ETLE: Antara Harapan dan Tantangan
loading...
A
A
A
Mohammad Agus Maulidi
Alumnus Program Politik Cerdas Berintegritas KPK RI
MELALUI Instruksi Nomor ST/2264/X/HUM.3.4.5/2022, Kapolri melarang jajarannya untuk melakukan tilang secara manual dan menggantinya dengan tilang berbasis kamera, electronic traffic law enforcement (ETLE).
Mengingat ETLE ini memang sudah diterapkan sejak 2019 di beberapa daerah, seorang pengemudi kendaraan yang melanggar lalu lintas, seperti melanggar marka jalan atau tidak menggunakan alat pengaman sesuai standar yang ditentukan, secara otomatis akan terekam oleh kamera.
Sanksi yang dijatuhkan juga dapat diakses melalui laman tertentu yang telah disediakan. ETLE diharapkan dapat menghilangkan subjektivitas aparat dalam pengenaan sanksi bagi pelanggar yang mendasarkan pada like and dislike; menghindari nepotisme dan menekan terjadinya pungutan liar (pungli) oleh oknum tertentu.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kendati demikian, pemanfaatan teknologi dalam penegakan hukum, termasuk dalam bentuk ETLE ini, masih mempunyai celah yang dapat menggugah rasa keadilan. Teknologi yang digerakkan secara tersistem oleh mesin tidak mempunyai perasaan dan hati nurani yang merupakan fondasi moral dan etika, sedangkan penegakan hukum tidak boleh terpisah dengan etika dan moralitas.
Earl Warren, seorang yuris Amerika Serikat pernah berucap, “Law floats in a sea of ethics”. Jimly Asshiddiqie (2014) memaknai kalimat Warren tersebut dengan mengibaratkan sebuah bahtera sebagai hukum dan etika adalah samudranya.
Bahtera tidak akan mengapung bila samudranya kering sehingga bahtera tidak akan pernah sampai pada pelabuhan tujuan. Sama halnya hukum yang ditegakkan tanpa etika, maka tidak akan pernah mengantarkan hukum tersebut pada tujuan, yaitu keadilan. Pada saat yang bersamaan, hukum tanpa keadilan akan kehilangan makna.
Gustav Radbruch, seorang ahli hukum Jerman pernah mengingatkan, hukum hanya dapat dikatakan sebagai hukum apabila ia merupakan perwujudan dari keadilan, atau sekurang-kurangnya merupakan usaha untuk mencapai itu (Theo Huijbers, 1982).
Gambaran paling mudah, penegakan hukum yang harus berlandaskan pada etika dan hati nurani ini dapatlah merujuk pada ilustrasi yang digambarkan oleh Achmad Ali (2015) dalam bukunya, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence).
Ketika hakim harus mengadili tiga orang pencuri ayam yang ketiga kasusnya berbeda, baik korban, waktu, atau lokasinya berbeda, secara normatif bunyi pasal yang dapat digunakan untuk menghadapi ketiganya adalah satu pasal yang sama, yaitu Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Namun, secara sosiologis Achmad Ali (2015) memaparkan, aplikasi Pasal 362 KUHPidana tidak mungkin persis sama, misalnya pencuri pertama mencuri ayam dengan motif untuk menebus resep obat anaknya yang sedang sakit keras, yang bila obat tersebut tidak tertebus anaknya kemungkinan besar akan meninggal dunia.
Pencuri kedua misalnya mencuri ayam dengan tujuan mendapatkan uang untuk bermalam minggu dengan pacarnya. Beda lagi pencuri ketiga yang mencuri ayam dengan motif untuk membeli narkoba.
Hakim tentu tidak mungkin (dan tidak boleh) memberikan hukuman yang sama persis kepada ketiga pencuri tersebut. Barangkali hakim akan menjatuhkan ancaman pidana maksimal bagi pencuri ketiga karena tujuannya membeli narkoba, pidana sedang bagi pencuri kedua yang melakukannya karena demi memperoleh uang untuk membawa pacarnya bermalam minggu, dan pidana percobaan saja kepada pencuri pertama yang melakukan pencurian itu karena keterpaksaan.
Membedakan hukuman antara ketiganya, padahal bunyi pasal yang menjadi dasar adalah sama persis, sebagaimana diilustrasikan oleh Achmad Ali itu, hanya dapat dilakukan dengan proses penegakan hukum yang berlandaskan pada etika, yang itu hanya dapat dilakukan oleh seorang manusia yang mempunyai hati nurani. Di hadapan mesin dan teknologi yang hakikatnya merupakan benda mati, membedakan hukuman itu sangat sulit dilakukan.
Ilustrasi di atas juga sangat mungkin terjadi pada proses penegakan hukum lalu lintas melalui ETLE ini. Akan mencederai rasa keadilan masyarakat bila seorang anak muda berkendara tidak menggunakan helm di tengah kota yang lalu lintasnya padat dengan seorang petani yang juga berkendara tanpa menggunakan helm di pelosok desa yang lalu lintasnya sangat sepi, namun keduanya dikenai sanksi yang sama karena ancaman pasalnya sama.
Tulisan ini tentu tidak dapat memberikan kontribusi saran mengenai bagaimana menyematkan etika dan nurani kepada teknologi yang merupakan benda mati. Tetapi, setidaknya diharapkan menjadi pengingat bahwa etika dan moralitas tidak dapat dipisahkan dari proses penegakan hukum.
Mengingat etika dan moralitas hanya akan hadir dari manusia yang berhati nurani, maka kendati pun perkembangan teknologi diadopsi dan dimanfaatkan dalam proses penegakan hukum, manusianya, dalam hal ini aparat kepolisian, harus menjadi aktor utama yang mengusahakan hadirnya keadilan dalam penegakan hukum.
Alumnus Program Politik Cerdas Berintegritas KPK RI
MELALUI Instruksi Nomor ST/2264/X/HUM.3.4.5/2022, Kapolri melarang jajarannya untuk melakukan tilang secara manual dan menggantinya dengan tilang berbasis kamera, electronic traffic law enforcement (ETLE).
Mengingat ETLE ini memang sudah diterapkan sejak 2019 di beberapa daerah, seorang pengemudi kendaraan yang melanggar lalu lintas, seperti melanggar marka jalan atau tidak menggunakan alat pengaman sesuai standar yang ditentukan, secara otomatis akan terekam oleh kamera.
Sanksi yang dijatuhkan juga dapat diakses melalui laman tertentu yang telah disediakan. ETLE diharapkan dapat menghilangkan subjektivitas aparat dalam pengenaan sanksi bagi pelanggar yang mendasarkan pada like and dislike; menghindari nepotisme dan menekan terjadinya pungutan liar (pungli) oleh oknum tertentu.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kendati demikian, pemanfaatan teknologi dalam penegakan hukum, termasuk dalam bentuk ETLE ini, masih mempunyai celah yang dapat menggugah rasa keadilan. Teknologi yang digerakkan secara tersistem oleh mesin tidak mempunyai perasaan dan hati nurani yang merupakan fondasi moral dan etika, sedangkan penegakan hukum tidak boleh terpisah dengan etika dan moralitas.
Earl Warren, seorang yuris Amerika Serikat pernah berucap, “Law floats in a sea of ethics”. Jimly Asshiddiqie (2014) memaknai kalimat Warren tersebut dengan mengibaratkan sebuah bahtera sebagai hukum dan etika adalah samudranya.
Bahtera tidak akan mengapung bila samudranya kering sehingga bahtera tidak akan pernah sampai pada pelabuhan tujuan. Sama halnya hukum yang ditegakkan tanpa etika, maka tidak akan pernah mengantarkan hukum tersebut pada tujuan, yaitu keadilan. Pada saat yang bersamaan, hukum tanpa keadilan akan kehilangan makna.
Gustav Radbruch, seorang ahli hukum Jerman pernah mengingatkan, hukum hanya dapat dikatakan sebagai hukum apabila ia merupakan perwujudan dari keadilan, atau sekurang-kurangnya merupakan usaha untuk mencapai itu (Theo Huijbers, 1982).
Gambaran paling mudah, penegakan hukum yang harus berlandaskan pada etika dan hati nurani ini dapatlah merujuk pada ilustrasi yang digambarkan oleh Achmad Ali (2015) dalam bukunya, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence).
Ketika hakim harus mengadili tiga orang pencuri ayam yang ketiga kasusnya berbeda, baik korban, waktu, atau lokasinya berbeda, secara normatif bunyi pasal yang dapat digunakan untuk menghadapi ketiganya adalah satu pasal yang sama, yaitu Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Namun, secara sosiologis Achmad Ali (2015) memaparkan, aplikasi Pasal 362 KUHPidana tidak mungkin persis sama, misalnya pencuri pertama mencuri ayam dengan motif untuk menebus resep obat anaknya yang sedang sakit keras, yang bila obat tersebut tidak tertebus anaknya kemungkinan besar akan meninggal dunia.
Pencuri kedua misalnya mencuri ayam dengan tujuan mendapatkan uang untuk bermalam minggu dengan pacarnya. Beda lagi pencuri ketiga yang mencuri ayam dengan motif untuk membeli narkoba.
Hakim tentu tidak mungkin (dan tidak boleh) memberikan hukuman yang sama persis kepada ketiga pencuri tersebut. Barangkali hakim akan menjatuhkan ancaman pidana maksimal bagi pencuri ketiga karena tujuannya membeli narkoba, pidana sedang bagi pencuri kedua yang melakukannya karena demi memperoleh uang untuk membawa pacarnya bermalam minggu, dan pidana percobaan saja kepada pencuri pertama yang melakukan pencurian itu karena keterpaksaan.
Membedakan hukuman antara ketiganya, padahal bunyi pasal yang menjadi dasar adalah sama persis, sebagaimana diilustrasikan oleh Achmad Ali itu, hanya dapat dilakukan dengan proses penegakan hukum yang berlandaskan pada etika, yang itu hanya dapat dilakukan oleh seorang manusia yang mempunyai hati nurani. Di hadapan mesin dan teknologi yang hakikatnya merupakan benda mati, membedakan hukuman itu sangat sulit dilakukan.
Ilustrasi di atas juga sangat mungkin terjadi pada proses penegakan hukum lalu lintas melalui ETLE ini. Akan mencederai rasa keadilan masyarakat bila seorang anak muda berkendara tidak menggunakan helm di tengah kota yang lalu lintasnya padat dengan seorang petani yang juga berkendara tanpa menggunakan helm di pelosok desa yang lalu lintasnya sangat sepi, namun keduanya dikenai sanksi yang sama karena ancaman pasalnya sama.
Tulisan ini tentu tidak dapat memberikan kontribusi saran mengenai bagaimana menyematkan etika dan nurani kepada teknologi yang merupakan benda mati. Tetapi, setidaknya diharapkan menjadi pengingat bahwa etika dan moralitas tidak dapat dipisahkan dari proses penegakan hukum.
Mengingat etika dan moralitas hanya akan hadir dari manusia yang berhati nurani, maka kendati pun perkembangan teknologi diadopsi dan dimanfaatkan dalam proses penegakan hukum, manusianya, dalam hal ini aparat kepolisian, harus menjadi aktor utama yang mengusahakan hadirnya keadilan dalam penegakan hukum.
(bmm)