Antara Asa dan Realita Kawasan Industri Hasil Tembakau
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia dihadapkan pada situasi dilematik dan kontroversi terhadap perannya dalam perekonomian nasional dan dampaknya dari sisi kesehatan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mengatur IHT sejatinya bukan perkara yang sederhana bagi pemerintah.
Meski demikian, berbagai pro dan kontra yang tak habis dibahas telah membawa IHT menjadi industri yanghighly regulated, di mana hingga kini setidaknya terdapat 200 peraturan tentang IHT di Indonesia.
Tak dapat dimungkiri bahwa di balik sisi negatifnya bagi kesehatan, IHT memiliki peran strategis di dalam perekonomian Indonesia, termasuk merupakan satu-satunya industri nasional yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. IHT memiliki peran signifikan dari penyediaaninputproduksi, pengolahan, hingga proses distribusinya yang semua dikerjakan di dalam negeri oleh pelaku-pelaku usaha nasional dengan melibatkan tenaga kerja, petani dan masyarakat luas yang tak sedikit jumlahnya. Kontribusi dalam penerimaan negara sebesar rata-rata 11,3% dari total penerimaan, di mana kontribusi terbesar berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Bagi perekonomian daerah, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) berperan sangat besar, terutama bagi daerah-daerah penghasil. Begitu juga untuk daerah-daerah non-penghasil.
Perubahan kebijakan dalam mengelola pengembangan IHT menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Kebijakan harga (tarif cukai) ternyata mampu mengurangi jumlah perusahaan IHT Kretek di Indonesia. Pada 2008, jumlah terdaftar IHT sebesar 4.793 perusahaan, dan pada 2020 menjadi sekitar 700 perusahaan. Dari sisi jumlah perusahaan maka bisa dikatakan kebijakan tarif tersebut, telah berhasil, tetapi belum mampu menekan angka prevalensi secara signifikan dan bahkan mendorong munculnya rokok ilegal yang mengancam penerimaan negara di masa mendatang dan keberlangsungan perusahaan IHT yang selama ini taat untuk membayar cukai.
Data DJBC mencatat bahwa sejak 2010 perkembangan rokok ilegal terus mengalami peningkatan, yang mana peningkatan tertinggi terjadi pada 2016 (12,1%). Meski demikian, pada 2017-2018 peredaran rokok ilegal mulai menurun, salah satunya karena implementasi program Penertiban Cukai Berisiko Tinggi (PCBT) yang juga didorong dari anggaran pengawasan dan pengendalian rokok yang semakin didukung pemerintah.
Tantangan Implementasi KIHT
Salah satu upaya pemerintah mencegah peredaran rokok illegal adalah didirikannya Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 200/PMK.04/2008, sekaligus Peraturan Menteri Keuangan No.21/PMK.04/2020. Beleid itu sebagai upaya meningkatkan daya saing industri kecil dan menengah khususnya industri hasil tembakau di Indonesia.
Konsep KIHT diperuntukkan khusus bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan beberapa kemudahan di dalamnya. KIHT akan dibangun dalam satu kawasan, milik aset pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota seluas 3-4 hektare. Muara KIHT adalah untuk menjadi area produksi terpadu industri rokok lintingan berskala kecil, rumah tangga dan menengah.
Hal ini berdasarkan pengamatan bahwa selama ini banyak pengusaha rokok skala kecil masih sulit dalam mendapatkan legalitas izin. KIHT akan membantu memfasilitasi berbagai persyaratan, yang akhirnya diharapkan membuka kesempatan menghidupkan rokok ilegal menjadi legal.
Konsep KIHT dalam implementasinya memerlukan perencanaan dan persiapan pembangunan kawasan industri yang perlu dilakukan secara matang, artinyafeasibility studyataucost and benefit analysisharus dilakukan dengan akurat.
Kekuatan finansial dan jaringan dari pengelola kawasan industri menjadi tantangan terbesar dalam membangun kawasan industri, karena sumber pembiayaan awal KIHT berasal dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
Berdasarkan PMK No 206/PMK.07/2020 (PMK-206) tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBHCHT, prioritas penggunaan DBHCHT dilakukan dengan ketentuan 50% untuk bidang kesejahteraan masyarakat, yang meliputi program peningkatan kualitas bahan baku, dan program pembinaan lingkungan sosial. Lebih lanjut, 25% lainnya untuk bidang penegakan hukum yang meliputi program pembinaan industri yakni pembentukan pengelolaan dan pengembangan KIHT, program sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan program pemberantasan barang kena cukai ilegal. Selanjutnya sebesar 25% lainnya untuk bidang kesehatan melalui program pembinaan lingkungan sosial.
Selain itu, tantangan lain dari KIHT adalah berkaitan dengan pengaturan tata ruang kawasan industri alias harus sesuai dengan rencana induk. Besaran lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan KIHT dalam implementasinya di daerah bukanlah hal yang mudah.
Pemilihan, penetapan dan penggunaan lahan untuk Kawasan Industri harus sesuai dan mengacu kepada ketentuan yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selain itu, lokasi lahan yang akan diperuntukan bagi Kawasan industri juga harus mempertimbangkan ketersediaan jaringan transportasi (akses/jalan, pelabuhan, bandara), jaringan energi dan kelistrikan, jaringan sumber daya air dan jaminan pasokan air baku, jaringan telekomunikasi, dan sanitasi.
Menjaga Iklim Usaha IHT, Kunci Keberhasilan KIHT
Kendati tak mudah, pembangunan KIHT juga tak mustahil untuk diupayakan sebagai salah satu solusi menekan angka peredaran rokok ilegal di jangka panjang. Guna merealisasikan pembangunan KIHT dibutuhkaneffortyang tinggi sangat tinggi secara keuangan.
Oleh sebab itu, dalam upaya menopang IHT dengan ketersediaan dana yang terbatas, maka proses penyediaan lahan awal KIHT menggunakan aset Pemerintah dapat menjadi alternatif dalam pembangunan KIHT. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu meningkatkan koordinasi dengan Bea dan Cukai setempat dalam hal penyusunan insentif bagi para pelaku usaha yang terlibat dalam IHT agar KIHT memiliki daya tarik yang tinggi bagi IHT yang ilegal maupun produsen baru IHT.
Pada jangka pendek, pemerintah perlu tetap mempertimbangkan kembali kenaikan tarif cukai dan harga rokok agar tidak semakin mendorong terjadinya peningkatan peredaran rokok ilegal yang dapat mengurangi ketertarikan para pelaku usaha untuk masuk dalam wilayah KIHT yang disediakan. Selain itu, optimalisasi kegiatan pencegahan, pengawasan dan penindakan terhadap peredaran rokok ilegal yang juga sebagai bentuk dukungan terhadap proses pembangunan KIHT perlu terus diperlukan demi terciptanya daya tarik bagi produsen rokok ilegal untuk beralih pada kegiatan produksi rokok legal dalam KIHT. Semoga.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia dihadapkan pada situasi dilematik dan kontroversi terhadap perannya dalam perekonomian nasional dan dampaknya dari sisi kesehatan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mengatur IHT sejatinya bukan perkara yang sederhana bagi pemerintah.
Meski demikian, berbagai pro dan kontra yang tak habis dibahas telah membawa IHT menjadi industri yanghighly regulated, di mana hingga kini setidaknya terdapat 200 peraturan tentang IHT di Indonesia.
Tak dapat dimungkiri bahwa di balik sisi negatifnya bagi kesehatan, IHT memiliki peran strategis di dalam perekonomian Indonesia, termasuk merupakan satu-satunya industri nasional yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. IHT memiliki peran signifikan dari penyediaaninputproduksi, pengolahan, hingga proses distribusinya yang semua dikerjakan di dalam negeri oleh pelaku-pelaku usaha nasional dengan melibatkan tenaga kerja, petani dan masyarakat luas yang tak sedikit jumlahnya. Kontribusi dalam penerimaan negara sebesar rata-rata 11,3% dari total penerimaan, di mana kontribusi terbesar berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Bagi perekonomian daerah, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) berperan sangat besar, terutama bagi daerah-daerah penghasil. Begitu juga untuk daerah-daerah non-penghasil.
Perubahan kebijakan dalam mengelola pengembangan IHT menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Kebijakan harga (tarif cukai) ternyata mampu mengurangi jumlah perusahaan IHT Kretek di Indonesia. Pada 2008, jumlah terdaftar IHT sebesar 4.793 perusahaan, dan pada 2020 menjadi sekitar 700 perusahaan. Dari sisi jumlah perusahaan maka bisa dikatakan kebijakan tarif tersebut, telah berhasil, tetapi belum mampu menekan angka prevalensi secara signifikan dan bahkan mendorong munculnya rokok ilegal yang mengancam penerimaan negara di masa mendatang dan keberlangsungan perusahaan IHT yang selama ini taat untuk membayar cukai.
Data DJBC mencatat bahwa sejak 2010 perkembangan rokok ilegal terus mengalami peningkatan, yang mana peningkatan tertinggi terjadi pada 2016 (12,1%). Meski demikian, pada 2017-2018 peredaran rokok ilegal mulai menurun, salah satunya karena implementasi program Penertiban Cukai Berisiko Tinggi (PCBT) yang juga didorong dari anggaran pengawasan dan pengendalian rokok yang semakin didukung pemerintah.
Tantangan Implementasi KIHT
Salah satu upaya pemerintah mencegah peredaran rokok illegal adalah didirikannya Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 200/PMK.04/2008, sekaligus Peraturan Menteri Keuangan No.21/PMK.04/2020. Beleid itu sebagai upaya meningkatkan daya saing industri kecil dan menengah khususnya industri hasil tembakau di Indonesia.
Konsep KIHT diperuntukkan khusus bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan beberapa kemudahan di dalamnya. KIHT akan dibangun dalam satu kawasan, milik aset pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota seluas 3-4 hektare. Muara KIHT adalah untuk menjadi area produksi terpadu industri rokok lintingan berskala kecil, rumah tangga dan menengah.
Hal ini berdasarkan pengamatan bahwa selama ini banyak pengusaha rokok skala kecil masih sulit dalam mendapatkan legalitas izin. KIHT akan membantu memfasilitasi berbagai persyaratan, yang akhirnya diharapkan membuka kesempatan menghidupkan rokok ilegal menjadi legal.
Konsep KIHT dalam implementasinya memerlukan perencanaan dan persiapan pembangunan kawasan industri yang perlu dilakukan secara matang, artinyafeasibility studyataucost and benefit analysisharus dilakukan dengan akurat.
Kekuatan finansial dan jaringan dari pengelola kawasan industri menjadi tantangan terbesar dalam membangun kawasan industri, karena sumber pembiayaan awal KIHT berasal dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).
Berdasarkan PMK No 206/PMK.07/2020 (PMK-206) tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBHCHT, prioritas penggunaan DBHCHT dilakukan dengan ketentuan 50% untuk bidang kesejahteraan masyarakat, yang meliputi program peningkatan kualitas bahan baku, dan program pembinaan lingkungan sosial. Lebih lanjut, 25% lainnya untuk bidang penegakan hukum yang meliputi program pembinaan industri yakni pembentukan pengelolaan dan pengembangan KIHT, program sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan program pemberantasan barang kena cukai ilegal. Selanjutnya sebesar 25% lainnya untuk bidang kesehatan melalui program pembinaan lingkungan sosial.
Selain itu, tantangan lain dari KIHT adalah berkaitan dengan pengaturan tata ruang kawasan industri alias harus sesuai dengan rencana induk. Besaran lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan KIHT dalam implementasinya di daerah bukanlah hal yang mudah.
Pemilihan, penetapan dan penggunaan lahan untuk Kawasan Industri harus sesuai dan mengacu kepada ketentuan yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selain itu, lokasi lahan yang akan diperuntukan bagi Kawasan industri juga harus mempertimbangkan ketersediaan jaringan transportasi (akses/jalan, pelabuhan, bandara), jaringan energi dan kelistrikan, jaringan sumber daya air dan jaminan pasokan air baku, jaringan telekomunikasi, dan sanitasi.
Menjaga Iklim Usaha IHT, Kunci Keberhasilan KIHT
Kendati tak mudah, pembangunan KIHT juga tak mustahil untuk diupayakan sebagai salah satu solusi menekan angka peredaran rokok ilegal di jangka panjang. Guna merealisasikan pembangunan KIHT dibutuhkaneffortyang tinggi sangat tinggi secara keuangan.
Oleh sebab itu, dalam upaya menopang IHT dengan ketersediaan dana yang terbatas, maka proses penyediaan lahan awal KIHT menggunakan aset Pemerintah dapat menjadi alternatif dalam pembangunan KIHT. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu meningkatkan koordinasi dengan Bea dan Cukai setempat dalam hal penyusunan insentif bagi para pelaku usaha yang terlibat dalam IHT agar KIHT memiliki daya tarik yang tinggi bagi IHT yang ilegal maupun produsen baru IHT.
Pada jangka pendek, pemerintah perlu tetap mempertimbangkan kembali kenaikan tarif cukai dan harga rokok agar tidak semakin mendorong terjadinya peningkatan peredaran rokok ilegal yang dapat mengurangi ketertarikan para pelaku usaha untuk masuk dalam wilayah KIHT yang disediakan. Selain itu, optimalisasi kegiatan pencegahan, pengawasan dan penindakan terhadap peredaran rokok ilegal yang juga sebagai bentuk dukungan terhadap proses pembangunan KIHT perlu terus diperlukan demi terciptanya daya tarik bagi produsen rokok ilegal untuk beralih pada kegiatan produksi rokok legal dalam KIHT. Semoga.
(ynt)