Pendekatan Rasional terhadap Krisis Rohingya
loading...
A
A
A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang
Wasekjen VI Bidang Perindustrian dan Perdagangan DPP Partai Perindo
KITA sering mendengar berita dan melihat gambar-gambar yang melaporkan tentang kapal kapal tua yang penuh sesak dengan pengungsi Rohingya dari Myanmar yang terapung-apung di laut. Berita tentang pengungsi ini menjadi menjadi berita utama dan menonjol di surat kabar dan juga situs-situs atau berita online.
Selain itu, tindakan keras yang dilakukan pemerintah Thailand terhadap para pengungsi, akhirnya menimbulkan efek negatif, yaitu perdagangan manusia dan penyelundupan manusia. Penyelundupan manusia pada akhirnya menyebabkan lusinan kapal yang berisi kargo manusia yang penuh dengan migran hanyut tanpa tujuan selama berminggu-minggu. Sampai saat ini pun media dan kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) hampir tanpa henti mengutuk tindakan Myanmar yang menciptakan krisis kemanusiaan ini.
Pengungsian besar-besaran etnis Rohingya ("Bengali") atau yang lebih dikenal dengan pengungsi Myanmar ini terjadi karena konflik antarumat beragama. Banyak yang berpikir umat Islam di sana dianiaya oleh umat Buddha, tentunya narasi korban sepihak ini tidak akan bisa membantu pembaca yang ingin benar-benar memahami akar krisis dari etnis Rohingya.
Orang-orang yang menyebut diri mereka Rohingya adalah minoritas muslim yang berasal dari Bangladesh tetapi mereka tinggal lama di negara bagian Rakhine barat Myanmar. Apabila kita menelusuri sejarah mereka di Rakhine hingga abad ke-16, maka kita harus mulai dulu dari cerita ketika Mughal menginvasi Bengal pada tahun 1575, banyak muslim Bengali mencari perlindungan ke wilayah tetangga, tempat orang-orang etnis Rakhine telah hidup dan memerintah secara independen selama lebih dari 3.000 tahun.
Gelombang kedua pemukiman muslim dimulai pada tahun 1826, ketika penguasa kolonial Inggris mendatangkan sejumlah besar pekerja untuk memulai pertanian dan perdagangan di wilayah tersebut. Gelombang besar terakhir imigran muslim terjadi setelah perang di Pakistan Timur pada tahun 1971, ketika puluhan ribu pengungsi melintasi perbatasan Myanmar untuk mencari perlindungan keamanan.
Hubungan antara pendatang muslim dan etnis Rakhine yang mayoritas beragama Buddha telah berubah dari yang umumnya hidup damai menjadi permusuhan yang akut dan mendarah daging. Beberapa alasan yang bisa menjelaskan pergeseran hubungan ini, salah satunya adalah warisan pemerintahan kolonial, yang mengadu sebagian besar komunitas mayoritas dan juga minoritas satu sama lain-terutama mengingat kecenderungan kolonial Inggris untuk untuk mempromosikan "impor" India dan lainnya dalam birokrasi di atas masyarakat lokal.
Alasan kedua adalah perasaan superior dari sebagian besar etnis Rakhine dan etnis yang sebagian besar beragama Budha ini yakin bahwa mereka telah mengalami diskriminasi dan perampasan di bawah pemerintahan Burma sejak kemerdekaan. Meskipun pemerintahan Burma juga sebagian besar beragama Buddha. Perasaan terkucilkan ini telah mendorong mereka untuk mencari kekuatan dan persatuan dalam etnis mereka sendiri.
Rasa tidak aman dan prasangka yang muncul ini menjadi membara selama beberapa dekade,yang berpuncak pada ledakan kekerasan komunal antara Muslim dan Buddha pada pertengahan 2012, setahun setelah dimulainya reformasi demokrasi di Myanmar. Pecahnya kekerasan demi kekerasan berikutnya terjadi pada tahun 2013 dan 2014 yang mengakibatkan ratusan orang tewas dan puluhan ribu mengungsi.
Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang
Wasekjen VI Bidang Perindustrian dan Perdagangan DPP Partai Perindo
KITA sering mendengar berita dan melihat gambar-gambar yang melaporkan tentang kapal kapal tua yang penuh sesak dengan pengungsi Rohingya dari Myanmar yang terapung-apung di laut. Berita tentang pengungsi ini menjadi menjadi berita utama dan menonjol di surat kabar dan juga situs-situs atau berita online.
Selain itu, tindakan keras yang dilakukan pemerintah Thailand terhadap para pengungsi, akhirnya menimbulkan efek negatif, yaitu perdagangan manusia dan penyelundupan manusia. Penyelundupan manusia pada akhirnya menyebabkan lusinan kapal yang berisi kargo manusia yang penuh dengan migran hanyut tanpa tujuan selama berminggu-minggu. Sampai saat ini pun media dan kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) hampir tanpa henti mengutuk tindakan Myanmar yang menciptakan krisis kemanusiaan ini.
Pengungsian besar-besaran etnis Rohingya ("Bengali") atau yang lebih dikenal dengan pengungsi Myanmar ini terjadi karena konflik antarumat beragama. Banyak yang berpikir umat Islam di sana dianiaya oleh umat Buddha, tentunya narasi korban sepihak ini tidak akan bisa membantu pembaca yang ingin benar-benar memahami akar krisis dari etnis Rohingya.
Orang-orang yang menyebut diri mereka Rohingya adalah minoritas muslim yang berasal dari Bangladesh tetapi mereka tinggal lama di negara bagian Rakhine barat Myanmar. Apabila kita menelusuri sejarah mereka di Rakhine hingga abad ke-16, maka kita harus mulai dulu dari cerita ketika Mughal menginvasi Bengal pada tahun 1575, banyak muslim Bengali mencari perlindungan ke wilayah tetangga, tempat orang-orang etnis Rakhine telah hidup dan memerintah secara independen selama lebih dari 3.000 tahun.
Gelombang kedua pemukiman muslim dimulai pada tahun 1826, ketika penguasa kolonial Inggris mendatangkan sejumlah besar pekerja untuk memulai pertanian dan perdagangan di wilayah tersebut. Gelombang besar terakhir imigran muslim terjadi setelah perang di Pakistan Timur pada tahun 1971, ketika puluhan ribu pengungsi melintasi perbatasan Myanmar untuk mencari perlindungan keamanan.
Hubungan antara pendatang muslim dan etnis Rakhine yang mayoritas beragama Buddha telah berubah dari yang umumnya hidup damai menjadi permusuhan yang akut dan mendarah daging. Beberapa alasan yang bisa menjelaskan pergeseran hubungan ini, salah satunya adalah warisan pemerintahan kolonial, yang mengadu sebagian besar komunitas mayoritas dan juga minoritas satu sama lain-terutama mengingat kecenderungan kolonial Inggris untuk untuk mempromosikan "impor" India dan lainnya dalam birokrasi di atas masyarakat lokal.
Alasan kedua adalah perasaan superior dari sebagian besar etnis Rakhine dan etnis yang sebagian besar beragama Budha ini yakin bahwa mereka telah mengalami diskriminasi dan perampasan di bawah pemerintahan Burma sejak kemerdekaan. Meskipun pemerintahan Burma juga sebagian besar beragama Buddha. Perasaan terkucilkan ini telah mendorong mereka untuk mencari kekuatan dan persatuan dalam etnis mereka sendiri.
Baca Juga
Rasa tidak aman dan prasangka yang muncul ini menjadi membara selama beberapa dekade,yang berpuncak pada ledakan kekerasan komunal antara Muslim dan Buddha pada pertengahan 2012, setahun setelah dimulainya reformasi demokrasi di Myanmar. Pecahnya kekerasan demi kekerasan berikutnya terjadi pada tahun 2013 dan 2014 yang mengakibatkan ratusan orang tewas dan puluhan ribu mengungsi.