Pendekatan Rasional terhadap Krisis Rohingya

Senin, 24 Oktober 2022 - 17:56 WIB
loading...
Pendekatan Rasional...
Harryanto Aryodiguno, Ph.D. Foto/Istimewa
A A A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang
Wasekjen VI Bidang Perindustrian dan Perdagangan DPP Partai Perindo

KITA sering mendengar berita dan melihat gambar-gambar yang melaporkan tentang kapal kapal tua yang penuh sesak dengan pengungsi Rohingya dari Myanmar yang terapung-apung di laut. Berita tentang pengungsi ini menjadi menjadi berita utama dan menonjol di surat kabar dan juga situs-situs atau berita online.

Selain itu, tindakan keras yang dilakukan pemerintah Thailand terhadap para pengungsi, akhirnya menimbulkan efek negatif, yaitu perdagangan manusia dan penyelundupan manusia. Penyelundupan manusia pada akhirnya menyebabkan lusinan kapal yang berisi kargo manusia yang penuh dengan migran hanyut tanpa tujuan selama berminggu-minggu. Sampai saat ini pun media dan kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) hampir tanpa henti mengutuk tindakan Myanmar yang menciptakan krisis kemanusiaan ini.

Pengungsian besar-besaran etnis Rohingya ("Bengali") atau yang lebih dikenal dengan pengungsi Myanmar ini terjadi karena konflik antarumat beragama. Banyak yang berpikir umat Islam di sana dianiaya oleh umat Buddha, tentunya narasi korban sepihak ini tidak akan bisa membantu pembaca yang ingin benar-benar memahami akar krisis dari etnis Rohingya.

Orang-orang yang menyebut diri mereka Rohingya adalah minoritas muslim yang berasal dari Bangladesh tetapi mereka tinggal lama di negara bagian Rakhine barat Myanmar. Apabila kita menelusuri sejarah mereka di Rakhine hingga abad ke-16, maka kita harus mulai dulu dari cerita ketika Mughal menginvasi Bengal pada tahun 1575, banyak muslim Bengali mencari perlindungan ke wilayah tetangga, tempat orang-orang etnis Rakhine telah hidup dan memerintah secara independen selama lebih dari 3.000 tahun.

Gelombang kedua pemukiman muslim dimulai pada tahun 1826, ketika penguasa kolonial Inggris mendatangkan sejumlah besar pekerja untuk memulai pertanian dan perdagangan di wilayah tersebut. Gelombang besar terakhir imigran muslim terjadi setelah perang di Pakistan Timur pada tahun 1971, ketika puluhan ribu pengungsi melintasi perbatasan Myanmar untuk mencari perlindungan keamanan.

Hubungan antara pendatang muslim dan etnis Rakhine yang mayoritas beragama Buddha telah berubah dari yang umumnya hidup damai menjadi permusuhan yang akut dan mendarah daging. Beberapa alasan yang bisa menjelaskan pergeseran hubungan ini, salah satunya adalah warisan pemerintahan kolonial, yang mengadu sebagian besar komunitas mayoritas dan juga minoritas satu sama lain-terutama mengingat kecenderungan kolonial Inggris untuk untuk mempromosikan "impor" India dan lainnya dalam birokrasi di atas masyarakat lokal.

Alasan kedua adalah perasaan superior dari sebagian besar etnis Rakhine dan etnis yang sebagian besar beragama Budha ini yakin bahwa mereka telah mengalami diskriminasi dan perampasan di bawah pemerintahan Burma sejak kemerdekaan. Meskipun pemerintahan Burma juga sebagian besar beragama Buddha. Perasaan terkucilkan ini telah mendorong mereka untuk mencari kekuatan dan persatuan dalam etnis mereka sendiri.



Rasa tidak aman dan prasangka yang muncul ini menjadi membara selama beberapa dekade,yang berpuncak pada ledakan kekerasan komunal antara Muslim dan Buddha pada pertengahan 2012, setahun setelah dimulainya reformasi demokrasi di Myanmar. Pecahnya kekerasan demi kekerasan berikutnya terjadi pada tahun 2013 dan 2014 yang mengakibatkan ratusan orang tewas dan puluhan ribu mengungsi.

Pertaruangan agresif dari kelompok Buddha maupun Muslim membuat pemerintah Myanmar memutuskan untuk memisahkan kedua komunitas tersebut. Pada dasarnya dengan menempatkan 140.000 Muslim-terutama yang mengidentifikasi diri sebagai Rohingya-di kamp-kamp interniran dan para pengungsi Rohingya ini menolak untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka.

Terlepas dari kehadiran organisasi bantuan kemanusiaan, Human Right Watch telah menggambarkan kondisi kehidupan di dalam beberapa kamp sebagai”sangat mengerikan”. Terdapat ribuan orang Rohingya telah berusaha untuk melarikan diri dari kondisi seperti itu, hanya untuk menemukan diri mereka terjebak dalam jaringan perdagangan manusia yang kejam.

Namun, krisis manusia saat ini bukan hanya menjadi masalah Myanmar. Sebagai gambaran, para pejabat PBB memperkirakan bahwa hingga 60 persen orang yang terdampar di laut merupakan migran ekonomi yang berasal dari Bangladesh, dengan sisanya diasumsikan Rohingya. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah Myanmar secara aktif, meskipun agak enggan, melakukan operasi penyelamatannya sendiri sebagai tanggapan atas tekanan internasional, Myanmar membawa hampir 1.000 pengungsi ke pantai pada awal tahun ini.

Menghadapi tekanan yang meningkat di dalam negeri dari mayoritas penganut Buddha dan terutama dari kelompok garis keras yang anti-Muslim, pemerintah Myanmar berjanji untuk menyelesaikan proses verifikasi sistematis untuk menentukan asal-usul para migran yang diselamatkan dan memastikan mereka kembali dengan cepat. Pemerintah Myanmar enggan menerima kembali para pencari suaka tersebut, mengingat ketegangan sektarian yang mengancam transisi negara itu menjadi demokrasi dan akan menjadi rapuh.

Komunitas internasional sangat prihatin terhadap nasib Rohingya, terutama pengungsi tersebut tidak memiliki kewarganegaraan, yang membuat mereka tidak memiliki akses untuk hak-hak sipil dasar dan kesejahteraan sosial. Namun, hal ini bertentangan dengan klaim dari sebagian besar komentator barat, pemerintah Myanmar tidak menyangkal kewarganegaraan Rohingya-tetapi menolak kewarganegaraan mereka sebagai etnis Rohingya.

Di Myanmar, tidak semua warga negara dianggap sebagai warga negara asli (Taing-Yin-Tha). Fakta menunjukkan bahwa undang-undang negara membedakan antara warga negara asli dan non asli telah menciptakan hak yang berbeda antara penduduk asli yang dianggap pemerintah sebagai penduduk asli yang memiliki hak konstitusional dengan mereka yang dianggap sebagai etnis pendatang dan tidak memiliki hak sebagai warga negara.

Dalam dorongan untuk mendapatkan hak-hak sebagai warga negara yang lebih besar, etnis Rohingya semakin memperjuangkan hak mereka untuk diakui sebagai etnis asli. Namun, sebagian besar rakyat Myanmar dan pemerintah menolak untuk mengakui etnis "Rohingya" di tengah kekhawatiran bahwa mereka kemudian akan dapat menggunakan status asli mereka untuk menuntut wilayah otonom di Negara Bagian Rakhine, seperti yang mereka lakukan pada tahun 1950-an di bawah gerakan pemberontak ”mujahiddin”. Di situlah letak jantung masalah tersebut dan awal semua kebuntuan dari penyelesaian masalah antar etnis di Myanmar.

Ke depan, komunitas internasional perlu memperhatikan ketakutan etnis Rakhine dan hak-hak mereka bukan hanya sebagai warga negara, tetapi juga sebagai manusia. Masyarakat internasional juga perlu memahami dilema pemerintah Myanmar dalam mencoba menyelesaikan populasi yang bergejolak sambil menghadapi masalah-masalah kompleks lainnya. Alih-alih menuntut yang secara domestik tidak layak dan mengasingkan demokrasi yang baru lahir melalui kritik keras, komunitas internasional seharusnya mendorong upaya Myanmar untuk mengintegrasikan kembali dirinya ke dalam komunitas bangsa-bangsa melalui retorika berbasis fakta dan terukur.

Pemerintah Myanmar, sementara itu harus mempertimbangkan untuk merevisi Undang-Undang Kewarganegaraan eksklusif sejak tahun 1982 yang membuat hampir tidak mungkin bagi penduduk non-asli untuk menjadi menjadi warga negara yang sepenuhnya. Kemudian juga harus melihat penghapusan klasifikasi etnis dan agama dalam kartu identitas, yang melanggengkan obsesi nasionalis di antara penduduk Myanmar.

Terakhir, campur tangan dari pemerintahan di Asia Tenggara wajib ada, terutama mengenai menjunjung tinggi hak asasi manusia dan bekerja sama melawan perdagangan manusia dan berkomitmen membawa penyelundup yang menari diatas penderitaan manusia dan pengungsi ke pengadilan. Tindakan bersama dari komunitas negara Asia Tenggara wajib dilakukan demi menyelamatkan etnis Rohingya dan korban-korban lainnya.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1271 seconds (0.1#10.140)