Santri dan Nasionalisme Islam

Jum'at, 21 Oktober 2022 - 15:51 WIB
loading...
Santri dan Nasionalisme Islam
Syaiful Arif (Foto: Ist)
A A A
Syaiful Arif
Alumni Pesantren Ciganjur asuhan KH Abdurrahman Wahid, Staf Ahli MPR RI

BERDASARKAN Keputusan Presiden Nomor 22/2015 tentang Hari Santri, maka setiap 22 Oktober kita memperingati Hari Santri Nasional. Peringatan ini ditetapkan untuk menghormati perjuangan para santri dan rakyat Indonesia dalam mempertahankan NKRI berdasarkan fatwa Resolusi Jihad yang dicanangkan Hadlratus Syeikh Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.

Resolusi Jihad berbunyi kewajiban bagi kaum Muslim untuk melawan kehadiran Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang hendak merebut kemerdekaan bangsa yang terproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Baca Juga: koran-sindo.com

Melalui fatwanya, Mbah Hasyim menetapkan kewajiban bela negara bagi Muslim sebagai kewajiban agama, yakni fardlu ‘ain bagi setiap Muslim yang berada di radius 94 kilometer dari wilayah perang.

Status bela negara sebagai fardlu ‘ain yang difatwakan Mbah Hasyim pada 1945 memiliki landasan historis dan keagamaan sejak era pra-kemerdekaan. Hal ini menunjukkan kekhasan nasionalisme Islam yang dikembangkan oleh kalangan santri di republik ini.

Wilayah Islam
Landasan historis keagamaan bagi fatwa bela negara pada 22 Oktober 1945 ialah hasil Muktamar ke-11 Nahdlatul Ulama (NU) pada 1936 di Banjarmasin. Hasil Muktamar tersebut ialah pendaulatan wilayah Nusantara sebagai wilayah Islam (dar al-Islam).

Pendaulatan ini menjadi pertanyaan para muktamirin saat itu, yakni, “Apakah status keagamaan wilayah Hindia-Belanda (Nusantara) yang diperintah oleh Pemerintah Kolonial Belanda? Apakah wilayah ini wajib dibela dari penjajahan?” Menjawab pertanyaan forum tersebut, maka Muktamar ke-11 NU menyatakan bahwa wilayah Nusantara ialah wilayah Islam (dar al-Islam) sehingga wajib dibela.

Mengapa Nusantara dihukumi sebagai wilayah Islam? Karena dua alasan. Pertama, umat Muslim bebas melaksanakan ibadah dan syariah meskipun dalam pemerintahan kolonial Belanda. Kedua, zaman dahulu Nusantara pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Islam, dimulai dari Samudera Pasai, Perlak, Gowa, Demak, hingga Mataram Islam.

Sehingga meskipun saat itu Nusantara dikuasai kolonial Belanda yang non-Islam, namun status keagamaan wilayah tersebut tetap Islam. Argumentasi ini didasarkan pada kitab fikih, Bughyatul Mustarsyidin karya Abdur Rahman al-Masyhur.

Pendaulatan secara fikih atas Nusantara sebagai wilayah Islam, dibedakan oleh para kiai dengan konsep wilayah perang (dar al-harb). Wilayah perang artinya, wilayah non-Islam yang menentang syariah Islam sehingga berhak diperangi. Ini artinya, Nusantara sejak awal bukan dar al-harb, tetapi justru merupakan dar al-Islam.

Dalam kaitan ini, NU membedakan dar al-Islam dengan daulah Islamiyyah (negara Islam). Oleh karena itu, meskipun Nusantara merupakan wilayah Islam, namun ia bukan negara Islam.

Keputusan Muktamar ke-11 NU 1936 inilah yang menjadi landasan fiqhiyyah bagi Resolusi Jihad tahun 1945. Artinya, sejak tahun 1936, para kiai telah mewajibkan pembelaan terhadap wilayah Nusantara dari penjajahan. Maka pembelaan ini dilanjutkan hingga 1945 dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.

Nasionalisme Islam
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melakukan analisa terhadap kesejarahan NU dalam berbangsa dan bernegara tersebut. Dalam hal ini, Resolusi Jihad oleh kakeknya, Mbah Hasyim, Gus Dur letakkan sebagai bagian dari proses panjang nasionalisme Islam yang telah dibentuk oleh NU. Menurut Gus Dur, nasionalisme Islam tersebut dikembangkan dalam beberapa fase.

Pertama, pembentukan kebangsaan Islam (Islamic nationhood). Pada fase ini, NU telah membentuk kebangsaan berdasarkan syariah Islam. Kebangsaan yang dimaksud ialah keterikatan pada satu wilayah. Keabsahan atas keterikatan wilayah ini didasarkan atas pertimbangan keislaman. Inilah fase pertama yang dilahirkan oleh Muktamar ke-11 NU tahun 1936 tersebut.

Dalam kaitan ini, Gus Dur menyatakan bahwa tradisi kebangsaan telah ada dalam pemikiran Islam, sejak sosiolog Muslim, Ibnu Khaldun, mencetuskan gagasan tentang solidaritas sosial berdasarkan wilayah dan agama (‘ashabiyyah).

Kedua, pembentukan negara nasional berdasarkan dasar negara nasional yang ditafsiri secara islami. Hal ini terjadi dalam peran para tokoh NU di momen pendirian negara pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 29 Mei-18 Agustus 1945.

KH Wahid Hasyim dan KH Masykur terlibat dalam proses ini. Pada fase ini, Kiai Wahid menjadi anggota BPUPK, Panitia Delapan, Panitia Sembilan, Panitia Perancang Hukum Dasar dan anggota PPKI.

Peran sentral Kiai Wahid Hasyim terdapat pada proses menuju finalisasi Pancasila pada 18 Agustus 1945 pagi hari sebelum sidang PPKI. Pada hari itu, Kiai Wahid tampil memaknai sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai cerminan tauhid. Pemikiran Kiai Wahid tersebut disetujui para tokoh Islam lain, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo dan Teuku Muhammad Hasan.

Berdasarkan persetujuan para tokoh Islam inilah, tersusun rumusan final Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Berdasarkan pemikiran Kiai Wahid ini, maka bagi umat Islam, Pancasila adalah dasar negara kebangsaan yang memuat doktrin utama Islam, yakni tauhid.

Ketiga, pembelaan negara dan pertahanan kemerdekaan dari serangan NICA melalui Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Ini berarti, Resolusi Jihad menjadi kesinambungan dari pembentukan nasionalisme dan negara nasional yang diperjuangkan NU atas nama Islam. Keempat, pengabsahan pemerintah Indonesia atas nama syariah Islam. Hal ini dilakukan NU dalam Munas Alim Ulama di Cipanas, Bogor, tahun 1954.

Melalui Munas tersebut, NU mendaulat pemerintah Indonesia sebagai pemimpin darurat yang memiliki kewenangan dalam menerapkan syariah (waly al-amri al-dlaruri bi al-syaukah). Pemerintah RI disebut darurat di tengah ketiadaan kekhalifahan dunia Islam. Meskipun darurat, namun ia memiliki kewenangan untuk menerapkan syariah Islam.

Kelima, penegasan keselarasan Islam dan Pancasila dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo, tahun 1983. Dalam Munas tersebut, NU menegaskan bahwa sila Ketuhanan YME merupakan cerminan tauhid, sedangkan sila-sila di bawahnya mencerminkan tujuan utama syariah Islam (maqashid al-syari’ah). Menurut Gus Dur, fase kelima ini merupakan titik puncak nasionalisme Islam yang dibangun oleh NU (Wahid, 1989: 9-15).

Berdasarkan uraian ini, maka Hari Santri Nasional menegaskan keselarasan Islam dan sendi-sendi kebangsaan kita, baik dengan bangsa, negara nasional, dasar negara Pancasila, serta pemerintah Republik Indonesia. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengafirkan negara ini, karena Indonesia didirikan melalui upaya gotong-royong seluruh elemen bangsa, termasuk oleh umat Islam. Selamat Hari Santri Nasional!
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0901 seconds (0.1#10.140)