'Too Good To be True', Dunia Tidak Seideal Itu...

Sabtu, 29 Oktober 2022 - 17:09 WIB
loading...
Too Good To be True,...
Endy Subiantoro (Foto: Ist)
A A A
Endy Subiantoro
Praktisi Komunikasi - Alumni Magister Management UI

"TOO GOOD TO BE TRUE adalah idiom yang dalam bahasa pergaulan berarti: dunia tidak seideal itu (utopia). Terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Makna lainnya yaitu jangan mudah terkesima dan percaya begitu saja.

Frasa di atas mampu menangkap fenomena di sekitar kita. Mulai dari kasus Ferdy Sambo sampai kasus dugaan penipuan investasi bodong dua crazy rich Indra Kenz dan Doni Salmanan yang semula dikira cuma terjangkit FOMO (Fear of Missing Out) atau rasa takut “tertinggal” karena tidak mengikuti aktivitas atau tren tertentu.

Dari Mana Frasa Itu Bermula?
Frasa too good to be true muncul di berbagai fenomena kehidupan dan dikutip mulai dari bait puisi hingga lagu. Istilah tersebut merupakan bagian dari judul Sivquila karya Thomas Lupton; Terlalu Bagus untuk Menjadi Kenyataan (1580). Bisa juga berarti “bohong” atau tidak mungkin terjadi.

Baca Juga: koran-sindo.com

Too good to be true” bisa juga relevan dengan istilah utopia dan distopia. Pada 1516, Sir Thomas More memperkenalkan istilah utopia di dalam novelnya dengan judul yang sama. Utopia adalah kondisi ideal dari semua hal, tidak ada diskriminasi, tidak ada pertengkaran, kesehatan yang memadai untuk seluruh umat manusia, pemerintah yang jujur dan adil, tidak ada kelaparan di luar sana. Selain itu, semua orang memiliki kesetaraan dan tentunya tidak ada kejahatan.

Menurut Budi Hardiman di bukunya, Aku Klik, maka Aku Ada, dunia digital (dunia jari)— digitalis berarti “jari”, homo digitalis disebut juga “makhluk jari”— cenderung hanya menampilkan realitas kehidupan setiap orang terutama selebritas, artis, dan tokoh masyarakat secara sempurna—kaya raya, keren, cantik dan aduhai serta bahagia. Ranah digital ini kemudian menjadikan homo sapiens menjadi homo digitalis, menciptakan sejumlah paradoks.

Pertama, ada free will untuk memilih konten namun tidak disadari bahwa algoritma di mesin digital menciptakan “survailance capitalism” (Shoshana Zuboff) sekaligus menentukan mana konten yang menarik publik dan berpotensi menghasilkan pendapatan iklan.

Kedua, sistem komunikasi dan teknologi menjadikan setiap individu dikendalikan media dan sekaligus menjadi media itu sendiri. Ketiga, asyik masyuk berinteraksi dengan gawai mulai dari posting, upload, chatting hingga selfie. Setiap orang mudah mengalami “state flow” (larut), lupa waktu, lupa sekelilingnya, dan lupa segalanya.

Keempat, manusia bisa menjadi makhluk moral yang memilik empati, peduli pada keadilan dan kebenaran , Selain mudah terluka, emosional dan sentimental, tapi pada saat yang sama dapat menjadi sangat rasional dan bernalar. Kelima, dia mampu menjadi aktor lokal sekaligus global.

Dari Crazy Rich sampai Sambo
Crazy rich Indra Kenz dan Doni Salmanan,adalah contoh dampak negatif dari ranah digital. Namun modus penipuan berkedok investasi dan ajang pamer kekayaan (flexing) lewat media sosial bukan hanya milik ranah investasi tapi juga di wilayah kencan online. Contohnya pada sebuah film Netflix, “Tinder Swindler”—film dokumentasi tentang Simon Leviev, penipu ulung asal Israel—yang mampu merayu sejumlah wanita cantik di berbagai negara untuk diajak kencan namun kemudian diperas habis-habisan.

Doni Salmanan, misalnya, contoh nyata idiom to good to be true. Pasalnya, baru berusia 23 tahun, tapi gaya hidupnya glamor. Dia memiliki tabungan dengan isi rekening hingga Rp500 miliar. Total aset yang disitanya mencapai nilai Rp64 miliar, terdiri dari mobil mewah, beberapa rumah, 18 motor, hingga pakaian branded.

Uniknya, kekayaan Doni melambung hanya dalam satu tahun terakhir. Padahal siapa dia? Dia bukan putra konglomerat.

Kasus Ferdy Sambo dan istrinya (PC) terkait pembunuhan berencana terhadap Brigadir Josua juga terasa janggal sejak awal. Skenario pelecehan seksual yang dirancang pelaku, sebagai motif pembunuhan, dinilai publik “too good to be true”. Skenario itu pun akhirnya terbongkar.

Federer vs Nadal
Idiom too good to be true juga merasuk ke dunia olahraga dalam persaingan antara pesaing dan sahabat yaitu Roger Federer dan Rafael Nadal.Bagi kalangan pelaku pemasaran, persaingan mereka "terlalu bagus untuk menjadi kenyataan" (too good to be true).

Begitu sempurna persaingan keduanya sehingga tidak layak di titik berlawanan. Jika "sang maestro Swiss yang tenang" membuat permainan terlihat mudah dan hampir tidak pernah terlihat berkeringat, Nadal sebaliknya terlihat "lebih natural, bersahaja, dan lebih berbobot", dengan gerutuan, lenguhan, dan "bisep kiri raksasanya". Pertarungan mereka mengangkat tenis putra ke level kegairahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Masih di dunia marketing dan persaingan serupa terjadi di antara brand . Persaingan keduanya juga “too good to be true”, namun meningkatkan “pertempuran” ke level yang lebih tinggi sehingga pada gilirannya menguntungkan konsumen.

Karena itu, seperti kata Steven Pinker di bukunya, Enlightment Now: Membela Nalar, Sains, Humanisme, dan Kemajuan (2018), mari selalu bersikap optimistis terhadap berbagai problema di dunia ini.

Tapi mengapa masih banyak masalah yang belum terpecahkan seperti pemanasan global, menurut Pinker, karena manusia belum menemukan solusi yang pas. Tunggu saja, waktunya akan datang. Pasalnya, sejauh ini begitu melimpah kemajuan yang sudah diraih manusia sejak Abad Pencerahan di berbagai bidang karena kontribusi nalar, science, dan kemanusiaan, terutama sangat terasa sejak abad ke-20. Kendati demikian tidak ada salahnya bersikap “to good to be true”. Dunia tidak seideal itu.

(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1933 seconds (0.1#10.140)