Klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja Ditunda, Pemerintah Dinilai Ragu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menyatakan menarik klaster ketenagakerjaan dalam pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat akun Facebook dan Instagram miliknya, Senin (27/4/2020).
Jokowi dalam pernyataannya tersebut mengatakan bahwa mengenai klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja yang seharusnya sedang dibahas pekan-pekan ini, pemerintah bersama DPR memiliki pandangan yang sama untuk menunda pembahasannya. Penundaan itu telah pemerintah sampaikan ke DPR pekan lalu.
"Dengan penundaan tersebut, pemerintah bersama DPR memiliki waktu yang lebih banyak untuk mendalami substansi dari pasal-pasal yang berkaitan, juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan," ujar Jokowi.
Akun Facebook Jokowi sempat mengunggah pernyataan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja, namun akhirnya direvisi bahwa yang ditunda pembahasannya hanyalah klaster ketenagakerjaan.
Pengamat Politik dari Telkom University dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dedi Kurnia Syah mengatakan menunda hanya pada klaster ketenagakerjaan tidak akan berimbas banyak. Bahkan cenderung hanya bagian kecil jika dibanding keseluruhan materi RUU yang juga mencakup bidang lain.
Menurut Dedi, penundaan satu klaster kecil tersebut menunjukkan bahwa pemerintah terkesan ragu dalam mengambil langkah prioritas. "Tidak banyak manfaat yang diambil hanya dengan menunda satu klaster karena waktu pembahasan yang digunakan tetap sama dan fokus penanganan wabah COVID-19 tidak akan signifikan," ujar Dedi kepada SINDOnews, (27/4/2020).
Menurutnya, penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan dilakukan hanya untuk meredakan penolakan buruh dan itu bukan berarti akan ada perbaikan. "Sementara melanjutkan klaster yang lain, UU Ciptaker akan bernasib serupa dengan UU KPK, di mana penolakan publik begitu besar, sementara pemerintah tetap memutuskan UU baru," katanya.
Dikatakan Dedi yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini, dengan cara seperti itu, UU yang dihasilkan tidak akan berkualitas baik dan cenderung hanya untuk mengakomodir kepentingan sekelompok elite yang terkait saja, sementara publik sulit sekali mendapat manfaat.
"Sejak awal digulirkan RUU Ciptaker, pemerintah terkesan memaksakan. Ada kesan timpang dalam membaca materi RUU yang lebih memihak oligarki, di mana kelompok elite tertentu yang akan menikmati UU ini. Untuk itu, DPR harus lebih memusatkan kajian legislasi agar publik memiliki kepercayaan pada kinerja parlemen," tuturnya.
Dedi menambahkan UU ini seharusnya tidak saja untuk kepentingan korporasi tetapi juga kepeduliaan pada kelangsungan sumber daya negara.
Jokowi dalam pernyataannya tersebut mengatakan bahwa mengenai klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja yang seharusnya sedang dibahas pekan-pekan ini, pemerintah bersama DPR memiliki pandangan yang sama untuk menunda pembahasannya. Penundaan itu telah pemerintah sampaikan ke DPR pekan lalu.
"Dengan penundaan tersebut, pemerintah bersama DPR memiliki waktu yang lebih banyak untuk mendalami substansi dari pasal-pasal yang berkaitan, juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan," ujar Jokowi.
Akun Facebook Jokowi sempat mengunggah pernyataan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja, namun akhirnya direvisi bahwa yang ditunda pembahasannya hanyalah klaster ketenagakerjaan.
Pengamat Politik dari Telkom University dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dedi Kurnia Syah mengatakan menunda hanya pada klaster ketenagakerjaan tidak akan berimbas banyak. Bahkan cenderung hanya bagian kecil jika dibanding keseluruhan materi RUU yang juga mencakup bidang lain.
Menurut Dedi, penundaan satu klaster kecil tersebut menunjukkan bahwa pemerintah terkesan ragu dalam mengambil langkah prioritas. "Tidak banyak manfaat yang diambil hanya dengan menunda satu klaster karena waktu pembahasan yang digunakan tetap sama dan fokus penanganan wabah COVID-19 tidak akan signifikan," ujar Dedi kepada SINDOnews, (27/4/2020).
Menurutnya, penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan dilakukan hanya untuk meredakan penolakan buruh dan itu bukan berarti akan ada perbaikan. "Sementara melanjutkan klaster yang lain, UU Ciptaker akan bernasib serupa dengan UU KPK, di mana penolakan publik begitu besar, sementara pemerintah tetap memutuskan UU baru," katanya.
Dikatakan Dedi yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini, dengan cara seperti itu, UU yang dihasilkan tidak akan berkualitas baik dan cenderung hanya untuk mengakomodir kepentingan sekelompok elite yang terkait saja, sementara publik sulit sekali mendapat manfaat.
"Sejak awal digulirkan RUU Ciptaker, pemerintah terkesan memaksakan. Ada kesan timpang dalam membaca materi RUU yang lebih memihak oligarki, di mana kelompok elite tertentu yang akan menikmati UU ini. Untuk itu, DPR harus lebih memusatkan kajian legislasi agar publik memiliki kepercayaan pada kinerja parlemen," tuturnya.
Dedi menambahkan UU ini seharusnya tidak saja untuk kepentingan korporasi tetapi juga kepeduliaan pada kelangsungan sumber daya negara.
(kri)