Santri dan Nasionalisme Islam

Jum'at, 21 Oktober 2022 - 15:51 WIB
loading...
A A A
Pendaulatan secara fikih atas Nusantara sebagai wilayah Islam, dibedakan oleh para kiai dengan konsep wilayah perang (dar al-harb). Wilayah perang artinya, wilayah non-Islam yang menentang syariah Islam sehingga berhak diperangi. Ini artinya, Nusantara sejak awal bukan dar al-harb, tetapi justru merupakan dar al-Islam.

Dalam kaitan ini, NU membedakan dar al-Islam dengan daulah Islamiyyah (negara Islam). Oleh karena itu, meskipun Nusantara merupakan wilayah Islam, namun ia bukan negara Islam.

Keputusan Muktamar ke-11 NU 1936 inilah yang menjadi landasan fiqhiyyah bagi Resolusi Jihad tahun 1945. Artinya, sejak tahun 1936, para kiai telah mewajibkan pembelaan terhadap wilayah Nusantara dari penjajahan. Maka pembelaan ini dilanjutkan hingga 1945 dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.

Nasionalisme Islam
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melakukan analisa terhadap kesejarahan NU dalam berbangsa dan bernegara tersebut. Dalam hal ini, Resolusi Jihad oleh kakeknya, Mbah Hasyim, Gus Dur letakkan sebagai bagian dari proses panjang nasionalisme Islam yang telah dibentuk oleh NU. Menurut Gus Dur, nasionalisme Islam tersebut dikembangkan dalam beberapa fase.

Pertama, pembentukan kebangsaan Islam (Islamic nationhood). Pada fase ini, NU telah membentuk kebangsaan berdasarkan syariah Islam. Kebangsaan yang dimaksud ialah keterikatan pada satu wilayah. Keabsahan atas keterikatan wilayah ini didasarkan atas pertimbangan keislaman. Inilah fase pertama yang dilahirkan oleh Muktamar ke-11 NU tahun 1936 tersebut.

Dalam kaitan ini, Gus Dur menyatakan bahwa tradisi kebangsaan telah ada dalam pemikiran Islam, sejak sosiolog Muslim, Ibnu Khaldun, mencetuskan gagasan tentang solidaritas sosial berdasarkan wilayah dan agama (‘ashabiyyah).

Kedua, pembentukan negara nasional berdasarkan dasar negara nasional yang ditafsiri secara islami. Hal ini terjadi dalam peran para tokoh NU di momen pendirian negara pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 29 Mei-18 Agustus 1945.

KH Wahid Hasyim dan KH Masykur terlibat dalam proses ini. Pada fase ini, Kiai Wahid menjadi anggota BPUPK, Panitia Delapan, Panitia Sembilan, Panitia Perancang Hukum Dasar dan anggota PPKI.

Peran sentral Kiai Wahid Hasyim terdapat pada proses menuju finalisasi Pancasila pada 18 Agustus 1945 pagi hari sebelum sidang PPKI. Pada hari itu, Kiai Wahid tampil memaknai sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai cerminan tauhid. Pemikiran Kiai Wahid tersebut disetujui para tokoh Islam lain, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo dan Teuku Muhammad Hasan.

Berdasarkan persetujuan para tokoh Islam inilah, tersusun rumusan final Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Berdasarkan pemikiran Kiai Wahid ini, maka bagi umat Islam, Pancasila adalah dasar negara kebangsaan yang memuat doktrin utama Islam, yakni tauhid.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1385 seconds (0.1#10.140)