Dua Pemohon Minta Mahkamah Konstitusi Batalkan UU COVID-19

Rabu, 08 Juli 2020 - 19:08 WIB
loading...
Dua Pemohon Minta Mahkamah...
Tim kuasa pemohon nomor perkara 37, Violla Reininda membacakan perbaikan permohonan nomor perkara: 37/PUU-XVIII/2020. Foto/YouTube Mahkamah Konstitusi
A A A
JAKARTA - Sejumlah pemohon dengan dua nomor perkara berbeda meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keseluruhan ketentuan Undang-Undang COVID-19 .

Nomor perkara: 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dalam hal ini diwakili oleh Fransisca Fitri Kurnia Sri selaku Direktur Eksekutif (Pemohon I), pegiat advokasi keterbukaan informasi publik Desiana Samosir (Pemohon II), peneliti dan pegiat dalam advokasi anggaran publik Muhammad Maulana (Pemohon III), dan Presidium Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulawesi Selatan Syamsuddin Alimsyah (Pemohon IV). Kuasa para pemohon yakni Violla Reininda dkk.

Nomor perkara: 38/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sebagai Pemohon I, Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 sebagai Pemohon II, Lembaga Kerukunan Masayarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) sebagai Pemohon III, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) sebagai Pemohon IV, dan Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) sebagai Pemohon V. Kuasa para pemohon yaitu Boyamin Saiman, Kurniawan Adi Nugroho, dkk.( )

Secara umum dua perkara ini, mengajukan uji formil dan uji materiil Undang-Undang 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU COVID-19) terhadap UUD 1945.

Pada persidangan Rabu (8/7/2020) masing-masing para pemohon/kuasa pemohon menyampaikan dan membacakan perbaikan permohonan. Meski nomor perkara berbeda dan diajukan pemohon berbeda, panel hakim yang menangani dengan komposisi yang sama. Majelis diketuai Wahiduddin Adams. Persidangan dua perkara dilangsungkan dalam satu persidangan.

Kuasa pemohon mendalilkan secara formil, pengesahan UU a quo tidak sah karena dibahas pada masa sidang DPR sekarang padahal seharusnya dibahas pada masa sidang DPR berikutnya. Karena penetapan Perppu menjadi UU bukan pada masa sidang DPR berikutnya, maka menjadikan UU penetapan Perppu tidak sah, batal dan tidak mengikat.( )

Selain itu, pada tahapan pembahasan untuk mempertimbangkan persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap Perppu 1/2020 menjadi UU faktanya DPD tidak berperan ikut membahas dan memberikan pertimbangan. Padahal dalam praktiknya, DPD telah turut serta dalam pembahasan perppu, misalnya dalam pembahasan Perppu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah dan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Berikutnya dari sisi keikutsertaan fraksi partai di DPR. Cara pengambilan keputusan penetapan perppu a quo menjadi UU seharusnya memakai mekanisme voting karena dari awal Fraksi PKS tidak setuju. Dengan tidak memakai mekanisme voting tersebut maka pengambilan keputusan tersebut menjadi tidak sah dan batal.

Secara materiil, kuasa pemohon nomor perkara 37 mendalilkan, di antaranya bahwa norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tersebut memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi pendidikan. Akibatnya, para pemohon kesulitan untuk berpartisipasi melalui kegiatan-kegiatan kemanusiaan yang dibuatnya untuk meningkatkan pendidikan kerakyatan. Kemudian judul dan Pasal 1 ayat (3) UU Covid-19 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prasyarat kegentingan yang memaksa.

Kuasa pemohon nomor perkara 38 mendalilkan di antaranya, pemberlakuan Pasal 27 Perpu a quo menjadikan penguasa atau pejabat yang disebut seperti Komite Kebijakan Sistem Keuangan (KKSK) akan menjadi kebal hukum serta tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan merupakan kerugian negara. Sehingga ketentuan a quo akan menjadikan penguasa /pejabat menjadi manusia setengah dewa, otoriter, tidak demokratis dan dijamin tidak khilaf atau salah.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1500 seconds (0.1#10.140)