Antara Asa dan Realita Kawasan Industri Hasil Tembakau

Senin, 19 September 2022 - 08:14 WIB
loading...
Antara Asa dan Realita Kawasan Industri Hasil Tembakau
Candra Fajri Ananda/FOTO.DOK KORAN SINDO
A A A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia dihadapkan pada situasi dilematik dan kontroversi terhadap perannya dalam perekonomian nasional dan dampaknya dari sisi kesehatan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mengatur IHT sejatinya bukan perkara yang sederhana bagi pemerintah.
Meski demikian, berbagai pro dan kontra yang tak habis dibahas telah membawa IHT menjadi industri yanghighly regulated, di mana hingga kini setidaknya terdapat 200 peraturan tentang IHT di Indonesia.

Tak dapat dimungkiri bahwa di balik sisi negatifnya bagi kesehatan, IHT memiliki peran strategis di dalam perekonomian Indonesia, termasuk merupakan satu-satunya industri nasional yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. IHT memiliki peran signifikan dari penyediaaninputproduksi, pengolahan, hingga proses distribusinya yang semua dikerjakan di dalam negeri oleh pelaku-pelaku usaha nasional dengan melibatkan tenaga kerja, petani dan masyarakat luas yang tak sedikit jumlahnya. Kontribusi dalam penerimaan negara sebesar rata-rata 11,3% dari total penerimaan, di mana kontribusi terbesar berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT).

Bagi perekonomian daerah, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) berperan sangat besar, terutama bagi daerah-daerah penghasil. Begitu juga untuk daerah-daerah non-penghasil.

Perubahan kebijakan dalam mengelola pengembangan IHT menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Kebijakan harga (tarif cukai) ternyata mampu mengurangi jumlah perusahaan IHT Kretek di Indonesia. Pada 2008, jumlah terdaftar IHT sebesar 4.793 perusahaan, dan pada 2020 menjadi sekitar 700 perusahaan. Dari sisi jumlah perusahaan maka bisa dikatakan kebijakan tarif tersebut, telah berhasil, tetapi belum mampu menekan angka prevalensi secara signifikan dan bahkan mendorong munculnya rokok ilegal yang mengancam penerimaan negara di masa mendatang dan keberlangsungan perusahaan IHT yang selama ini taat untuk membayar cukai.

Data DJBC mencatat bahwa sejak 2010 perkembangan rokok ilegal terus mengalami peningkatan, yang mana peningkatan tertinggi terjadi pada 2016 (12,1%). Meski demikian, pada 2017-2018 peredaran rokok ilegal mulai menurun, salah satunya karena implementasi program Penertiban Cukai Berisiko Tinggi (PCBT) yang juga didorong dari anggaran pengawasan dan pengendalian rokok yang semakin didukung pemerintah.

Tantangan Implementasi KIHT
Salah satu upaya pemerintah mencegah peredaran rokok illegal adalah didirikannya Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 200/PMK.04/2008, sekaligus Peraturan Menteri Keuangan No.21/PMK.04/2020. Beleid itu sebagai upaya meningkatkan daya saing industri kecil dan menengah khususnya industri hasil tembakau di Indonesia.

Konsep KIHT diperuntukkan khusus bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan beberapa kemudahan di dalamnya. KIHT akan dibangun dalam satu kawasan, milik aset pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota seluas 3-4 hektare. Muara KIHT adalah untuk menjadi area produksi terpadu industri rokok lintingan berskala kecil, rumah tangga dan menengah.

Hal ini berdasarkan pengamatan bahwa selama ini banyak pengusaha rokok skala kecil masih sulit dalam mendapatkan legalitas izin. KIHT akan membantu memfasilitasi berbagai persyaratan, yang akhirnya diharapkan membuka kesempatan menghidupkan rokok ilegal menjadi legal.

Konsep KIHT dalam implementasinya memerlukan perencanaan dan persiapan pembangunan kawasan industri yang perlu dilakukan secara matang, artinyafeasibility studyataucost and benefit analysisharus dilakukan dengan akurat.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2290 seconds (0.1#10.140)