'Too Good To be True', Dunia Tidak Seideal Itu...
loading...
A
A
A
Endy Subiantoro
Praktisi Komunikasi - Alumni Magister Management UI
"TOO GOOD TO BE TRUE” adalah idiom yang dalam bahasa pergaulan berarti: dunia tidak seideal itu (utopia). Terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Makna lainnya yaitu jangan mudah terkesima dan percaya begitu saja.
Frasa di atas mampu menangkap fenomena di sekitar kita. Mulai dari kasus Ferdy Sambo sampai kasus dugaan penipuan investasi bodong dua crazy rich Indra Kenz dan Doni Salmanan yang semula dikira cuma terjangkit FOMO (Fear of Missing Out) atau rasa takut “tertinggal” karena tidak mengikuti aktivitas atau tren tertentu.
Dari Mana Frasa Itu Bermula?
Frasa too good to be true muncul di berbagai fenomena kehidupan dan dikutip mulai dari bait puisi hingga lagu. Istilah tersebut merupakan bagian dari judul Sivquila karya Thomas Lupton; Terlalu Bagus untuk Menjadi Kenyataan (1580). Bisa juga berarti “bohong” atau tidak mungkin terjadi.
Baca Juga: koran-sindo.com
“Too good to be true” bisa juga relevan dengan istilah utopia dan distopia. Pada 1516, Sir Thomas More memperkenalkan istilah utopia di dalam novelnya dengan judul yang sama. Utopia adalah kondisi ideal dari semua hal, tidak ada diskriminasi, tidak ada pertengkaran, kesehatan yang memadai untuk seluruh umat manusia, pemerintah yang jujur dan adil, tidak ada kelaparan di luar sana. Selain itu, semua orang memiliki kesetaraan dan tentunya tidak ada kejahatan.
Menurut Budi Hardiman di bukunya, Aku Klik, maka Aku Ada, dunia digital (dunia jari)— digitalis berarti “jari”, homo digitalis disebut juga “makhluk jari”— cenderung hanya menampilkan realitas kehidupan setiap orang terutama selebritas, artis, dan tokoh masyarakat secara sempurna—kaya raya, keren, cantik dan aduhai serta bahagia. Ranah digital ini kemudian menjadikan homo sapiens menjadi homo digitalis, menciptakan sejumlah paradoks.
Pertama, ada free will untuk memilih konten namun tidak disadari bahwa algoritma di mesin digital menciptakan “survailance capitalism” (Shoshana Zuboff) sekaligus menentukan mana konten yang menarik publik dan berpotensi menghasilkan pendapatan iklan.
Kedua, sistem komunikasi dan teknologi menjadikan setiap individu dikendalikan media dan sekaligus menjadi media itu sendiri. Ketiga, asyik masyuk berinteraksi dengan gawai mulai dari posting, upload, chatting hingga selfie. Setiap orang mudah mengalami “state flow” (larut), lupa waktu, lupa sekelilingnya, dan lupa segalanya.
Keempat, manusia bisa menjadi makhluk moral yang memilik empati, peduli pada keadilan dan kebenaran , Selain mudah terluka, emosional dan sentimental, tapi pada saat yang sama dapat menjadi sangat rasional dan bernalar. Kelima, dia mampu menjadi aktor lokal sekaligus global.
Praktisi Komunikasi - Alumni Magister Management UI
"TOO GOOD TO BE TRUE” adalah idiom yang dalam bahasa pergaulan berarti: dunia tidak seideal itu (utopia). Terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Makna lainnya yaitu jangan mudah terkesima dan percaya begitu saja.
Frasa di atas mampu menangkap fenomena di sekitar kita. Mulai dari kasus Ferdy Sambo sampai kasus dugaan penipuan investasi bodong dua crazy rich Indra Kenz dan Doni Salmanan yang semula dikira cuma terjangkit FOMO (Fear of Missing Out) atau rasa takut “tertinggal” karena tidak mengikuti aktivitas atau tren tertentu.
Dari Mana Frasa Itu Bermula?
Frasa too good to be true muncul di berbagai fenomena kehidupan dan dikutip mulai dari bait puisi hingga lagu. Istilah tersebut merupakan bagian dari judul Sivquila karya Thomas Lupton; Terlalu Bagus untuk Menjadi Kenyataan (1580). Bisa juga berarti “bohong” atau tidak mungkin terjadi.
Baca Juga: koran-sindo.com
“Too good to be true” bisa juga relevan dengan istilah utopia dan distopia. Pada 1516, Sir Thomas More memperkenalkan istilah utopia di dalam novelnya dengan judul yang sama. Utopia adalah kondisi ideal dari semua hal, tidak ada diskriminasi, tidak ada pertengkaran, kesehatan yang memadai untuk seluruh umat manusia, pemerintah yang jujur dan adil, tidak ada kelaparan di luar sana. Selain itu, semua orang memiliki kesetaraan dan tentunya tidak ada kejahatan.
Menurut Budi Hardiman di bukunya, Aku Klik, maka Aku Ada, dunia digital (dunia jari)— digitalis berarti “jari”, homo digitalis disebut juga “makhluk jari”— cenderung hanya menampilkan realitas kehidupan setiap orang terutama selebritas, artis, dan tokoh masyarakat secara sempurna—kaya raya, keren, cantik dan aduhai serta bahagia. Ranah digital ini kemudian menjadikan homo sapiens menjadi homo digitalis, menciptakan sejumlah paradoks.
Pertama, ada free will untuk memilih konten namun tidak disadari bahwa algoritma di mesin digital menciptakan “survailance capitalism” (Shoshana Zuboff) sekaligus menentukan mana konten yang menarik publik dan berpotensi menghasilkan pendapatan iklan.
Kedua, sistem komunikasi dan teknologi menjadikan setiap individu dikendalikan media dan sekaligus menjadi media itu sendiri. Ketiga, asyik masyuk berinteraksi dengan gawai mulai dari posting, upload, chatting hingga selfie. Setiap orang mudah mengalami “state flow” (larut), lupa waktu, lupa sekelilingnya, dan lupa segalanya.
Keempat, manusia bisa menjadi makhluk moral yang memilik empati, peduli pada keadilan dan kebenaran , Selain mudah terluka, emosional dan sentimental, tapi pada saat yang sama dapat menjadi sangat rasional dan bernalar. Kelima, dia mampu menjadi aktor lokal sekaligus global.