Akses Lapangan Kerja Disabilitas
loading...
A
A
A
Berdasarkan hasil Susenas 2018, sekitar 2,92% (7,4 juta) penduduk Indonesia berusia dua tahun ke atas merupakan penyandang disabilitas. Prevalensi penyandang disabilitas semakin meningkat pada kelompok usia lebih tua.
Penduduk lansia (usia lebih dari 65 tahun) memiliki prevalensi yang paling tinggi, yaitu 20,70 %, sedangkan prevalensi pada penduduk usia anak (2–17 tahun) dan usia produktif (15–64 tahun) masing-masing hanya 1,11 % dan 2,01 %. Sementara itu, berdasarkan jumlah, penyandang disabilitas terbanyak berada pada kelompok usia produktif, yaitu sekitar 3,6 juta orang atau 48,09 % dari total penyandang disabilitas.
Jumlah penyandang disabilitas pada kelompok lansia juga cukup tinggi, mencapai 42,43% dari dari total penyandang disabilitas. Tingginya prevalensi dan jumlah penyandang disabilitas pada kelompok lansia tersebut dipengaruhi oleh menurunnya berbagai fungsi tubuh sebagai akibat dari faktor usia.
Kondisi kesejahteraan tidak terlepas dari akses terhadap pekerjaan sebagai sumber pendapatan yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Menurut data Susenas 2018, mayoritas penyandang disabilitas usia produktif tidak masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Hal ini terlihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) penyandang disabilitas yang hanya 31,63 %. Angka tersebut jauh lebih rendah daripada TPAK non disabilitas yang hampir mencapai 70%.
Namun, di antara penduduk yang masuk ke dalam angkatan kerja, tingkat pengangguran warga penyandang disabilitas (4,15%) sedikit lebih baik daripada warga non disabilitas (4,91%).
Di antara penduduk yang bekerja, baik pada kelompok penyandang disabilitas maupun pada non disabilitas, mayoritas adalah laki-laki. Namun, ketimpangan gender dalam mengakses pekerjaan tersebut sedikit lebih besar pada penyandang disabilitas.
Di antara penyandang disabilitas yang bekerja, mayoritas terserap pada sektor jasa dan berpendidikan rendah. Pekerja yang tidak memiliki ijazah sekolah dasar (SD) karena tidak pernah sekolah atau tidak menamatkan SD mencapai 44,29%, pada penyandang disabilitas, atau lebih dari dua kali lipat angka pada pekerja non disabilitas.
Pekerja penyandang disabilitas yang berpendidikan SMP ke bawah mencapai 82,43 %, sedangkan pekerja non disabilitas yang berpendidikan SMP ke bawah 60,71%. Perbedaan lain yang menonjol antara pekerja disabilitas dan non disabilitas adalah status pekerjaan. Lebih dari separuh pekerja disabilitas (57,07%) membuka usaha sendiri yang umumnya bersifat informal.
Pekerja disabilitas yang bekerja sebagai buruh/karyawan formal (tetap dan dibayar) hanya 22,25%. Sementara itu, pada pekerja non disabilitas sebarannya cenderung berkebalikan.
Proporsi buruh/karyawan formal non disabilitas mencapai 42,67% dan yang berusaha sendiri 34,53%. Kesulitan penyandang disabilitas dalam mengakses pekerjaan formal diungkap oleh beberapa pihak, antara lain oleh pengelola situs pencari lowongan pekerja bagi penyandang disabilitas.
Penduduk lansia (usia lebih dari 65 tahun) memiliki prevalensi yang paling tinggi, yaitu 20,70 %, sedangkan prevalensi pada penduduk usia anak (2–17 tahun) dan usia produktif (15–64 tahun) masing-masing hanya 1,11 % dan 2,01 %. Sementara itu, berdasarkan jumlah, penyandang disabilitas terbanyak berada pada kelompok usia produktif, yaitu sekitar 3,6 juta orang atau 48,09 % dari total penyandang disabilitas.
Jumlah penyandang disabilitas pada kelompok lansia juga cukup tinggi, mencapai 42,43% dari dari total penyandang disabilitas. Tingginya prevalensi dan jumlah penyandang disabilitas pada kelompok lansia tersebut dipengaruhi oleh menurunnya berbagai fungsi tubuh sebagai akibat dari faktor usia.
Kondisi kesejahteraan tidak terlepas dari akses terhadap pekerjaan sebagai sumber pendapatan yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Menurut data Susenas 2018, mayoritas penyandang disabilitas usia produktif tidak masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Hal ini terlihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) penyandang disabilitas yang hanya 31,63 %. Angka tersebut jauh lebih rendah daripada TPAK non disabilitas yang hampir mencapai 70%.
Namun, di antara penduduk yang masuk ke dalam angkatan kerja, tingkat pengangguran warga penyandang disabilitas (4,15%) sedikit lebih baik daripada warga non disabilitas (4,91%).
Di antara penduduk yang bekerja, baik pada kelompok penyandang disabilitas maupun pada non disabilitas, mayoritas adalah laki-laki. Namun, ketimpangan gender dalam mengakses pekerjaan tersebut sedikit lebih besar pada penyandang disabilitas.
Di antara penyandang disabilitas yang bekerja, mayoritas terserap pada sektor jasa dan berpendidikan rendah. Pekerja yang tidak memiliki ijazah sekolah dasar (SD) karena tidak pernah sekolah atau tidak menamatkan SD mencapai 44,29%, pada penyandang disabilitas, atau lebih dari dua kali lipat angka pada pekerja non disabilitas.
Pekerja penyandang disabilitas yang berpendidikan SMP ke bawah mencapai 82,43 %, sedangkan pekerja non disabilitas yang berpendidikan SMP ke bawah 60,71%. Perbedaan lain yang menonjol antara pekerja disabilitas dan non disabilitas adalah status pekerjaan. Lebih dari separuh pekerja disabilitas (57,07%) membuka usaha sendiri yang umumnya bersifat informal.
Pekerja disabilitas yang bekerja sebagai buruh/karyawan formal (tetap dan dibayar) hanya 22,25%. Sementara itu, pada pekerja non disabilitas sebarannya cenderung berkebalikan.
Proporsi buruh/karyawan formal non disabilitas mencapai 42,67% dan yang berusaha sendiri 34,53%. Kesulitan penyandang disabilitas dalam mengakses pekerjaan formal diungkap oleh beberapa pihak, antara lain oleh pengelola situs pencari lowongan pekerja bagi penyandang disabilitas.