R20 dan Ujian Prasangka Baik Moderatisme
loading...
A
A
A
Saiful Maarif
Nahdliyin dan Asesor SDM Kemenag
BERIRINGAN dengan Forum KTT G-20 pada November 2022, Nahdlatul Ulama (NU) akan menyelenggarakan forum Religion of Twenty (R20) dengan dukungan dari berbagai pihak, di antaranya Keuskupan Vatikan, Liga Muslim Dunia (Rabithah Ma'ahid Islami/RMI), lembaga yang mendapat sokongan penuh pemerintah Saudi Arabia, dan berbagai pihak lainnya.
Direncanakan dihadiri berbagai pemuka agama dari seluruh dunia, R20 dimaksudkan sebagai sarana dialog antargama secara global dengan membuka sekat-sekat, kecurigaan, dan prasangka relasi dan interaksi kehidupan beragama. Tujuannya adalah untuk untuk bersama-sama introspeksi dan mencari solusi atas problem keagamaan yang selama ini terjadi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Forum R20 didesain sedemikian rupa agar pemimpin komunitas-komunitas agama berdiskusi secara terbuka, jujur, terus terang, dan langsung mengarah kepada masalah pokok tanpa adanya pengingkaran. Pola dan tujuan ini tentu sangat mulia karena kesediaan untuk mengakui adanya masalah bisa jadi adalah sebagian dari bangunan solusi itu sendiri.
Namun demikian, agenda dan rencana NU untuk menjadikan nilai moderasi sebagai jalan tengah terhadap problem relasi agama dengan peradaban dan negara–bangsa akan menemui beberapa tantangan. Pelibatan tokoh bermasalah dalam problem toleransi sebagai undangan dapat mengundang tanda tanya dan tantangan tersendiri.
Selepas forum 7th Congress of Leaders of World and Traditional Religions di Kazakhstan pada September 2022, Azza Karam, Sekretaris Jenderal Religions for Peace International sekaligus Anggota Dewan Penasehat Tingkat Tinggi untuk Multilaterisme yang Efektif menyatakan kegamangannya mengenai problem toleransi keberagaman ini.
"Mengalami perbedaan", dalam pandangan Karam, saat ini harus berdampingan dengan dan menjadi "sinonim" di antara sikap ultra-nasionalis, fanatisme agama, dan kepentingan politik yang sengaja memelihara perpecahan untuk mengamankan legitimasi. Atas kondisi demikian, Azzam Karam menyebutnya sebagai ancaman yang tidak kalah menyeramkan dengan perubahan iklim dan kondisi pandemik.
Di lapangan, Ram Madav dari India dan Viktor Orban dari Hungaria, misalnya, di antaranya dikenal sebagai figur yang keras bersuara mengumandangkan sikap anti-Islam secara verbal dan tanpa tedeng aling-aling. Pada gelaran R20 pada November nanti, keduanya bisa jadi hadir dan akan diberikan panggung oleh wadah R20.
Ram Madav dengan milisi Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS)nya berada di garis terdepan di India dalam menyuarakan pembumihangusan dan pembunuhan terhadap muslim India secara masif dan berulang. Sementara itu, Viktor Okban adalah Perdana Menteri Hungaria yang terang-terangan menolak keberadaan pengungsi konflik Bosnia–Serbia dan pengungsi Timur Tengah masuk ke negaranya seraya mengatakan mereka sebagai sampah peradaban.
Ram dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap upaya mengeliminasi sikap radikalitistik dan menolak tindakan terororisme; apakah dengan demikian muslim India yang bertahan terhadap upaya genosida RSS adalah tindakan radikalisme dan terorisme? Ram dan Okbin mewakili banyak kondisi serupa oleh pihak dan penganut agama lain dalam interaksi dengan agama lainnya.
Inilah di antara pertanyaan dan realitas yang mampu menjadi gugatan terhadap semangat mulia dan ikhtiar besar NU dalam menggaungkan moderasi dan sikap merangkul semua yang bermasalah dengan nalar toleran.
Bergerak dan Bekerja Bersama
Damai, harmoni, dan toleransi pada dasarnya mengandaikan sebuah kerja bersama. Pada titik ini, Nahdlatul Ulama perlu lebih mengintensifkan upaya konkret dan aplikatif. Dalam relasi ini terdapat dua target utama, yakni jangka panjang dan pendek. Untuk jangka pendek, pendekatan untuk membentuk komunikasi dan komunalitas dialog antariman perlu menajamkan agenda agar lebih memiliki daya tekan atas tindakan yang dinilai bersama sebagai tindakan intoleran, bahkan jika hal tersebut dialukan oleh anggota komunalitas dan dialog tersebut.
Dalam semangat ini, jauh hari sebelumnya, dalam Open Society and Its Enemies (1945) dan pandangannya tentang paradoks intoleransi, Karl L. Popper menyatakan bahwa batas toleransi adalah intoleran itu sendiri, sebuah penegasan agar jangan memberikan toleransi pada tindakan intoleran.
Kegelisahan Popper terhubung dengan perlunya menyikapi konektivitas dan inter-relasi berbagai agama. Pada titik ini, bahkan sikap toleran saja bisa dianggap belum utuh untuk memastikan keberadaan dan keberlangsungan relasi antaragama yang guyub dan rukun. Keseluruhan relasi untuk membangun harmoni bumi dengan nilai penghargaan terhadap keragaman dan keberagamaan adalah toleran, inklusif, dan plural.
Dalam perspektif John S Dunne, seseorang yang ingin memperkuat wawasn keagamannya sebaiknya memberanikan diri untuk melakukan passing over atau crossing over (melintas batas) ke agama lainnya dan kemudian kembali lagi (coming back) kepada agamanya sendiri dengan perspektif baru yang memperkuat agamanya sendiri dengan wawasan penghargaan terhadap agama lain (Media Z Bahri, 2011).
Dunne mendorong inisiatif untuk melakukan perjumpaan spiritual dengan agama lain dalam forum dialogis yang pada akhirnya mampu memperkuat wawasan kegamaannya sendiri. Upaya melintas batas itu, di awalnya, sudah diberikan rambu-rambu untuk tidak menjadi sesuatu yang keblablasan dengan meninggalkan identitas agamanya sendiri.
Hal ini menjadi mungkin dilakukan karena beberapa hal. Pertama, kedewassan beragama. Beragama yang dewasa adalah beragama yang kokoh dalam pemahaman agamanya sendiri, menjauhkan diri dari kemungkinan dan ketakutan terpengaruh ajaran agama lain.
Kedua, pada dasarnya semua agama memiliki titik pijak (common ground) yang sama dalam menyuarakan kebaikan dan nilai kemanusiaan. Dalam berbagai kesempatan, Hans Kung dan Paul Knitter, pemerhati dialog antariman, menekankan pentingnya kerja sama dan kolaborasi antariman yang harus lebih tajam dalam merumuskan langkah dan tindak lanjut yang langsung terkorelasi dengan problem kemanusiaan dan kegamaan umat itu sendiri. Dalam kaitan ini, peran pendidikan sangat penting untuk dilibatkan.
Berkaca dari problem intoleransi dan kekerasan berbasis agama, salah satu tantangan besar dari upaya menjaga kedamaian dan kaitannya dengan toleransi beragama adalah menumbuhkan kesadaran toleransi di kalangan warga. Di dalamnya, pendidikan dipandang menempati garis terdepan dalam upaya menumbuhkembangkan sekaligus turut menjaga keberlangsungan toleransi beragama.
Jangan sampai upaya penting dan mulia untuk menguatkan kerukunan umat beragama secara global ini hanya berhenti di meja-meja pembahasan dan mikrofon para pembicara di forum R20 nantinya.
Nahdliyin dan Asesor SDM Kemenag
BERIRINGAN dengan Forum KTT G-20 pada November 2022, Nahdlatul Ulama (NU) akan menyelenggarakan forum Religion of Twenty (R20) dengan dukungan dari berbagai pihak, di antaranya Keuskupan Vatikan, Liga Muslim Dunia (Rabithah Ma'ahid Islami/RMI), lembaga yang mendapat sokongan penuh pemerintah Saudi Arabia, dan berbagai pihak lainnya.
Direncanakan dihadiri berbagai pemuka agama dari seluruh dunia, R20 dimaksudkan sebagai sarana dialog antargama secara global dengan membuka sekat-sekat, kecurigaan, dan prasangka relasi dan interaksi kehidupan beragama. Tujuannya adalah untuk untuk bersama-sama introspeksi dan mencari solusi atas problem keagamaan yang selama ini terjadi.
Baca Juga: koran-sindo.com
Forum R20 didesain sedemikian rupa agar pemimpin komunitas-komunitas agama berdiskusi secara terbuka, jujur, terus terang, dan langsung mengarah kepada masalah pokok tanpa adanya pengingkaran. Pola dan tujuan ini tentu sangat mulia karena kesediaan untuk mengakui adanya masalah bisa jadi adalah sebagian dari bangunan solusi itu sendiri.
Namun demikian, agenda dan rencana NU untuk menjadikan nilai moderasi sebagai jalan tengah terhadap problem relasi agama dengan peradaban dan negara–bangsa akan menemui beberapa tantangan. Pelibatan tokoh bermasalah dalam problem toleransi sebagai undangan dapat mengundang tanda tanya dan tantangan tersendiri.
Selepas forum 7th Congress of Leaders of World and Traditional Religions di Kazakhstan pada September 2022, Azza Karam, Sekretaris Jenderal Religions for Peace International sekaligus Anggota Dewan Penasehat Tingkat Tinggi untuk Multilaterisme yang Efektif menyatakan kegamangannya mengenai problem toleransi keberagaman ini.
"Mengalami perbedaan", dalam pandangan Karam, saat ini harus berdampingan dengan dan menjadi "sinonim" di antara sikap ultra-nasionalis, fanatisme agama, dan kepentingan politik yang sengaja memelihara perpecahan untuk mengamankan legitimasi. Atas kondisi demikian, Azzam Karam menyebutnya sebagai ancaman yang tidak kalah menyeramkan dengan perubahan iklim dan kondisi pandemik.
Di lapangan, Ram Madav dari India dan Viktor Orban dari Hungaria, misalnya, di antaranya dikenal sebagai figur yang keras bersuara mengumandangkan sikap anti-Islam secara verbal dan tanpa tedeng aling-aling. Pada gelaran R20 pada November nanti, keduanya bisa jadi hadir dan akan diberikan panggung oleh wadah R20.
Ram Madav dengan milisi Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS)nya berada di garis terdepan di India dalam menyuarakan pembumihangusan dan pembunuhan terhadap muslim India secara masif dan berulang. Sementara itu, Viktor Okban adalah Perdana Menteri Hungaria yang terang-terangan menolak keberadaan pengungsi konflik Bosnia–Serbia dan pengungsi Timur Tengah masuk ke negaranya seraya mengatakan mereka sebagai sampah peradaban.
Ram dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap upaya mengeliminasi sikap radikalitistik dan menolak tindakan terororisme; apakah dengan demikian muslim India yang bertahan terhadap upaya genosida RSS adalah tindakan radikalisme dan terorisme? Ram dan Okbin mewakili banyak kondisi serupa oleh pihak dan penganut agama lain dalam interaksi dengan agama lainnya.
Inilah di antara pertanyaan dan realitas yang mampu menjadi gugatan terhadap semangat mulia dan ikhtiar besar NU dalam menggaungkan moderasi dan sikap merangkul semua yang bermasalah dengan nalar toleran.
Bergerak dan Bekerja Bersama
Damai, harmoni, dan toleransi pada dasarnya mengandaikan sebuah kerja bersama. Pada titik ini, Nahdlatul Ulama perlu lebih mengintensifkan upaya konkret dan aplikatif. Dalam relasi ini terdapat dua target utama, yakni jangka panjang dan pendek. Untuk jangka pendek, pendekatan untuk membentuk komunikasi dan komunalitas dialog antariman perlu menajamkan agenda agar lebih memiliki daya tekan atas tindakan yang dinilai bersama sebagai tindakan intoleran, bahkan jika hal tersebut dialukan oleh anggota komunalitas dan dialog tersebut.
Dalam semangat ini, jauh hari sebelumnya, dalam Open Society and Its Enemies (1945) dan pandangannya tentang paradoks intoleransi, Karl L. Popper menyatakan bahwa batas toleransi adalah intoleran itu sendiri, sebuah penegasan agar jangan memberikan toleransi pada tindakan intoleran.
Kegelisahan Popper terhubung dengan perlunya menyikapi konektivitas dan inter-relasi berbagai agama. Pada titik ini, bahkan sikap toleran saja bisa dianggap belum utuh untuk memastikan keberadaan dan keberlangsungan relasi antaragama yang guyub dan rukun. Keseluruhan relasi untuk membangun harmoni bumi dengan nilai penghargaan terhadap keragaman dan keberagamaan adalah toleran, inklusif, dan plural.
Dalam perspektif John S Dunne, seseorang yang ingin memperkuat wawasn keagamannya sebaiknya memberanikan diri untuk melakukan passing over atau crossing over (melintas batas) ke agama lainnya dan kemudian kembali lagi (coming back) kepada agamanya sendiri dengan perspektif baru yang memperkuat agamanya sendiri dengan wawasan penghargaan terhadap agama lain (Media Z Bahri, 2011).
Dunne mendorong inisiatif untuk melakukan perjumpaan spiritual dengan agama lain dalam forum dialogis yang pada akhirnya mampu memperkuat wawasan kegamaannya sendiri. Upaya melintas batas itu, di awalnya, sudah diberikan rambu-rambu untuk tidak menjadi sesuatu yang keblablasan dengan meninggalkan identitas agamanya sendiri.
Hal ini menjadi mungkin dilakukan karena beberapa hal. Pertama, kedewassan beragama. Beragama yang dewasa adalah beragama yang kokoh dalam pemahaman agamanya sendiri, menjauhkan diri dari kemungkinan dan ketakutan terpengaruh ajaran agama lain.
Kedua, pada dasarnya semua agama memiliki titik pijak (common ground) yang sama dalam menyuarakan kebaikan dan nilai kemanusiaan. Dalam berbagai kesempatan, Hans Kung dan Paul Knitter, pemerhati dialog antariman, menekankan pentingnya kerja sama dan kolaborasi antariman yang harus lebih tajam dalam merumuskan langkah dan tindak lanjut yang langsung terkorelasi dengan problem kemanusiaan dan kegamaan umat itu sendiri. Dalam kaitan ini, peran pendidikan sangat penting untuk dilibatkan.
Berkaca dari problem intoleransi dan kekerasan berbasis agama, salah satu tantangan besar dari upaya menjaga kedamaian dan kaitannya dengan toleransi beragama adalah menumbuhkan kesadaran toleransi di kalangan warga. Di dalamnya, pendidikan dipandang menempati garis terdepan dalam upaya menumbuhkembangkan sekaligus turut menjaga keberlangsungan toleransi beragama.
Jangan sampai upaya penting dan mulia untuk menguatkan kerukunan umat beragama secara global ini hanya berhenti di meja-meja pembahasan dan mikrofon para pembicara di forum R20 nantinya.
(bmm)