Ustaz Abdul Somad, Sang Moderat dari Bumi Melayu
A
A
A
Oleh: Chavchay Syaifullah
HAL yang paling mudah ditangkap publik saat ini dari sosok Ustaz Abdul Somad adalah bahwa erudisi yang dimiliki lelaki kelahiran Silo Lama, Asahan, Sumatera Utara, pada 18 Mei 1977 ini bukan hanya mendalam, namun cukup luas. Penyampaian materi ceramahnya pun lugas, fleksibel, kontekstual, namun dalam poin tertentu ia mampu menyatakan sikap tegasnya. Ia menjawab banyak hal dari pertanyaan-pertanyaan jamaahnya. Pertanyaan remeh dan klasik yang masih saja mengganggu pikiran jamaah pengajian hari ini, tentang urgensi jenggot, celana cingkrang, dan doa qunut, hingga ke soal-soal kompleks menyangkut proses amalgamasi aliran-aliran besar dalam teologi Islam, dijawab UAS dengan santai dan cerdas. Bahkan dalam beberapa kesempatan, UAS juga mampu mendedah pengetahuannya di bidang sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, politik, dan filsafat. Rupanya minat UAS terhadap keilmuan cukup besar, sehingga sejak ia hijrah dari Sumatera Utara ke Riau untuk melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah Nurul Falah, Air Molek, Indragiri Hulu dan kuliah di UIN SUSKA Riau lalu menyelesaikan kuliah di Mesir dan Maroko, terbukti ia banyak mengonsumsi pengetahuan yang beraneka ragam.
Metode dakwah UAS yang mengombinasikan antara orasi dan diskusi, cukup mengesankan. Ruang tanya jawab bersama jamaah setempat, menjadi oase di tengah padang ceramah keagamaan yang tandus akibat terdistorsi selebrasi dai-dai amatir di televisi. Di majelis-majelis pesantren salafi, yang keberadaannya berada di kampung-kampung, sebenarnya apa yang dijawab oleh UAS menyangkut hal-hal fiqih sudah banyak dijawab. Begitu pun di lingkungan-lingkungan akademis di perkotaan, banyak jawaban yang disampaikan oleh UAS bukan hanya sudah diketahui, namun sudah dilakoni. Misalnya, soal qunut, di perkotaan sudah tak ada konflik besar lagi soal ini, sebab mereka seperti sudah mengenyam jawaban: “Yang salah bukan yang memakai atau yang tidak memakai doa qunut, melainkan mereka yang tidak shalat subuh.” Dan di perkotaan pun konflik soal qunut umumnya sudah tak ada lagi, hanya dengan argumen retorik semacam itu.
Namun justru yang menarik dari UAS adalah ketika ia masuk ke medan dakwah membawa metodologi perbandingan yang komprehensif, menyalakan spirit dialog yang inklusif dan egaliter, meletakkan persoalan ummat pada konteksnya, serta memberi detil uraian perbandingan agar setiap persoalan bisa terverifikasi secara baik. Metode ini tentu membuat UAS berada dalam posisi yang sulit dan butuh kesabaran tingkat tinggi, karena ia harus memulai jawaban-jawabannya dari tepian khazanah, lalu masuk ke inti permasalahan dengan argumentasi dari berbagai arah.
Karena itu, meskipun UAS terkesan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan jamaah secara cepat, tangkas, dan memukau karena bisa mengutip banyak rujukan tanpa melihat teks, saya justru melihat jawaban-jawabannya masih berupa bibit tanaman yang perlu dicarikan lahan tanamnya yang tepat, agar bibit tanaman itu bisa tumbuh dengan baik. Strategi ini ditempuh UAS, saya yakin, agar umat bisa berpikir luas, inklusif, kontekstual, dan terhindar dari taqlid ‘ama dalam persoalan yang bersifat furuiyyah. Selanjutnya, UAS layaknya moderator yang mengajak umat berdiskusi lebih dalam dan menyilakan umat memilih jalan keteguhannya sendiri.
Maka tak heran jika persoalan wajib atau tidak wajib muslim memelihara jenggot, bisa dianggap memuaskan pikiran jamaah karena metode UAS yang membongkar dalil-dalil atau argumen-argumen kedua pandangan yang berseteru melalui rujukan sumber-sumber utama kepada jamaah. Seandainya jamaah di hadapannya bukanlah kelompok santri yang mengakses kitab-kitab gundul, UAS sepertinya akan tetap saja menyibak isi daripada kitab-kitab klasik yang dirujuknya. UAS tidak pedulikan apakah jamaah di hadapannya sudah membaca kitab ini atau itu, ia akan tetap beberkan sejumlah pandangan tokoh dalam kitab-kitab yang berbeda agar persoalan bisa dicermati argumen-agumennya. Maka jadilah persoalan yang remeh temeh dipecahkan UAS dengan cara yang tidak remeh. Metode ini ternyata bisa diterima di zaman kini, di tengah kehidupan kaum sosialita yang haus jawaban-jawaban persoalan keagamaan melalui sumber-sumber utama yang disajikan secara ringkas, luas, dan cepat.
Sebaliknya, ketika ia harus berhadapan dengan persoalan besar menyangkut debat teologis dalam dunia intelektual Islam, ia mampu menunjukan sikap moderatnya dengan membongkar aspek sejarahnya, konteksnya, dan memisahkan antara pengetahuan yang bisa diambil karena bersesuaian dengan jumhur, sambil ia katakan bahwa ia tidak bisa mengutuk ulama si A atau si B, karena ulama si A dan si B memiliki tingkat keilmuan yang sangat tinggi. Contohnya, ketika ia harus menjawab siapa Ibnu Taimiyah dalam konstelasi pemikiran Islam, maka setelah ia uraikan panjang lebar menyangkut plus minusnya, ia tutup dengan menghaturkan sikap penghormatan bukan penistaan.
Ustaz Abdul Somad dengan segudang kelemahannya, barangkali bisa kita sambut kehadirannya sebagai ilmuwan dan juru dakwah yang mampu menjawab kebutuhan zamannya. Dialah ilmuwan yang moderat. Juru dakwah yang moderat. Manusia yang moderat.
Kalau pun terjadi pro kontra di tengah masyarakat, hal ini sangat lumrah terjadi dalam tradisi keilmuan. Proses diskursus ilmiah, seperti yang dijalani UAS saat ini, memang tidak saja butuh kedewasaan diri melainkan juga butuh kedewasaan organisatoris atau kedewasaan massal. Sebab katakan saja, seseorang yang sebenarnya bisa bersikap rasional dalam menerima atau menyanggah suatu argumentasi, namun lantaran ada massa atau ada struktur kekuasaan di luar sana yang lebih dahulu menyambut diskursus UAS dengan caci maki, hinaan, bahkan dengan persekusi dan deportasi, maka kedewasaan diri pun larut dalam massa. Kedewasaan diri hanyut dalam kejumudan massa. Apalagi mobilisasi gerakan terjadi di media sosial, maka informasi-informasi yang bias pun tidak terelakkan. Bibit-bibit pengetahuan dari UAS yang butuh tempat tanam yang baik, malah bertemu dengan racun dan hama dari kalangan awam yang hanya punya sentimen-sentimen gelap. Ilmuwan yang moderat pun dengan ringannya disebut radikal dan ekstrim. Jawaban-jawaban UAS yang masih butuh dialog tingkat tinggi, karena mungkin UAS untuk sementara waktu menjawab dengan jawaban A di hadapan jamaah awam, menjadi tidak meningkat derajat diskursusnya ke tingkat komunitas ilmiah. Semua begitu cepat dikonsumsi dan secepat itu juga bias, melahirkan pujian dan caci maki yang tanpa arah.
Selamat berdakwah, Ustaz Abdul Somad! Doa orang-orang di bumi Melayu kini pasti sedang bertalu-talu menuju jantungmu. Mereka rindu masa keemasan peradaban Islam di bumi Melayu pada abad 18 dan 19 bersinar kembali. Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji pun ikut bahagia menyaksikan dakwahmu hari ini.
Walakhir, di tengah kesibukanmu yang terus meningkat, mohon jangan lupa agar tetap menulis buku-buku yang akan jadi warisan mahal bagi bangsa ini. Di zaman yang super bising ini, sekali lagi, saya ucapkan selamat menempuh hidup sunyi sebagai ilmuwan, sebagai ‘Aalimul Faqiir!
*Chavchay Syaifullah adalah budayawan. Ia pernah belajar di Pesantren Daar el Qolam, Banten; Rabithah Ali Alamsyah, Mekkah, Arab Saudi; dan di Pesantren Raudhoh al-Hikam, Cibinong, Jawa Barat. Kini menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Banten dan Ketua Departemen Seni dan Budaya Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI). Ia juga aktif di organisasi Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), dan sejumlah perkumpulan sastrawan nasional dan internasional.
HAL yang paling mudah ditangkap publik saat ini dari sosok Ustaz Abdul Somad adalah bahwa erudisi yang dimiliki lelaki kelahiran Silo Lama, Asahan, Sumatera Utara, pada 18 Mei 1977 ini bukan hanya mendalam, namun cukup luas. Penyampaian materi ceramahnya pun lugas, fleksibel, kontekstual, namun dalam poin tertentu ia mampu menyatakan sikap tegasnya. Ia menjawab banyak hal dari pertanyaan-pertanyaan jamaahnya. Pertanyaan remeh dan klasik yang masih saja mengganggu pikiran jamaah pengajian hari ini, tentang urgensi jenggot, celana cingkrang, dan doa qunut, hingga ke soal-soal kompleks menyangkut proses amalgamasi aliran-aliran besar dalam teologi Islam, dijawab UAS dengan santai dan cerdas. Bahkan dalam beberapa kesempatan, UAS juga mampu mendedah pengetahuannya di bidang sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, politik, dan filsafat. Rupanya minat UAS terhadap keilmuan cukup besar, sehingga sejak ia hijrah dari Sumatera Utara ke Riau untuk melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah Nurul Falah, Air Molek, Indragiri Hulu dan kuliah di UIN SUSKA Riau lalu menyelesaikan kuliah di Mesir dan Maroko, terbukti ia banyak mengonsumsi pengetahuan yang beraneka ragam.
Metode dakwah UAS yang mengombinasikan antara orasi dan diskusi, cukup mengesankan. Ruang tanya jawab bersama jamaah setempat, menjadi oase di tengah padang ceramah keagamaan yang tandus akibat terdistorsi selebrasi dai-dai amatir di televisi. Di majelis-majelis pesantren salafi, yang keberadaannya berada di kampung-kampung, sebenarnya apa yang dijawab oleh UAS menyangkut hal-hal fiqih sudah banyak dijawab. Begitu pun di lingkungan-lingkungan akademis di perkotaan, banyak jawaban yang disampaikan oleh UAS bukan hanya sudah diketahui, namun sudah dilakoni. Misalnya, soal qunut, di perkotaan sudah tak ada konflik besar lagi soal ini, sebab mereka seperti sudah mengenyam jawaban: “Yang salah bukan yang memakai atau yang tidak memakai doa qunut, melainkan mereka yang tidak shalat subuh.” Dan di perkotaan pun konflik soal qunut umumnya sudah tak ada lagi, hanya dengan argumen retorik semacam itu.
Namun justru yang menarik dari UAS adalah ketika ia masuk ke medan dakwah membawa metodologi perbandingan yang komprehensif, menyalakan spirit dialog yang inklusif dan egaliter, meletakkan persoalan ummat pada konteksnya, serta memberi detil uraian perbandingan agar setiap persoalan bisa terverifikasi secara baik. Metode ini tentu membuat UAS berada dalam posisi yang sulit dan butuh kesabaran tingkat tinggi, karena ia harus memulai jawaban-jawabannya dari tepian khazanah, lalu masuk ke inti permasalahan dengan argumentasi dari berbagai arah.
Karena itu, meskipun UAS terkesan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan jamaah secara cepat, tangkas, dan memukau karena bisa mengutip banyak rujukan tanpa melihat teks, saya justru melihat jawaban-jawabannya masih berupa bibit tanaman yang perlu dicarikan lahan tanamnya yang tepat, agar bibit tanaman itu bisa tumbuh dengan baik. Strategi ini ditempuh UAS, saya yakin, agar umat bisa berpikir luas, inklusif, kontekstual, dan terhindar dari taqlid ‘ama dalam persoalan yang bersifat furuiyyah. Selanjutnya, UAS layaknya moderator yang mengajak umat berdiskusi lebih dalam dan menyilakan umat memilih jalan keteguhannya sendiri.
Maka tak heran jika persoalan wajib atau tidak wajib muslim memelihara jenggot, bisa dianggap memuaskan pikiran jamaah karena metode UAS yang membongkar dalil-dalil atau argumen-argumen kedua pandangan yang berseteru melalui rujukan sumber-sumber utama kepada jamaah. Seandainya jamaah di hadapannya bukanlah kelompok santri yang mengakses kitab-kitab gundul, UAS sepertinya akan tetap saja menyibak isi daripada kitab-kitab klasik yang dirujuknya. UAS tidak pedulikan apakah jamaah di hadapannya sudah membaca kitab ini atau itu, ia akan tetap beberkan sejumlah pandangan tokoh dalam kitab-kitab yang berbeda agar persoalan bisa dicermati argumen-agumennya. Maka jadilah persoalan yang remeh temeh dipecahkan UAS dengan cara yang tidak remeh. Metode ini ternyata bisa diterima di zaman kini, di tengah kehidupan kaum sosialita yang haus jawaban-jawaban persoalan keagamaan melalui sumber-sumber utama yang disajikan secara ringkas, luas, dan cepat.
Sebaliknya, ketika ia harus berhadapan dengan persoalan besar menyangkut debat teologis dalam dunia intelektual Islam, ia mampu menunjukan sikap moderatnya dengan membongkar aspek sejarahnya, konteksnya, dan memisahkan antara pengetahuan yang bisa diambil karena bersesuaian dengan jumhur, sambil ia katakan bahwa ia tidak bisa mengutuk ulama si A atau si B, karena ulama si A dan si B memiliki tingkat keilmuan yang sangat tinggi. Contohnya, ketika ia harus menjawab siapa Ibnu Taimiyah dalam konstelasi pemikiran Islam, maka setelah ia uraikan panjang lebar menyangkut plus minusnya, ia tutup dengan menghaturkan sikap penghormatan bukan penistaan.
Ustaz Abdul Somad dengan segudang kelemahannya, barangkali bisa kita sambut kehadirannya sebagai ilmuwan dan juru dakwah yang mampu menjawab kebutuhan zamannya. Dialah ilmuwan yang moderat. Juru dakwah yang moderat. Manusia yang moderat.
Kalau pun terjadi pro kontra di tengah masyarakat, hal ini sangat lumrah terjadi dalam tradisi keilmuan. Proses diskursus ilmiah, seperti yang dijalani UAS saat ini, memang tidak saja butuh kedewasaan diri melainkan juga butuh kedewasaan organisatoris atau kedewasaan massal. Sebab katakan saja, seseorang yang sebenarnya bisa bersikap rasional dalam menerima atau menyanggah suatu argumentasi, namun lantaran ada massa atau ada struktur kekuasaan di luar sana yang lebih dahulu menyambut diskursus UAS dengan caci maki, hinaan, bahkan dengan persekusi dan deportasi, maka kedewasaan diri pun larut dalam massa. Kedewasaan diri hanyut dalam kejumudan massa. Apalagi mobilisasi gerakan terjadi di media sosial, maka informasi-informasi yang bias pun tidak terelakkan. Bibit-bibit pengetahuan dari UAS yang butuh tempat tanam yang baik, malah bertemu dengan racun dan hama dari kalangan awam yang hanya punya sentimen-sentimen gelap. Ilmuwan yang moderat pun dengan ringannya disebut radikal dan ekstrim. Jawaban-jawaban UAS yang masih butuh dialog tingkat tinggi, karena mungkin UAS untuk sementara waktu menjawab dengan jawaban A di hadapan jamaah awam, menjadi tidak meningkat derajat diskursusnya ke tingkat komunitas ilmiah. Semua begitu cepat dikonsumsi dan secepat itu juga bias, melahirkan pujian dan caci maki yang tanpa arah.
Selamat berdakwah, Ustaz Abdul Somad! Doa orang-orang di bumi Melayu kini pasti sedang bertalu-talu menuju jantungmu. Mereka rindu masa keemasan peradaban Islam di bumi Melayu pada abad 18 dan 19 bersinar kembali. Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji pun ikut bahagia menyaksikan dakwahmu hari ini.
Walakhir, di tengah kesibukanmu yang terus meningkat, mohon jangan lupa agar tetap menulis buku-buku yang akan jadi warisan mahal bagi bangsa ini. Di zaman yang super bising ini, sekali lagi, saya ucapkan selamat menempuh hidup sunyi sebagai ilmuwan, sebagai ‘Aalimul Faqiir!
*Chavchay Syaifullah adalah budayawan. Ia pernah belajar di Pesantren Daar el Qolam, Banten; Rabithah Ali Alamsyah, Mekkah, Arab Saudi; dan di Pesantren Raudhoh al-Hikam, Cibinong, Jawa Barat. Kini menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Banten dan Ketua Departemen Seni dan Budaya Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI). Ia juga aktif di organisasi Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), dan sejumlah perkumpulan sastrawan nasional dan internasional.
(mhd)