Dua Pemohon Minta Mahkamah Konstitusi Batalkan UU COVID-19
loading...
A
A
A
Padahal, menurut pemohon, apapun manusia tidak ada yang sempurna, tidak lepas khilaf dan salah. Karenanya untuk memastikan tidak ada penyimpangan dan korupsi, maka semua tindakan harus dapat diuji melalui persidangan yang terbuka dan fair. Sehingga, menurut pemohon, kekebalan ini akan mencederai rasa keadilan terhadap seluruh rakyat termasuk para pemohon.
Kuasa pemohon dua nomor perkara ini sepakat bahwa keberlakukan norma-norma dalam UU a quo yang lingkup pengaturannya sangat luas tentu berimplikasi pada bahaya penyalahgunaan keuangan negara. Keluasan ini dapat saja dimanfaatkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas keuangan negara yang tidak mengandung unsur kemendesakan.
Mewakili para pemohon dan tim kuasa pemohon nomor perkara 37, Violla Reininda menyatakan, pihaknya meminta agar MK memutuskan tiga hal untuk pokok perkara uji formil dan lima hal untuk untuk pokok perkara uji materiil. Untuk uji formil, petitum di antaranya kata Violla, agar Majelis Hakim Konstitusi MK untuk memutuskan mengabulkan permohonan pengujian formil pemohon untuk seluruhnya serta menyatakan UU Covid-19 tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 sehingga tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Dalam pokok perkara pengujian materiil, satu menerima permohonan para Pemohon seluruhnya. Atau, Jika Yang Mulia majelis hakim konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," ujar Violla di hadapan majelis hakim konstitusi.
Boyamin Saiman sebagai perwakilan para pemohon dan tim kuasa pemohon nomor perkara 38 menyatakan, pihaknya meminta MK memutuskan tiga hal untuk pokok perkara uji formil dan 17 hal untuk pokok perkara uji materiil. Petitum dalam hal pokok perkara uji formil sama seperti yang dimohonkan para pemohon perkara nomor 37.
Petitum dalam hal pokok perkara uji materiil, di antaranya tutur Boyamin, menyatakan Judul UU Nomor 2 Tahun 2020, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (1) huruf g, Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, Pasal 23 ayat (1) huruf a, serta Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) dalam lampiran UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Berikutnya tutur Boyamin, menyatakan Pasal 27 ayat (1) lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 sepanjang frasa "…dan bukan merupakan kerugian negara" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, Pasal 27 ayat (1) lampiran UU tersebut sepanjang frasa "untuk penyelamatan perekonomian dari krisis" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "…untuk penyelamatan perekonomian dari krisis akibat pandemi COVID-19.
"Menyatakan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan hingga Presiden Republik Indonesia mencabut status 'Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)'," kata Boyamin.
Kuasa pemohon dua nomor perkara ini sepakat bahwa keberlakukan norma-norma dalam UU a quo yang lingkup pengaturannya sangat luas tentu berimplikasi pada bahaya penyalahgunaan keuangan negara. Keluasan ini dapat saja dimanfaatkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas keuangan negara yang tidak mengandung unsur kemendesakan.
Mewakili para pemohon dan tim kuasa pemohon nomor perkara 37, Violla Reininda menyatakan, pihaknya meminta agar MK memutuskan tiga hal untuk pokok perkara uji formil dan lima hal untuk untuk pokok perkara uji materiil. Untuk uji formil, petitum di antaranya kata Violla, agar Majelis Hakim Konstitusi MK untuk memutuskan mengabulkan permohonan pengujian formil pemohon untuk seluruhnya serta menyatakan UU Covid-19 tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 sehingga tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Dalam pokok perkara pengujian materiil, satu menerima permohonan para Pemohon seluruhnya. Atau, Jika Yang Mulia majelis hakim konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," ujar Violla di hadapan majelis hakim konstitusi.
Boyamin Saiman sebagai perwakilan para pemohon dan tim kuasa pemohon nomor perkara 38 menyatakan, pihaknya meminta MK memutuskan tiga hal untuk pokok perkara uji formil dan 17 hal untuk pokok perkara uji materiil. Petitum dalam hal pokok perkara uji formil sama seperti yang dimohonkan para pemohon perkara nomor 37.
Petitum dalam hal pokok perkara uji materiil, di antaranya tutur Boyamin, menyatakan Judul UU Nomor 2 Tahun 2020, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (1) huruf g, Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, Pasal 23 ayat (1) huruf a, serta Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) dalam lampiran UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Berikutnya tutur Boyamin, menyatakan Pasal 27 ayat (1) lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 sepanjang frasa "…dan bukan merupakan kerugian negara" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, Pasal 27 ayat (1) lampiran UU tersebut sepanjang frasa "untuk penyelamatan perekonomian dari krisis" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "…untuk penyelamatan perekonomian dari krisis akibat pandemi COVID-19.
"Menyatakan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan hingga Presiden Republik Indonesia mencabut status 'Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)'," kata Boyamin.
(abd)