Gembira Beragama, War Takjil, dan Moderasi Beragama
loading...
A
A
A
Anis Masykhur
Kepala Subdit Pendidikan Kesetaraan Dit. Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
RAMADAN tahun ini, ada dua fenomena beragama yang jika diamati secara kasat mata menunjukkan gejala menggembirakan. Yakni mulai bergeraknya program "Gembira Beragama", dimulai dari Provinsi Jawa Barat dan Bengkulu, pada pertengahan Maret lalu (19/3).
baca juga: War Takjil Komunikasi Penuh Kedamaian sebagai Ciri Budaya Indonesia
Program Gembira Beragama sejatinya telah di-launching Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 20Februari lalu, dalam Rapat Kerja Nasional Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT).Istilah "Gembira Beragama" ini memiliki dua makna; hakiki dan majazi. Gembira Beragama menjadi nomenklatur program yang merupakan akronim dari Gerakan Muda Bahagia Bernegara-Beragama.
Program ini menjadi tema pokok yang akan diseminasikan ke 34 provinsi di tahun 2024, yang menyasar tokoh agama dari kalangan pemuda. Secara hakiki memanglah dalam beragama harus dijalankan dengan bahagia, gembira dan santai. Agama membawa misi mewujudkan kebahagiaan dan pencerahan bagi pemeluknya. Agama tidaklah membawa ketakutan, apalagi mewariskan kebencian.
Di saat bersamaan, memasuki pekan kedua hingga menjelang akhir Ramadan, ada gerakan "penyerbuan" takjil Ramadan oleh nonis--istilah baru sebutan bagi non muslim--dalam rangka turut menyemarakkan kehidupan keberagamaan selama bulan suci Ramadan, yang dikenal dengan sebutan "war takjil".
baca juga: Fenomena War Takjil, Kapolri: Artinya Ekonomi Masyarakat Saat Ini Alhamdulillah
War takjil sendiri dipromosikan oleh Pdt Steve Marcel di beberapa khutbahnya di gereja saat pelaksanaan ibadah kaum kristiani, sebagai wujud implementasi toleransi secara riil. "Dalam beragama kita toleran, tapi dalam takjil kita duluan," kelakarnya. Meskipun motivasi sebenarnya adalah bersifat pragmatis, yakni ingin "berburu" jajanan yang jarang muncul di hari-hari biasa.
Pdt Marcel termasuk model tokoh agama yang unik. Ia membawakannya dengan gaya yang melawan mainstream yang selalu serius. Ia memperlihatkan bagaimana pentingnya beragama dengan gembira. War takjil menjadi makin populer di kalangan nonis yang ingin berpartisipasi dalam menikmati "berkah" Ramadan, yakni merasa dalam satu rasa merayakan kebahagiaan berbuka puasa. Fenomena ini tentu hanya terjadi di Indonesia.
Memang bangsa Indonesia banyak "gaya" dalam beragama, menunjukkan ekspressi gembira dalam beragama yang tidak akan pernah dimiliki bangsa lain. Hal demikian ini tentunya juga tidak bisa dipisahkan dengan semangat pemerintah dalam menggelorakan moderasi beragama yang "dikomandoi" Kementerian Agama melalui amanat Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024.
Kepala Subdit Pendidikan Kesetaraan Dit. Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
RAMADAN tahun ini, ada dua fenomena beragama yang jika diamati secara kasat mata menunjukkan gejala menggembirakan. Yakni mulai bergeraknya program "Gembira Beragama", dimulai dari Provinsi Jawa Barat dan Bengkulu, pada pertengahan Maret lalu (19/3).
baca juga: War Takjil Komunikasi Penuh Kedamaian sebagai Ciri Budaya Indonesia
Program Gembira Beragama sejatinya telah di-launching Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 20Februari lalu, dalam Rapat Kerja Nasional Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT).Istilah "Gembira Beragama" ini memiliki dua makna; hakiki dan majazi. Gembira Beragama menjadi nomenklatur program yang merupakan akronim dari Gerakan Muda Bahagia Bernegara-Beragama.
Program ini menjadi tema pokok yang akan diseminasikan ke 34 provinsi di tahun 2024, yang menyasar tokoh agama dari kalangan pemuda. Secara hakiki memanglah dalam beragama harus dijalankan dengan bahagia, gembira dan santai. Agama membawa misi mewujudkan kebahagiaan dan pencerahan bagi pemeluknya. Agama tidaklah membawa ketakutan, apalagi mewariskan kebencian.
Di saat bersamaan, memasuki pekan kedua hingga menjelang akhir Ramadan, ada gerakan "penyerbuan" takjil Ramadan oleh nonis--istilah baru sebutan bagi non muslim--dalam rangka turut menyemarakkan kehidupan keberagamaan selama bulan suci Ramadan, yang dikenal dengan sebutan "war takjil".
baca juga: Fenomena War Takjil, Kapolri: Artinya Ekonomi Masyarakat Saat Ini Alhamdulillah
War takjil sendiri dipromosikan oleh Pdt Steve Marcel di beberapa khutbahnya di gereja saat pelaksanaan ibadah kaum kristiani, sebagai wujud implementasi toleransi secara riil. "Dalam beragama kita toleran, tapi dalam takjil kita duluan," kelakarnya. Meskipun motivasi sebenarnya adalah bersifat pragmatis, yakni ingin "berburu" jajanan yang jarang muncul di hari-hari biasa.
Pdt Marcel termasuk model tokoh agama yang unik. Ia membawakannya dengan gaya yang melawan mainstream yang selalu serius. Ia memperlihatkan bagaimana pentingnya beragama dengan gembira. War takjil menjadi makin populer di kalangan nonis yang ingin berpartisipasi dalam menikmati "berkah" Ramadan, yakni merasa dalam satu rasa merayakan kebahagiaan berbuka puasa. Fenomena ini tentu hanya terjadi di Indonesia.
Memang bangsa Indonesia banyak "gaya" dalam beragama, menunjukkan ekspressi gembira dalam beragama yang tidak akan pernah dimiliki bangsa lain. Hal demikian ini tentunya juga tidak bisa dipisahkan dengan semangat pemerintah dalam menggelorakan moderasi beragama yang "dikomandoi" Kementerian Agama melalui amanat Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024.