Zigzag Penerimaan Pajak

Senin, 18 September 2017 - 08:02 WIB
Zigzag Penerimaan Pajak
Zigzag Penerimaan Pajak
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

TOPIK mengenai pajak kembali menjadi buah bibir, terutama terkait saling lempar argumen antara pemerintah dengan kalangan penulis serta pekerja seni dalam beberapa hari terakhir. Ada beberapa penulis yang curhat bahwa karya intelektualnya kurang diapresiasi pemerintah dengan skema perpajakan eksisting.

Beban pajak yang persentasenya dikatakan mencapai 50% dari nilai royalti yang diterima para penulis dianggap sudah tidak wajar. Bahkan Tere Liye, penulis yang karya-karyanya untuk saat ini amat digandrungi penikmat buku lintas generasi, telah mengumumkan tidak akan lagi mencetak bukunya melalui media penerbit.

Tentu ini menimbulkan kontroversi tersendiri di tengah-tengah ikhtiar pemerintah untuk menggiatkan kampanye gemar membaca buku serta tekanan penerimaan pajak yang sangat berat. Di satu sisi, kondisi ini kontradiktif dengan kebijakan pemerintah agar aktivitas ekonomi nonmigas, termasuk di dalamnya pelaku industri kreatif, kian meningkat kontribusinya di era perekonomian dunia penuh dengan turbulensi.

Walaupun begitu tekanan tugas yang masih lumayan besar masih harus ditanggung oleh Kementerian Keuangan seperti isu pengenaan pajak e-commerce serta tindak lanjut reformasi perpajakan pasca-tax amnesty.

Saat ini tekanan mengenai perpajakan juga mencuat dari realisasi target penerimaan menjelang ditutupnya masa anggaran 2017. Hingga Agustus kemarin atau setelah dua pertiga berjalannya tahun anggaran, Dirjen Pajak melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp686 triliun atau sekitar 53,5% dari total target penerimaan APBN-P 2017 yang sejumlah Rp1.283 triliun. Raihan tersebut bisa membuat tegang para penanggung jawab penerimaan pajak karena sekarang sudah tidak ada lagi program tax amnesty.

Program tax amnesty memang harus diakui telah ikut menggenjot penerimaan pajak dengan jumlah yang lumayan banyak. Namun karena program tersebut sudah berakhir Maret kemarin, sekarang ini pemerintah harus bekerja keras dengan cara-cara yang lebih “murni”.

Kenangan yang dihasilkan dari program tax amnesty tinggal basis data yang mudah-mudahan dapat membantu pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi potensi penerimaan pajak.

Selama ini pemerintah memiliki track record yang kurang menarik dalam merealisasi target-target penerimaan pajak. Dalam tiga tahun terakhir, persentasenya selalu suboptimal di bawah target yang diharapkan. Pada 2014 angkanya masih relatif menggembirakan karena realisasi penerimaan pajak masih mencapai 91,7% dari target.

Adapun tahun-tahun berikutnya malah bisa dibilang semakin suram karena secara berturut-turut hanya terealisasi di kisaran 81,5%. Karena itu bisa dibilang realisasi yang kurang meyakinkan pada tahun ini ibarat sudah menjadi bagian dari sebuah tradisi.

Namun sebagai bangsa yang ingin negaranya maju, stigma tersebut seharusnya tidak dibiarkan terus berlarut-larut. Karena ihwal mengenai perpajakan bisa sangat sensitif dan sangat berpotensi memberikan implikasi negatif pada banyak aspek, mulai dari lingkungan ekonomi, sosial hingga politik.

Dari lingkungan ekonomi misalnya. Realisasi penerimaan pajak akan sangat memengaruhi kapasitas belanja pemerintah karena kas negara kita rata-rata di atas 70%-nya dipasok dari penerimaan pajak.

Bahkan dalam dua tahun terakhir kontribusi pajak terhadap total penerimaan negara sudah menembus kisaran 82%. Lalu kalau kondisi penerimaan pajak masih saja terus seret seperti yang terjadi sekarang ini, efek negatifnya akan menjalar ke dua konsekuensi logis, yakni pemerintah mengalami defisit fiskal dan nilai politik pemerintah bisa merosot karena proses perencanaan keuangannya dianggap kurang kredibel.

Kedua konsekuensi tidak hanya berhenti di situ. Untuk menutupi besaran defisit fiskal, biasanya pemerintah mengumpulkan utang melalui perjanjian bilateral/multilateral dan/atau menerbitkan surat utang melalui sistem obligasi/sukuk. Nah di Indonesia sendiri kebijakan utang masih dianggap sebagai hal yang tabu.

Sementara itu konsekuensi lainnya yang terkait dengan kredibilitas politik pemerintah yang bersumber dari realisasi penerimaan pajak pada umumnya bisa menjalar terhadap stabilitas politik di tingkat pemerintah daerah dan pusat. Jika realisasi penerimaan pajak di bawah target, biasanya pemerintah akan “memaksakan” adanya efisiensi berupa pemotongan anggaran.

Pemotongan anggaran bisa sangat mengganggu kondisi psikologis institusi yang berwenang untuk menggunakan anggaran karena otomatis akan merombak sistem perencanaannya. Hal yang lebih fatal lagi jika pemerintah daerah juga terkena imbas pemotongan anggaran.

Beberapa (atau malah sebagian besar) pemerintah daerah sangat menggantungkan denyut fiskalnya dari sumbangan transfer pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kalau dana transfernya dipotong, itu sama saja dengan membuat layanan pemerintah daerah juga tidak bisa optimal.

Bagaimanapun sesuai dengan pemikiran aliran Keynesian, peran pemerintah masih sangat besar untuk mengefisienkan mekanisme pasar yang cenderung sangat liar. Proyek-proyek mercusuar yang bersumber dari APBN seperti peningkatan dan perluasan pembangunan infrastruktur, pengembangan kualitas SDM, serta penguatan ekonomi desa sudah sangat selaras dengan dinamika ekonomi nasional.

Namun jika anggarannya seret, proyek-proyek tersebut bisa jadi akan tidak optimal dan bahkan mungkin terbengkalai. Nah sekarang, langkah apa saja yang perlu diupayakan pemerintah?

Pertama, penulis menganggap bahwa warisan-warisan dari kebijakan tax amnesty kemarin masih sangat banyak yang layak untuk ditindaklanjuti. Minimal yang terkait dengan basis pajak (tax base) yang baru serta gairah untuk terus melakukan reformasi pajak.

Basis pajak yang mengejawantahkan jumlah wajib pajak serta potensi penerimaan dari pajak perlu disisir lagi bagaimana tindak lanjutnya. Pemerintah bisa memberikan sosialisasi dan tindakan persuasif yang lebih mendalam untuk meningkatkan tingkat kepatuhan pajak (tax compliance).

Oknum-oknum pegawai pajak yang selama ini mengabaikan standard operating procedure (SOP) pemungutan pajak juga perlu ditindak agar wajib pajak tidak terganggu dengan isu-isu penyalahgunaan wewenang. Sama halnya dengan wacana reformasi perpajakan yang hingga saat ini belum cukup nyaring terdengar.

Publik sudah sangat lama menanti bagaimana implementasi reformasi yang dijanjikan pemerintah selama sosialisasi tax amnesty berjalan. Jika kabar terbaru yang terkait dengan penguatan peran aparat pengawas intern pemerintah (APIP) ada hubungannya dengan reformasi perpajakan, sebaiknya juga dijelaskan sejauh mana tingkat pengaruhnya terhadap realisasi penerimaan pajak?

Apakah nanti dampaknya betul-betul signifikan atau sekadar mendapat “remahan”? APIP sendiri bisa dibilang cakupannya cukup kecil karena hanya mengawasi kewajiban pembayaran pajak atas anggaran yang digunakan institusi pemerintah.

Kedua, penguatan APIP bisa jadi relatif kurang signifikan (terhadap realisasi penerimaan pajak) karena proses pengawasannya terbatas pada instansi pemerintah. Lantas bagaimana dengan mekanisme pengawasan dan lebih pasnya lagi mengenai penguatan modal sosial dengan masyarakat yang potensi penerimaannya jauh lebih besar?

Fenomena “gugatan” yang dilancarkan kalangan penulis tidak menutup kemungkinan juga akan diikuti kalangan-kalangan lain yang (mungkin) merasa tidak puas dengan kebijakan perpajakan eksisting.

Dalam kacamata penulis, masalahnya tidak hanya berpusat dari ketidakpuasan wajib pajak yang dalam hal ini kebetulan terkait dengan persentase pajak yang dinilai “kelewatan”. Karena bisa jadi akar masalahnya justru timbul dari modal sosial yang lemah antara pemerintah dan wajib pajak.

Beberapa negara eks sosialis di daratan Eropa bahkan memiliki tingkat pajak yang lebih tinggi dari Indonesia. Namun tingkat kepatuhannya jauh lebih baik di negara-negara tersebut.

Kata kuncinya terletak pada kepercayaan (modal sosial) yang tinggi antara pemerintah dan wajib pajaknya. Masyarakat (wajib pajak) cukup yakin bahwa pajak yang dibayarkan nantinya akan kembali sebagai modal kesejahteraan melalui layanan politik pemerintahnya meskipun di sisi yang lain juga cukup menguras total penghasilannya.

Sementara itu kita semua tahu bahwa proses yang sama di Indonesia justru berjalan kurang lancar. Faktor penyebabnya bisa dikaitkan dengan hasil kebijakan makroekonomi yang cenderung kurang memuaskan serta isu-isu pelik lain yang terkait penyelewengan (korupsi) atas keuangan negara.

Ketiga, saat ini pemerintah (melalui Kementerian Keuangan) kabarnya tengah mengkaji ulang mengenai baseline penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Pertengahan tahun lalu baseline PTKP mengalami kenaikan signifikan dari sebelumnya Rp36 juta menjadi Rp54 juta per tahun. Otomatis kenaikan ini juga berakibat pada perubahan status sebagian wajib pajak yang dulunya harus wajib lapor SPT menjadi tidak wajib lapor SPT.

Bahkan Dirjen Pajak memperkirakan negara kehilangan potensi penerimaan sebesar Rp18 triliun karena adanya kenaikan PTKP. Alasan lain juga berkenaan dengan tingkat kepatuhan formal yang menurun.

Oleh karena itu pemerintah tengah berupaya untuk kembali menyesuaikan baseline PTKP agar kinerja perpajakan bisa segera membaik. Penulis mempertanyakan, jikalau tax rate akan mengalami perubahan dan kemungkinan terbesarnya adalah baseline PTKP-nya akan diturunkan, apakah lagi-lagi akan ada jaminan bahwa kinerja perpajakan akan jauh lebih memuaskan?

Pekerjaan rumah terbesarnya sebetulnya lagi-lagi karena modal sosial yang relatif rendah. Selain itu sangat mungkin juga dipengaruhi dengan adanya tax buoyancy yang menjelaskan elastisitas hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat dengan tingkat kepatuhan pajak.

Dan keempat, menyambung soal tax buoyancy yang baru saja disebutkan di poin sebelumnya, ada kalanya menjadi fenomena yang terlupakan. Karena bisa saja masyarakat yang tidak melaporkan SPT-nya bukan karena faktor kelalaian semata, melainkan karena kondisi ekonomi rumah tangganya yang sedang melempem.

Apalagi selama Presiden Joko Widodo berkuasa, tingkat pertumbuhan ekonomi kita cenderung kontradiktif. Dan sejauh ini tax buoyancy yang menggambarkan kemampuan otoritas pajak Indonesia dalam mengikuti laju pertumbuhan ekonomi terus menurun dari sebelumnya di tahun 2012 masih mencapai 2,1% berangsur-angsur merosot hingga pada 2016 hanya menjadi 1,4%.

Oleh karena itu wacana akselerasi pertumbuhan ekonomi perlu juga diimbangi dengan banyak hal. Misalnya kondisi makro ekonomi yang lebih baik, situasi politik yang lebih stabil, dan yang tidak kalah penting terkait pembenahan yang efektif di tubuh internal pajaknya.

Dengan begitu pertumbuhan ekonomi yang terus digenjot tidak semakin meninggalkan dampak positifnya bagi negara, yang dalam hal ini dimaksudkan sebagai kausalitas positif antara pertumbuhan ekonomi dan manfaatnya terhadap realisasi penerimaan pajak negara.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2111 seconds (0.1#10.140)