Pendekatan Rasional terhadap Krisis Rohingya
loading...
A
A
A
Pertaruangan agresif dari kelompok Buddha maupun Muslim membuat pemerintah Myanmar memutuskan untuk memisahkan kedua komunitas tersebut. Pada dasarnya dengan menempatkan 140.000 Muslim-terutama yang mengidentifikasi diri sebagai Rohingya-di kamp-kamp interniran dan para pengungsi Rohingya ini menolak untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka.
Terlepas dari kehadiran organisasi bantuan kemanusiaan, Human Right Watch telah menggambarkan kondisi kehidupan di dalam beberapa kamp sebagai”sangat mengerikan”. Terdapat ribuan orang Rohingya telah berusaha untuk melarikan diri dari kondisi seperti itu, hanya untuk menemukan diri mereka terjebak dalam jaringan perdagangan manusia yang kejam.
Namun, krisis manusia saat ini bukan hanya menjadi masalah Myanmar. Sebagai gambaran, para pejabat PBB memperkirakan bahwa hingga 60 persen orang yang terdampar di laut merupakan migran ekonomi yang berasal dari Bangladesh, dengan sisanya diasumsikan Rohingya. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah Myanmar secara aktif, meskipun agak enggan, melakukan operasi penyelamatannya sendiri sebagai tanggapan atas tekanan internasional, Myanmar membawa hampir 1.000 pengungsi ke pantai pada awal tahun ini.
Menghadapi tekanan yang meningkat di dalam negeri dari mayoritas penganut Buddha dan terutama dari kelompok garis keras yang anti-Muslim, pemerintah Myanmar berjanji untuk menyelesaikan proses verifikasi sistematis untuk menentukan asal-usul para migran yang diselamatkan dan memastikan mereka kembali dengan cepat. Pemerintah Myanmar enggan menerima kembali para pencari suaka tersebut, mengingat ketegangan sektarian yang mengancam transisi negara itu menjadi demokrasi dan akan menjadi rapuh.
Komunitas internasional sangat prihatin terhadap nasib Rohingya, terutama pengungsi tersebut tidak memiliki kewarganegaraan, yang membuat mereka tidak memiliki akses untuk hak-hak sipil dasar dan kesejahteraan sosial. Namun, hal ini bertentangan dengan klaim dari sebagian besar komentator barat, pemerintah Myanmar tidak menyangkal kewarganegaraan Rohingya-tetapi menolak kewarganegaraan mereka sebagai etnis Rohingya.
Di Myanmar, tidak semua warga negara dianggap sebagai warga negara asli (Taing-Yin-Tha). Fakta menunjukkan bahwa undang-undang negara membedakan antara warga negara asli dan non asli telah menciptakan hak yang berbeda antara penduduk asli yang dianggap pemerintah sebagai penduduk asli yang memiliki hak konstitusional dengan mereka yang dianggap sebagai etnis pendatang dan tidak memiliki hak sebagai warga negara.
Dalam dorongan untuk mendapatkan hak-hak sebagai warga negara yang lebih besar, etnis Rohingya semakin memperjuangkan hak mereka untuk diakui sebagai etnis asli. Namun, sebagian besar rakyat Myanmar dan pemerintah menolak untuk mengakui etnis "Rohingya" di tengah kekhawatiran bahwa mereka kemudian akan dapat menggunakan status asli mereka untuk menuntut wilayah otonom di Negara Bagian Rakhine, seperti yang mereka lakukan pada tahun 1950-an di bawah gerakan pemberontak ”mujahiddin”. Di situlah letak jantung masalah tersebut dan awal semua kebuntuan dari penyelesaian masalah antar etnis di Myanmar.
Ke depan, komunitas internasional perlu memperhatikan ketakutan etnis Rakhine dan hak-hak mereka bukan hanya sebagai warga negara, tetapi juga sebagai manusia. Masyarakat internasional juga perlu memahami dilema pemerintah Myanmar dalam mencoba menyelesaikan populasi yang bergejolak sambil menghadapi masalah-masalah kompleks lainnya. Alih-alih menuntut yang secara domestik tidak layak dan mengasingkan demokrasi yang baru lahir melalui kritik keras, komunitas internasional seharusnya mendorong upaya Myanmar untuk mengintegrasikan kembali dirinya ke dalam komunitas bangsa-bangsa melalui retorika berbasis fakta dan terukur.
Pemerintah Myanmar, sementara itu harus mempertimbangkan untuk merevisi Undang-Undang Kewarganegaraan eksklusif sejak tahun 1982 yang membuat hampir tidak mungkin bagi penduduk non-asli untuk menjadi menjadi warga negara yang sepenuhnya. Kemudian juga harus melihat penghapusan klasifikasi etnis dan agama dalam kartu identitas, yang melanggengkan obsesi nasionalis di antara penduduk Myanmar.
Terakhir, campur tangan dari pemerintahan di Asia Tenggara wajib ada, terutama mengenai menjunjung tinggi hak asasi manusia dan bekerja sama melawan perdagangan manusia dan berkomitmen membawa penyelundup yang menari diatas penderitaan manusia dan pengungsi ke pengadilan. Tindakan bersama dari komunitas negara Asia Tenggara wajib dilakukan demi menyelamatkan etnis Rohingya dan korban-korban lainnya.
Terlepas dari kehadiran organisasi bantuan kemanusiaan, Human Right Watch telah menggambarkan kondisi kehidupan di dalam beberapa kamp sebagai”sangat mengerikan”. Terdapat ribuan orang Rohingya telah berusaha untuk melarikan diri dari kondisi seperti itu, hanya untuk menemukan diri mereka terjebak dalam jaringan perdagangan manusia yang kejam.
Namun, krisis manusia saat ini bukan hanya menjadi masalah Myanmar. Sebagai gambaran, para pejabat PBB memperkirakan bahwa hingga 60 persen orang yang terdampar di laut merupakan migran ekonomi yang berasal dari Bangladesh, dengan sisanya diasumsikan Rohingya. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah Myanmar secara aktif, meskipun agak enggan, melakukan operasi penyelamatannya sendiri sebagai tanggapan atas tekanan internasional, Myanmar membawa hampir 1.000 pengungsi ke pantai pada awal tahun ini.
Menghadapi tekanan yang meningkat di dalam negeri dari mayoritas penganut Buddha dan terutama dari kelompok garis keras yang anti-Muslim, pemerintah Myanmar berjanji untuk menyelesaikan proses verifikasi sistematis untuk menentukan asal-usul para migran yang diselamatkan dan memastikan mereka kembali dengan cepat. Pemerintah Myanmar enggan menerima kembali para pencari suaka tersebut, mengingat ketegangan sektarian yang mengancam transisi negara itu menjadi demokrasi dan akan menjadi rapuh.
Komunitas internasional sangat prihatin terhadap nasib Rohingya, terutama pengungsi tersebut tidak memiliki kewarganegaraan, yang membuat mereka tidak memiliki akses untuk hak-hak sipil dasar dan kesejahteraan sosial. Namun, hal ini bertentangan dengan klaim dari sebagian besar komentator barat, pemerintah Myanmar tidak menyangkal kewarganegaraan Rohingya-tetapi menolak kewarganegaraan mereka sebagai etnis Rohingya.
Di Myanmar, tidak semua warga negara dianggap sebagai warga negara asli (Taing-Yin-Tha). Fakta menunjukkan bahwa undang-undang negara membedakan antara warga negara asli dan non asli telah menciptakan hak yang berbeda antara penduduk asli yang dianggap pemerintah sebagai penduduk asli yang memiliki hak konstitusional dengan mereka yang dianggap sebagai etnis pendatang dan tidak memiliki hak sebagai warga negara.
Dalam dorongan untuk mendapatkan hak-hak sebagai warga negara yang lebih besar, etnis Rohingya semakin memperjuangkan hak mereka untuk diakui sebagai etnis asli. Namun, sebagian besar rakyat Myanmar dan pemerintah menolak untuk mengakui etnis "Rohingya" di tengah kekhawatiran bahwa mereka kemudian akan dapat menggunakan status asli mereka untuk menuntut wilayah otonom di Negara Bagian Rakhine, seperti yang mereka lakukan pada tahun 1950-an di bawah gerakan pemberontak ”mujahiddin”. Di situlah letak jantung masalah tersebut dan awal semua kebuntuan dari penyelesaian masalah antar etnis di Myanmar.
Ke depan, komunitas internasional perlu memperhatikan ketakutan etnis Rakhine dan hak-hak mereka bukan hanya sebagai warga negara, tetapi juga sebagai manusia. Masyarakat internasional juga perlu memahami dilema pemerintah Myanmar dalam mencoba menyelesaikan populasi yang bergejolak sambil menghadapi masalah-masalah kompleks lainnya. Alih-alih menuntut yang secara domestik tidak layak dan mengasingkan demokrasi yang baru lahir melalui kritik keras, komunitas internasional seharusnya mendorong upaya Myanmar untuk mengintegrasikan kembali dirinya ke dalam komunitas bangsa-bangsa melalui retorika berbasis fakta dan terukur.
Pemerintah Myanmar, sementara itu harus mempertimbangkan untuk merevisi Undang-Undang Kewarganegaraan eksklusif sejak tahun 1982 yang membuat hampir tidak mungkin bagi penduduk non-asli untuk menjadi menjadi warga negara yang sepenuhnya. Kemudian juga harus melihat penghapusan klasifikasi etnis dan agama dalam kartu identitas, yang melanggengkan obsesi nasionalis di antara penduduk Myanmar.
Terakhir, campur tangan dari pemerintahan di Asia Tenggara wajib ada, terutama mengenai menjunjung tinggi hak asasi manusia dan bekerja sama melawan perdagangan manusia dan berkomitmen membawa penyelundup yang menari diatas penderitaan manusia dan pengungsi ke pengadilan. Tindakan bersama dari komunitas negara Asia Tenggara wajib dilakukan demi menyelamatkan etnis Rohingya dan korban-korban lainnya.