Akses Lapangan Kerja Disabilitas

Sabtu, 03 Desember 2022 - 12:37 WIB
loading...
Akses Lapangan Kerja Disabilitas
Arif Minardi. FOTO/DOK KORAN SINDO
A A A
Arif Minardi
Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI)
Konseptor Haluan Negara Kesejahteraan

Peringatan Hari Disabilitas Internasional pada 3 Desember 2022 bertujuan memberikan dukungan dan perlindungan kepada para penyandang disabilitas di seluruh dunia. Peringatan itu juga dikenal dengan istilah International Day of People with Disabilities.

Laman resmi Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) melansir tema Hari Disabilitas Internasional 2022 yakni "Transformative solutions for inclusive development: the role of innovation in fuelling an accessible and equitable world" atau "Solusi transformatif untuk pembangunan inklusif: peran inovasi dalam mendorong dunia yang dapat diakses dan adil".

Tema peringatan tahun ini fokus pada penegakan hak asasi manusia, pembangunan berkelanjutan, serta perdamaian dan keamanan untuk penyandang disabilitas. Selain itu, peringatan Hari Disabilitas Internasional juga sebagai komitmen mewujudkan hak dan keadilan bagi penyandang disabilitas di seluruh dunia. Termasuk hak kaum disabilitas untuk mendapatkan lapangan kerja yang layak.

Hingga kini masih banyak perusahaan yang belum paham terkait dengan kewajibannya untuk mempekerjakan kaum disabilitas. Untuk itu perlu sosialisasi peraturan terkait hak kaum disabilitas.Padahalsesuai dengan Undang-undang No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ditekankan bahwa peran perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% penyandang disabilitas dari jumlah total pegawai atau pekerja.

PBB telah menerbitkan strategi inklusi disabilitas. Ketika meluncurkan strategi itu pada Juni 2019, Sekretaris Jenderal PBB menyatakan bahwa lembaga dunia ini harus memimpin dengan memberi contoh dan meningkatkan standar dan kinerja bagi penyandang disabilitas di semua pilar pekerjaan, dari kantor pusat hingga lapangan.

Peringatan Hari Disabilitas Internasional menjadi momentum untuk mengevaluasi arahdan kebijakan nasional terkait peningkatan inklusivitas penyandang disabilitas yang menyeluruh pada setiap aspek penghidupan.

Peringatan juga menjadi momentum untuk meningkatkan advokasi terhadap peraturan dan kebijakan di tingkat pusat dan daerah bagi penyandang disabilitas. Serta mengembangkan fasilitas, mekanisme, dan kapasitas tenaga pelayanan publik agar dapat diakses oleh penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.

Namun masih banyak penyandang disabilitas yang tidak terpenuhinya hak disabilitas di antaranya memiliki hak yang sama untuk berkomunikasi dan berinteraksi langsung tanpa adanya batasan, mengembangkan bakat, kemampuan serta kehidupan sosial baik di lingkungan keluarga maupun dilingkungan masyarakat.

Berdasarkan hasil Susenas 2018, sekitar 2,92% (7,4 juta) penduduk Indonesia berusia dua tahun ke atas merupakan penyandang disabilitas. Prevalensi penyandang disabilitas semakin meningkat pada kelompok usia lebih tua.

Penduduk lansia (usia lebih dari 65 tahun) memiliki prevalensi yang paling tinggi, yaitu 20,70 %, sedangkan prevalensi pada penduduk usia anak (2–17 tahun) dan usia produktif (15–64 tahun) masing-masing hanya 1,11 % dan 2,01 %. Sementara itu, berdasarkan jumlah, penyandang disabilitas terbanyak berada pada kelompok usia produktif, yaitu sekitar 3,6 juta orang atau 48,09 % dari total penyandang disabilitas.

Jumlah penyandang disabilitas pada kelompok lansia juga cukup tinggi, mencapai 42,43% dari dari total penyandang disabilitas. Tingginya prevalensi dan jumlah penyandang disabilitas pada kelompok lansia tersebut dipengaruhi oleh menurunnya berbagai fungsi tubuh sebagai akibat dari faktor usia.

Kondisi kesejahteraan tidak terlepas dari akses terhadap pekerjaan sebagai sumber pendapatan yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Menurut data Susenas 2018, mayoritas penyandang disabilitas usia produktif tidak masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Hal ini terlihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) penyandang disabilitas yang hanya 31,63 %. Angka tersebut jauh lebih rendah daripada TPAK non disabilitas yang hampir mencapai 70%.

Namun, di antara penduduk yang masuk ke dalam angkatan kerja, tingkat pengangguran warga penyandang disabilitas (4,15%) sedikit lebih baik daripada warga non disabilitas (4,91%).

Di antara penduduk yang bekerja, baik pada kelompok penyandang disabilitas maupun pada non disabilitas, mayoritas adalah laki-laki. Namun, ketimpangan gender dalam mengakses pekerjaan tersebut sedikit lebih besar pada penyandang disabilitas.

Di antara penyandang disabilitas yang bekerja, mayoritas terserap pada sektor jasa dan berpendidikan rendah. Pekerja yang tidak memiliki ijazah sekolah dasar (SD) karena tidak pernah sekolah atau tidak menamatkan SD mencapai 44,29%, pada penyandang disabilitas, atau lebih dari dua kali lipat angka pada pekerja non disabilitas.

Pekerja penyandang disabilitas yang berpendidikan SMP ke bawah mencapai 82,43 %, sedangkan pekerja non disabilitas yang berpendidikan SMP ke bawah 60,71%. Perbedaan lain yang menonjol antara pekerja disabilitas dan non disabilitas adalah status pekerjaan. Lebih dari separuh pekerja disabilitas (57,07%) membuka usaha sendiri yang umumnya bersifat informal.

Pekerja disabilitas yang bekerja sebagai buruh/karyawan formal (tetap dan dibayar) hanya 22,25%. Sementara itu, pada pekerja non disabilitas sebarannya cenderung berkebalikan.

Proporsi buruh/karyawan formal non disabilitas mencapai 42,67% dan yang berusaha sendiri 34,53%. Kesulitan penyandang disabilitas dalam mengakses pekerjaan formal diungkap oleh beberapa pihak, antara lain oleh pengelola situs pencari lowongan pekerja bagi penyandang disabilitas.

Untuk lowongan pekerjaan yang dibuka pun penyandang disabilitas memiliki kecenderungan yang besar untuk ditolak dalam proses perekrutan, meski kandidat difabel bisa bersaing dari sisi kualifikasi dan dipanggil untuk wawancara, namun saat pengambilan keputusan untuk memilih kandidat, "hampir bisa dipastikan" kandidat difabel akan tersingkir karena stigma yang masih kuat tentang kemampuan kerja kelompok difabel.

Keterlibatan pihak swasta juga diperlukan untuk menciptaan peluang kerja bagi para difabel. Microsoft bisa menjadi contoh bagaimana mereka melakukannya. Perusahaan berbasis di Amerika Serikat itu telah meluncurkan Microsoft Enabler sebagai program barunya.

Program ini dibuat untuk membantu menciptakan lapangan kerja inklusif bagi para penyandang disabilitas di Asia Pasifik dengan menghilangkan hambatan dalam mempekerjakan tenaga kerja yang beragam.

Data dari United Nations ESCAP menunjukkan, ada lebih dari satu miliar penyandang disabilitas di seluruh dunia. ESCAP menyebut jumlah ini bisa mendorong peningkatan 1-7% dalam PDB di Asia Pasifik melalui peningkatan produktivitas ekonomi.

Melihat fakta tersebut, maka kita perlu melakukan studi banding terkait program serupa yang telah diterapkan di lima negara yaitu Korea, Selandia Baru, Filipina, Singapura, dan Thailand yang kemudian akan diperluas ke negara lain.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1950 seconds (0.1#10.140)