tersangka-ter­­sangka lain. Akankah No­vanto demikian? Pembuk­tia­n­nya dapat disimak pada pe­ri­la­ku­nya sepanjang 15 tahun di penjara.

Perlu diketahui bahwa pa­ra­digma moral tidak mudah di­terima umum. Tokoh sosiologi hukum Donald Black meno­lak­nya. Mengapa? Karena ber­da­sar­kan pengalamannya, pada aras historis-sosiologis, orga­ni­sasi-organisasi modern se­perti KPK, pengadilan, lapas, dan peraturan-peraturan mo­dern seperti undang-undang, standard operating procedure (SOP) sebenarnya merupakan resultante pergulatan antar­ber­bagai kekuatan untuk meng­unggulkan kepenting­an­nya di dalam organisasi. Ke­pen­tingan individu dan ke­pen­tingan ko­munal ditran­sak­si­kan sampai ditemukan ke­se­pa­katan. Aspi­rasi dan fakta-fakta sosial sering diabaikan dan tidak terako­mo­dasi dalam per­undang-undangan maupun SOP.

Menurut Black, hukum bu­kan sekadar kesepakatan-ke­sepakatan rasional, melainkan juga ilmu tentang perilaku, pengalaman, dan fakta-fakta sosial. Kemanfaatan perilaku seseorang bagi masyarakatnya perlu diunggulkan sebagai dasar penilaian kadar mora­li­tas­nya. Di situlah, sebanyak-ba­nyaknya pengalaman dan fakta-fakta sosial, digunakan sebagai dasar penilaian.

Bertolak dari pendapat Black, banyak penjahat kelas teri berubah menjadi kelas ka­kap karena dibesarkan oleh ling­kungan lapas. Secara empi­ris lapas merupakan “sekolah penjahat”. Fakta-fakta seperti ini tak bisa diabaikan kebe­na­ran­nya. Benarkah Novanto (dan para residivis serta para koruptor) selama di penjara menjadi santri (kemudian ber­ubah menjadi orang-orang baik), ataukah justru menjadi penjahat ganas, ataupun men­jadi guru-guru kejahatan? Fak­ta-fakta empiris akan me­n­ja­wab apa adanya.

Fakta-fakta sosial adalah representasi suara-suara ke­be­naran masyarakat, sekaligus ke­benaran hukum. Dalam kon­teks demikian, pemidanaan ter­ha­dap Novanto mestinya ako­mo­datif terhadap suara-suara ma­sya­rakat. Demi ke­adil­an sosial, selain sanksi hu­kum (berupa pidana dan/atau denda), perlu ada sanksi sosial. Ben­tuk dan pelak­sa­naan sanksi sosial dite­tap­kan ber­da­sar­kan analisis so­sial. Dus, KPK, pengadilan, dan lapas mes­tinya menjadi lembaga hu­­kum dan sekaligus lembaga sosial.

Sungguh berbahaya bila proses pengadilan dan ekse­kusi terpidana dipisahkan dari di­mensi sosialnya. Berat-ringan­nya vonis atas Novanto dipastikan memiliki implikasi sosial dan implikasi moral ter­hadap calon-calon terpidana lain. George Bataile dalam Li­terature and Evil (1990) meng­ingat­kan perlunya kewas­pa­da­an terhadap munculnya “hiper­mo­ralitas”, yaitu satu kondisi di mana ukuran-ukuran mora­li­tas yang ada tidak dapat di­pe­gang lagi. Cegahlah, jangan sam­pai muncul social distrust ter­hadap lembaga-lembaga hukum. Wallahualam.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7359 seconds (0.1#10.140)