Menyegarkan Kembali Tugas Profetik Perguruan Tinggi
loading...
A
A
A
Thobib Al Asyhar
Dosen Pascasarjana Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis Kemenag RI
DIMULAINYA kalender akademik pendidikan tinggi di Indonesia pada September ini menjadi momentum penting bagi kita untuk introspeksi diri tentang kiprah perguruan tinggi. Hal ini sangat diperlukan untuk menyegarkan semangat kita agar nilai-nilai kebajikan dan idealisme perguruan tinggi tetap terjaga dan terus tumbuh mengawal pembangunan bangsa.
Bapak Proklamator Kemerdekaan RI Muhammad Hatta (Bung Hatta) pernah menyampaikan pidato tentang “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelegensia”. Dalam pidato tersebut, Bung Hatta menyinggung soal tugas utama kaum cendekiawan, yaitu mempertahankan semangat pencarian kebenaran (search for truth) dan pengetahuan (search for knowledge) di tengah-tengah suasana politik yang semakin encer dan dangkal.
Kata kunci dari pesan Bung Hatta tersebut ada dua, yaitu: mempertahankan semangat pencarian kebenaran dan pencarian pengetahuan di tengah pragmatisme politik saat itu. Tentu, pesan Bung Hatta tersebut masih sangat relevan dengan situasi sosial-politik bangsa kita saat ini. Tidak sedikit kaum cendekiawan yang lahir dari kampus, setidaknya mereka yang bergelar akademik seperti profesor dan doktor, justru terjebak dalam permainan politik tidak etis, bahkan sekian banyak terjerat tindak pidana korupsi.
Beberapa pejabat yang sebelumnya berasal dari dunia kampus dan memiliki reputasi akademik mentereng justru terlibat tindakan koruptif, sebuah perilaku kotor yang menjadi musuh kaum cendekiawan itu sendiri. Bahkan yang paling mutakhir adalah perilaku seorang rektor sebuah perguruan tinggi negeri bergelar profesor-doktor menerima “risywah” atau sogokan uang dari orang tua calon mahasiswa yang ingin kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur mandiri.
Juga, ada kasus pejabat kampus terkait suap seleksi perangkat desa yang tengah bergulir di sidang pengadilan, dan masih banyak contoh lagi. Hal tersebut merupakan bentuk “moral hazard” sebagian cendekiawan yang perlu dikoreksi. Memang mereka adalah manusia, memiliki jiwa syahwah seperti profesi lainnya. Namun, sebagai pihak yang pernah mengenyam pendalaman ilmu setidaknya memiliki self control yang baik atas dasar wawasan keilmuan yang dimiliki.
Fenomena tersebut seharusnya menjadi renungan kita, apa masalah yang terjadi dari produk perguruan tinggi (PT) kita saat ini? Apakah kampus-kampus kita telah menciptakan produk-produk sumber daya manusia (SDM) yang hanya berpikir dan bertindak pragmatis sehingga rela mengorbankan tugas mulia sebagai intelegensia? Ataukah, sistem sosial kita yang tidak mendukung, seperti perilaku korupsi yang terlanjur menjalar secara permisif?
Misi Profetik Perguruan Tinggi
Untuk mengoptimalkan tugas mulia PT, tidak ada salahnya jika seluruh insan kampus merenungi ulang pesan Bung Hatta di atas. Pertama, menjaga spirit pencarian kebenaran (search for truth). Kaum intelektual yang dilahirkan dari rahim dan besar di dan dari kampus, apalagi berembel-embel PT keagamaaan, harus memastikan diri menjadi pionir yang mampu merawat tradisi dalam memperjuangkan kebenaran.
Tugas para ilmuwan bukan hanya mengkaji ilmu untuk ilmu, tetapi ilmu untuk kehidupan yang lebih baik. Tugas utama cendekiawan seharusnya adalah mencari kebenaran (search for truth). Namun, masalah akan muncul ketika idealisme keilmuan telah bercampur dengan kepentingan politik yang bertujuan mencari kekuasaan (search for power). Tugas utama para ilmuwan adalah menetralisasi kepentingan dan mengembalikan untuk menemukan sinar kebenaran.
Misi utama seorang ilmuwan tentu sangat berbeda dengan seorang politisi yang hanya mencari kekuasaan. Mereka bekerja dengan teorinya sendiri yang seringkali melampui nilai-nilai etika. Demikian juga tujuan utama seorang pengusaha adalah mencari keuntungan (search for money) yang juga sering dilakukan dengan berbagai cara. Jika peran ilmuwan bercampur dengan kepentingan politik dan bisnis, maka posisinya akan menjadi kabur (bias) yang dapat membahayakan bagi bangsa.
Dosen Pascasarjana Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis Kemenag RI
DIMULAINYA kalender akademik pendidikan tinggi di Indonesia pada September ini menjadi momentum penting bagi kita untuk introspeksi diri tentang kiprah perguruan tinggi. Hal ini sangat diperlukan untuk menyegarkan semangat kita agar nilai-nilai kebajikan dan idealisme perguruan tinggi tetap terjaga dan terus tumbuh mengawal pembangunan bangsa.
Bapak Proklamator Kemerdekaan RI Muhammad Hatta (Bung Hatta) pernah menyampaikan pidato tentang “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelegensia”. Dalam pidato tersebut, Bung Hatta menyinggung soal tugas utama kaum cendekiawan, yaitu mempertahankan semangat pencarian kebenaran (search for truth) dan pengetahuan (search for knowledge) di tengah-tengah suasana politik yang semakin encer dan dangkal.
Kata kunci dari pesan Bung Hatta tersebut ada dua, yaitu: mempertahankan semangat pencarian kebenaran dan pencarian pengetahuan di tengah pragmatisme politik saat itu. Tentu, pesan Bung Hatta tersebut masih sangat relevan dengan situasi sosial-politik bangsa kita saat ini. Tidak sedikit kaum cendekiawan yang lahir dari kampus, setidaknya mereka yang bergelar akademik seperti profesor dan doktor, justru terjebak dalam permainan politik tidak etis, bahkan sekian banyak terjerat tindak pidana korupsi.
Beberapa pejabat yang sebelumnya berasal dari dunia kampus dan memiliki reputasi akademik mentereng justru terlibat tindakan koruptif, sebuah perilaku kotor yang menjadi musuh kaum cendekiawan itu sendiri. Bahkan yang paling mutakhir adalah perilaku seorang rektor sebuah perguruan tinggi negeri bergelar profesor-doktor menerima “risywah” atau sogokan uang dari orang tua calon mahasiswa yang ingin kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur mandiri.
Juga, ada kasus pejabat kampus terkait suap seleksi perangkat desa yang tengah bergulir di sidang pengadilan, dan masih banyak contoh lagi. Hal tersebut merupakan bentuk “moral hazard” sebagian cendekiawan yang perlu dikoreksi. Memang mereka adalah manusia, memiliki jiwa syahwah seperti profesi lainnya. Namun, sebagai pihak yang pernah mengenyam pendalaman ilmu setidaknya memiliki self control yang baik atas dasar wawasan keilmuan yang dimiliki.
Fenomena tersebut seharusnya menjadi renungan kita, apa masalah yang terjadi dari produk perguruan tinggi (PT) kita saat ini? Apakah kampus-kampus kita telah menciptakan produk-produk sumber daya manusia (SDM) yang hanya berpikir dan bertindak pragmatis sehingga rela mengorbankan tugas mulia sebagai intelegensia? Ataukah, sistem sosial kita yang tidak mendukung, seperti perilaku korupsi yang terlanjur menjalar secara permisif?
Misi Profetik Perguruan Tinggi
Untuk mengoptimalkan tugas mulia PT, tidak ada salahnya jika seluruh insan kampus merenungi ulang pesan Bung Hatta di atas. Pertama, menjaga spirit pencarian kebenaran (search for truth). Kaum intelektual yang dilahirkan dari rahim dan besar di dan dari kampus, apalagi berembel-embel PT keagamaaan, harus memastikan diri menjadi pionir yang mampu merawat tradisi dalam memperjuangkan kebenaran.
Tugas para ilmuwan bukan hanya mengkaji ilmu untuk ilmu, tetapi ilmu untuk kehidupan yang lebih baik. Tugas utama cendekiawan seharusnya adalah mencari kebenaran (search for truth). Namun, masalah akan muncul ketika idealisme keilmuan telah bercampur dengan kepentingan politik yang bertujuan mencari kekuasaan (search for power). Tugas utama para ilmuwan adalah menetralisasi kepentingan dan mengembalikan untuk menemukan sinar kebenaran.
Misi utama seorang ilmuwan tentu sangat berbeda dengan seorang politisi yang hanya mencari kekuasaan. Mereka bekerja dengan teorinya sendiri yang seringkali melampui nilai-nilai etika. Demikian juga tujuan utama seorang pengusaha adalah mencari keuntungan (search for money) yang juga sering dilakukan dengan berbagai cara. Jika peran ilmuwan bercampur dengan kepentingan politik dan bisnis, maka posisinya akan menjadi kabur (bias) yang dapat membahayakan bagi bangsa.