Rohingya, Minoritas yang Terhempas
loading...
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
PADA masa pemerintahan Inggris di Myanmar (Burma) dan setelah Myanmar merdeka pada 1948, terjadi migrasi etnis Rohingya dari Bengal ke Myanmar. Begitu juga selama perang kemerdekaan Bangladesh pada 1971, banyak orang Rohingya bermigrasi ke Myanmar. Pada 2013, sekitar 1,3 juta etnis Rohingya menetap di Kota Rakhine Utara. Kebanyakan mereka adalah petani miskin. Pemerintah militer Myanmar bertindak diskriminatif dan represif terhadap etnis Rohingya yang dianggap sebagai etnis pendatang. Pada 1982, Pemerintah Myanmar mencabut kewarganegaraan etnis Rohingya yang berarti mereka tidak diakui sebagai warga negara. Undang-undang lainnya diberlakukan dengan melarang etnis Rohingya bepergian tanpa izin resmi, melarang memiliki tanah, dan pasangan yang baru menikah harus menandatangani perjanjian untuk tidak mempunyai lebih dari dua anak. PBB menyebut Rohingya merupakan etnis minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Pemerintahan militer Myanmar selama 65 tahun terakhir telah membunuh ribuan orang dari hampir semua etnis minoritas di negara itu; Shans, Karens, Kachins, Karennis, Mon, Chin, dan kelompok minoritas lainnya. Pada 2017, tentara Myanmar melancarkan serangan balik secara besar-besaran dan penuh kekerasan setelah sekelompok kecil pemuda Rohingya yang disebut Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang beberapa pos keamanan yang menewaskan 12 polisi. Pemerintah Myanmar menuding serangan ARSA disponsori teroris. Serangan balik militer Myanmar mengakibatkan ratusan orang Rohingya tewas dan ratusan ribu melarikan diri ke Bangladesh.
Menurut data Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya (kebanyakan perempuan dan anak-anak) melarikan diri melalui laut ke Bangladesh. Mereka ditampung di tenda pengungsian, menghadapi problem kesehatan dan pendidikan, tidak tersedia cukup makanan dan minuman, air bersih, dan fasilitas tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK). Sebanyak 14.000 anak pengungsi Rohingya menderita kekurangan gizi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, sedikitnya 832 pengungsi Rohingya di kamp pengungsian di Cox's Bazar terjangkit penyakit cacar. Kementerian Kesehatan Bangladesh bekerja sama dengan WHO melakukan pengobatan dan pencegahan agar wabah cacar tidak semakin meluas.
Genosida Etnis
Rohingya adalah etnis minoritas yang tertindas dan terhempas. PBB menyebut tindakan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya merupakan tindakan pembersihan etnis. Para petinggi militer Myanmar dituding harus bertanggung jawab atas terjadinya genosida etnis Rohingya yang dilakukan secara masif dan sistematis. Pada 2017, Pengadilan Internasional memvonis Pemerintah Myanmar bersalah karena melakukan genosida terhadap etnis Rohingya dan melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap etnis-etnis minoritas lainnya. Kekerasan yang dialami etnis Rohingya menggugah keprihatinan 13 tokoh penerima hadiah Nobel dan 10 tokoh dari berbagai profesi. Mereka mengirim surat terbuka kepada Dewan Keamanan PBB yang isinya mengkritik pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, dalam menangani kekerasan terhadap etnis Rohingya dan mengingatkan tentang tragedi pemusnahan etnis dan kejahatan kemanusiaan. Tiga belas peraih hadiah Nobel yang menandatangani surat terbuka itu adalah Muhammad Yusuf, Uskup Desmond Tutu, Malala Yousafzai, Jose Ramos Horta, Tawakul Karman, Shirin Ebadi, Betty Williams, Mairead Maguire, Oscar Arias, Jody Willliams, Leymah Gbowee, Sir Richard J Roberts, dan Elizabeth Blackburn.
Adapun 10 tokoh dari berbagai profesi yang ikut menandatangani surat terbuka itu adalah Emma Bonino, Arianna Huffington, Sir Richard Branson, Paul Polman, Mo Ibrahinm, Richard Curtis, Alaa Murabit, Jochen Zeitz, Kerry Kennedy, dan Romano Prodi. Dalam surat terbuka mereka yang diunggah di Guardian pada 1 September 2017, para peraih Nobel dan aktivis itu menyatakan bahwa serangan militer Myanmar telah membunuh ratusan orang termasuk anak-anak, pemerkosaan terhadap perempuan, pembakaran rumah, dan penangkapan terhadap warga sipil secara semena-mena. Akses organisasi bantuan kemanusiaan hampir sepenuhnya ditolak dan tindakan ini menciptakan krisis kemanusiaan yang sangat mengerikan di kawasan yang sudah sangat melarat dan mengenaskan itu.
Para aktivis HAM dan lembaga kemanusiaan internasional mengecam Aung San Suu Kyi karena tidak bersikap tegas terhadap kekerasan yang dialami Rohingya. Malah, penasihat Aung San Suu Kyi menuduh LSM internasional mendanai milisi Rohingya. Amnesti Internasional mencabut gelar Duta Hati Nurani yang diberikan kepada Aung San Suu Kyi karena dinilai telah membiarkan terjadinya pembunuhan massal yang dilakukan rezim militer Myanmar terhadap etnis Rohingya. Organisasi HAM yang berbasis di London itu mengatakan, penghargaan HAM tertinggi tersebut diberikan kepada Suu Kyi pada 2009 saat dia masih menjadi tahanan rumah rezim militer di negaranya. Sebelumnya pada 2012, US Holocaust Memorial Museum juga mencabut Wiesel Award yang diberikan kepada Suu Kyi. Suu Kyi juga kehilangan penghargaan Freedom of the City of Oxford yang diberikan kepadanya pada 1997 karena perannya melakukan "oposisi terhadap opresi dan kepemimpinan militer di Myanmar." Negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengutuk tindakan anarkistis dan kekerasan yang dilakukan tentara Myanmar terhadap etnis muslim Rohingya.
Apresiasi UNHCR
Pengungsian etnis Rohingya masih terus terjadi. Pada Juni 2020, sebanyak 99 pengungsi Rohingya (48 wanita, 17 pria, dan 34 anak-anak) mendarat di Aceh Utara dan pemerintah provinsi setempat menerima mereka dengan baik. Komisioner Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang telah memberikan izin kepada pengungsi Rohingya mendarat di Aceh Utara. "Penyelamatan jiwa harus selalu menjadi prioritas utama. Kami memuji pihak otoritas di Indonesia yang telah mengizinkan kelompok pria, wanita, dan anak-anak yang rentan ini untuk mendapat keselamatan," kata Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia Ann Maymann. Sekali lagi dia memuji, "Indonesia telah beberapa kali melakukan tindakan yang patut dijadikan contoh oleh negara lainnya di kawasan ini, setelah memberikan bantuan kemanusiaan dan penyelamatan jiwa bagi orang-orang Rohingya di Aceh pada 2015 dan 2018."
Kendati masih dalam suasana keprihatinan dan disibukkan dengan kerja keras penangan pandemi Covid-19 yang menelan dana sangat besar, Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah RI tetap memberikan perhatian, kepedulian, dan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi etnis Rohingya. Mereka diterima, ditampung, dibantu, dan diperlakukan secara manusiawi. Perhatian, kepedulian, dan bantuan kemanusiaan yang diberikan bangsa Indonesia kepada para pengungsi ini dijiwai dan digerakkan oleh spirit sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Guru Besar Pascasarjana FIAI, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
PADA masa pemerintahan Inggris di Myanmar (Burma) dan setelah Myanmar merdeka pada 1948, terjadi migrasi etnis Rohingya dari Bengal ke Myanmar. Begitu juga selama perang kemerdekaan Bangladesh pada 1971, banyak orang Rohingya bermigrasi ke Myanmar. Pada 2013, sekitar 1,3 juta etnis Rohingya menetap di Kota Rakhine Utara. Kebanyakan mereka adalah petani miskin. Pemerintah militer Myanmar bertindak diskriminatif dan represif terhadap etnis Rohingya yang dianggap sebagai etnis pendatang. Pada 1982, Pemerintah Myanmar mencabut kewarganegaraan etnis Rohingya yang berarti mereka tidak diakui sebagai warga negara. Undang-undang lainnya diberlakukan dengan melarang etnis Rohingya bepergian tanpa izin resmi, melarang memiliki tanah, dan pasangan yang baru menikah harus menandatangani perjanjian untuk tidak mempunyai lebih dari dua anak. PBB menyebut Rohingya merupakan etnis minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Pemerintahan militer Myanmar selama 65 tahun terakhir telah membunuh ribuan orang dari hampir semua etnis minoritas di negara itu; Shans, Karens, Kachins, Karennis, Mon, Chin, dan kelompok minoritas lainnya. Pada 2017, tentara Myanmar melancarkan serangan balik secara besar-besaran dan penuh kekerasan setelah sekelompok kecil pemuda Rohingya yang disebut Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang beberapa pos keamanan yang menewaskan 12 polisi. Pemerintah Myanmar menuding serangan ARSA disponsori teroris. Serangan balik militer Myanmar mengakibatkan ratusan orang Rohingya tewas dan ratusan ribu melarikan diri ke Bangladesh.
Menurut data Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya (kebanyakan perempuan dan anak-anak) melarikan diri melalui laut ke Bangladesh. Mereka ditampung di tenda pengungsian, menghadapi problem kesehatan dan pendidikan, tidak tersedia cukup makanan dan minuman, air bersih, dan fasilitas tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK). Sebanyak 14.000 anak pengungsi Rohingya menderita kekurangan gizi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, sedikitnya 832 pengungsi Rohingya di kamp pengungsian di Cox's Bazar terjangkit penyakit cacar. Kementerian Kesehatan Bangladesh bekerja sama dengan WHO melakukan pengobatan dan pencegahan agar wabah cacar tidak semakin meluas.
Genosida Etnis
Rohingya adalah etnis minoritas yang tertindas dan terhempas. PBB menyebut tindakan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya merupakan tindakan pembersihan etnis. Para petinggi militer Myanmar dituding harus bertanggung jawab atas terjadinya genosida etnis Rohingya yang dilakukan secara masif dan sistematis. Pada 2017, Pengadilan Internasional memvonis Pemerintah Myanmar bersalah karena melakukan genosida terhadap etnis Rohingya dan melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap etnis-etnis minoritas lainnya. Kekerasan yang dialami etnis Rohingya menggugah keprihatinan 13 tokoh penerima hadiah Nobel dan 10 tokoh dari berbagai profesi. Mereka mengirim surat terbuka kepada Dewan Keamanan PBB yang isinya mengkritik pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, dalam menangani kekerasan terhadap etnis Rohingya dan mengingatkan tentang tragedi pemusnahan etnis dan kejahatan kemanusiaan. Tiga belas peraih hadiah Nobel yang menandatangani surat terbuka itu adalah Muhammad Yusuf, Uskup Desmond Tutu, Malala Yousafzai, Jose Ramos Horta, Tawakul Karman, Shirin Ebadi, Betty Williams, Mairead Maguire, Oscar Arias, Jody Willliams, Leymah Gbowee, Sir Richard J Roberts, dan Elizabeth Blackburn.
Adapun 10 tokoh dari berbagai profesi yang ikut menandatangani surat terbuka itu adalah Emma Bonino, Arianna Huffington, Sir Richard Branson, Paul Polman, Mo Ibrahinm, Richard Curtis, Alaa Murabit, Jochen Zeitz, Kerry Kennedy, dan Romano Prodi. Dalam surat terbuka mereka yang diunggah di Guardian pada 1 September 2017, para peraih Nobel dan aktivis itu menyatakan bahwa serangan militer Myanmar telah membunuh ratusan orang termasuk anak-anak, pemerkosaan terhadap perempuan, pembakaran rumah, dan penangkapan terhadap warga sipil secara semena-mena. Akses organisasi bantuan kemanusiaan hampir sepenuhnya ditolak dan tindakan ini menciptakan krisis kemanusiaan yang sangat mengerikan di kawasan yang sudah sangat melarat dan mengenaskan itu.
Para aktivis HAM dan lembaga kemanusiaan internasional mengecam Aung San Suu Kyi karena tidak bersikap tegas terhadap kekerasan yang dialami Rohingya. Malah, penasihat Aung San Suu Kyi menuduh LSM internasional mendanai milisi Rohingya. Amnesti Internasional mencabut gelar Duta Hati Nurani yang diberikan kepada Aung San Suu Kyi karena dinilai telah membiarkan terjadinya pembunuhan massal yang dilakukan rezim militer Myanmar terhadap etnis Rohingya. Organisasi HAM yang berbasis di London itu mengatakan, penghargaan HAM tertinggi tersebut diberikan kepada Suu Kyi pada 2009 saat dia masih menjadi tahanan rumah rezim militer di negaranya. Sebelumnya pada 2012, US Holocaust Memorial Museum juga mencabut Wiesel Award yang diberikan kepada Suu Kyi. Suu Kyi juga kehilangan penghargaan Freedom of the City of Oxford yang diberikan kepadanya pada 1997 karena perannya melakukan "oposisi terhadap opresi dan kepemimpinan militer di Myanmar." Negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengutuk tindakan anarkistis dan kekerasan yang dilakukan tentara Myanmar terhadap etnis muslim Rohingya.
Apresiasi UNHCR
Pengungsian etnis Rohingya masih terus terjadi. Pada Juni 2020, sebanyak 99 pengungsi Rohingya (48 wanita, 17 pria, dan 34 anak-anak) mendarat di Aceh Utara dan pemerintah provinsi setempat menerima mereka dengan baik. Komisioner Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang telah memberikan izin kepada pengungsi Rohingya mendarat di Aceh Utara. "Penyelamatan jiwa harus selalu menjadi prioritas utama. Kami memuji pihak otoritas di Indonesia yang telah mengizinkan kelompok pria, wanita, dan anak-anak yang rentan ini untuk mendapat keselamatan," kata Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia Ann Maymann. Sekali lagi dia memuji, "Indonesia telah beberapa kali melakukan tindakan yang patut dijadikan contoh oleh negara lainnya di kawasan ini, setelah memberikan bantuan kemanusiaan dan penyelamatan jiwa bagi orang-orang Rohingya di Aceh pada 2015 dan 2018."
Kendati masih dalam suasana keprihatinan dan disibukkan dengan kerja keras penangan pandemi Covid-19 yang menelan dana sangat besar, Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah RI tetap memberikan perhatian, kepedulian, dan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi etnis Rohingya. Mereka diterima, ditampung, dibantu, dan diperlakukan secara manusiawi. Perhatian, kepedulian, dan bantuan kemanusiaan yang diberikan bangsa Indonesia kepada para pengungsi ini dijiwai dan digerakkan oleh spirit sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
(ras)