Khilafah dalam Perspektif Sejarah

Senin, 08 Mei 2017 - 07:17 WIB
Khilafah dalam Perspektif...
Khilafah dalam Perspektif Sejarah
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Program Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

SETELAH melaksanakan misi kenabiannya selama 23 tahun di Mekkah dan Madinah, Nabi Muhammad SAW wafat pada 632 M (11 H). Dalam bukunya bertajuk Muhammad: Prophet and Statesman, Prof William Montgomery Watt menilai karier Muhammad sangat sukses sebagai nabi dan negarawan.

Dalam bukunya yang berjudul The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, Michael H Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh pertama yang paling berpengaruh di pentas sejarah dunia. Setelah wafatnya Nabi Muhammad, roda pemerintahan dan kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib).

Pemerintahan Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 29 tahun (11–40 H/632–661 M). Secara historis, sistem pemerintahan ini dipandang sebagai tonggak sejarah berdirinya sistem khilafah dalam ketatanegaraan Islam.

Proses pemilihan Khulafaur Rasyidin memperlihatkan sistem yang berbeda. Setelah melalui proses permusyawaratan (syura) yang hangat, akhirnya para sahabat dan wakil-wakil umat Islam memilih Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah (632–634 M).

Sebelum wafat, Abu Bakar mencalonkan Umar bin Khattab sebagai khalifah dan pencalonannya disetujui para sahabat dan Umar pun terpilih sebagai khalifah (634–644 M). Setelah wafatnya Khalifah Umar bin Khattab, para sahabat atau wakil-wakil umat Islam mengajukan enam calon khalifah, yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Dalam pemilihan ini, Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah (644–656 M).

Pengganti Khalifah Usman bin Affan adalah Khalifah Ali bin Abi Thalib (656–661 M). Ali bin Abi Thalib dipilih sebagai khalifah dengan suara yang tidak bulat. Siti Aisyah (janda Nabi Muhammad) tidak setuju dan tidak mau membaiat Ali.

Situasi ini menyeret Aisyah dan Khalifah Ali terlibat dalam Perang Jamal (Unta) yang menelan banyak korban. Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Gubernur Syam/Suriah dari Bani Umayyah) ”menentang” dan tidak mau menyatakan baiat kepada Khalifah Ali yang berasal dari Bani Hasyim. Kemelut politik ini menggiring Muawiyah dan Ali tercebur dalam Perang Shiffin yang mengakibatkan banyak korban tewas dan luka-luka.

Poin penting yang hendak dicatat dengan mengemukakan episode sejarah pemerintahan Khulafaur Rasyidin di atas adalah bahwa tiap khalifah dipilih dengan jalan musyawarah. Walaupun dengan sistem yang berlainan, permusyawaratan sebagai inti dan esensi demokrasi tetap dijunjung tinggi dan dilaksanakan para sahabat dan wakil-wakil umat Islam pada masa itu secara benar, jujur, adil, dan fair.

”Keengganan” Siti Aisyah memberikan baiat kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib dan ”ketidaksetujuan” Mu’awiyah bin Abi Sufyan terhadap Khalifah Ali dapat dipahami dalam alam demokrasi. Tapi sangat disayangkan mengapa Perang Jamal dan Perang Shiffin harus terjadi?

Selepas pemerintahan Khulafaur Rasyidin, berdirilah Daulah Umayyah (661–750 M) dan diperintah oleh 14 khalifah dengan pusat pemerintahannya di Damaskus. Pendiri Daulah Umayyah adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (661–680 M). Walaupun sistem yang dipakai pada masa Daulah Umayyah ini adalah sistem khilafah (kepala negaranya disebut khalifah), tetapi itu sudah ”menyimpang” dari sistem kekhalifahan yang berlaku pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.

Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, empat khalifah (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) dipilih secara demokratis melalui permusyawaratan para sahabat/wakil-wakil umat Islam.

Pada masa Daulah Umayyah, semua khalifah sudah tidak dipilih lagi secara demokratis, tetapi jabatan dan kekuasaan khalifah sudah diwariskan secara turun-temurun dan secara eksklusif berada di tangan Bani Umayyah. Orang-orang di luar Bani Umayyah tidak memiliki akses politik untuk memegang jabatan dan kekuasaan khalifah.

Melalui revolusi yang sangat eksplosif dan masif, Bani Abbasiyah melakukan kudeta dan berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Maka berdirilah Daulah Abbasiyah (750– 1.258 M) yang diperintah oleh 37 khalifah dengan pusat pemerintahannya di Baghdad. Dalam hal sistem pemerintahan dan kenegaraan, Daulah Abbasiyah sama saja dengan Daulah Umayyah.

Jabatan dan kekuasaan khalifah diwariskan secara turun-temurun dan secara eksklusif berada di tangan Bani Abbasiyah. Orang-orang di luar Bani Abbasiyah sama sekali tidak punya akses politik untuk meraih jabatan dan kekuasaan khalifah.

Hal yang sama terjadi pula dalam kekhalifahan Islam di dunia Barat, yaitu di Daulah Umayyah yang berpusat di Cordova (Andalusia, Spanyol, 750–1031 M). Jabatan dan kekuasaan amir/khalifah diwariskan secara turun-temurun di kalangan Bani Umayyah. Akses politik untuk menduduki jabatan dan kekuasaan amir/khalifah di luar Bani Umayyah sama sekali tertutup.

Daulah Umayyah di Cordova didirikan oleh Abdurrahman ad-Dakhil, seorang pangeran Umayyah yang selamat dari tragedi asasinasi besar-besaran yang dilakukan Bani Abbasiyah.

Dari paparan di atas dapat diketahui, masa jabatan khalifah pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin tidak dibatasi dalam arti khalifah menjalankan pemerintahan seumur hidup. Juga dapat diketahui bahwa kekhalifahan Umayyah di Damaskus, kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, dan kekhalifahan Umayyah di Cordova sebenarnya sama dengan sistem kerajaan (monarki) karena jabatan dan kekuasaan kepala negara secara eksklusif diwariskan secara turun-temurun.

Pada masa Kesultanan Turki Usmani, Abdul Majid (1922– 1924) dalam masa yang sangat singkat pernah dipilih sebagai khalifah oleh Majelis Nasional Besar Turki sebelum negara itu ditransformasi oleh Mustafa Kemal Ataturk menjadi negara republik sekuler.

Islam tidak secara spesifik mengajarkan kepada umat Islam untuk menerapkan bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu dalam mengelola negara karena masalah kenegaraan adalah masalah keduniawian yang mengalami perkembangan.

Di Nusantara pada masa lalu pernah eksis kerajaan/ kesultanan Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Makassar, dan Mataram. Kerajaan/kesultanan Islam ini pada akhirnya terhapus ketika Indonesia dideklarasikan sebagai negara bangsa (nation state) dalam bentuk negara republik.

Timbul pertanyaan ilmiah dan akademis: pengusung ide pendirian khilafah di negeri ini mengacu ke mana? Ke kekhalifahan Umayyah atau Abbasiyah yang kekuasaan kepala negaranya diwariskan secara turun-temurun dan di luar bani (dinasti) itu orang tidak memiliki akses politik untuk meraih jabatan dan kekuasaan sebagai kepada negara? Hal ini sangat tidak cocok dengan UUD 1945 sebagai salah satu pilar NKRI dan juga tidak sejalan dengan aspirasi politik founding fathers republik ini.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0902 seconds (0.1#10.140)