Menyegarkan Kembali Tugas Profetik Perguruan Tinggi

Rabu, 14 September 2022 - 15:16 WIB
loading...
Menyegarkan Kembali Tugas Profetik Perguruan Tinggi
Thobib Al Asyhar (Foto: Ist)
A A A
Thobib Al Asyhar
Dosen Pascasarjana Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Diktis Kemenag RI

DIMULAINYA kalender akademik pendidikan tinggi di Indonesia pada September ini menjadi momentum penting bagi kita untuk introspeksi diri tentang kiprah perguruan tinggi. Hal ini sangat diperlukan untuk menyegarkan semangat kita agar nilai-nilai kebajikan dan idealisme perguruan tinggi tetap terjaga dan terus tumbuh mengawal pembangunan bangsa.

Bapak Proklamator Kemerdekaan RI Muhammad Hatta (Bung Hatta) pernah menyampaikan pidato tentang “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelegensia”. Dalam pidato tersebut, Bung Hatta menyinggung soal tugas utama kaum cendekiawan, yaitu mempertahankan semangat pencarian kebenaran (search for truth) dan pengetahuan (search for knowledge) di tengah-tengah suasana politik yang semakin encer dan dangkal.

Kata kunci dari pesan Bung Hatta tersebut ada dua, yaitu: mempertahankan semangat pencarian kebenaran dan pencarian pengetahuan di tengah pragmatisme politik saat itu. Tentu, pesan Bung Hatta tersebut masih sangat relevan dengan situasi sosial-politik bangsa kita saat ini. Tidak sedikit kaum cendekiawan yang lahir dari kampus, setidaknya mereka yang bergelar akademik seperti profesor dan doktor, justru terjebak dalam permainan politik tidak etis, bahkan sekian banyak terjerat tindak pidana korupsi.

Beberapa pejabat yang sebelumnya berasal dari dunia kampus dan memiliki reputasi akademik mentereng justru terlibat tindakan koruptif, sebuah perilaku kotor yang menjadi musuh kaum cendekiawan itu sendiri. Bahkan yang paling mutakhir adalah perilaku seorang rektor sebuah perguruan tinggi negeri bergelar profesor-doktor menerima “risywah” atau sogokan uang dari orang tua calon mahasiswa yang ingin kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur mandiri.

Juga, ada kasus pejabat kampus terkait suap seleksi perangkat desa yang tengah bergulir di sidang pengadilan, dan masih banyak contoh lagi. Hal tersebut merupakan bentuk “moral hazard” sebagian cendekiawan yang perlu dikoreksi. Memang mereka adalah manusia, memiliki jiwa syahwah seperti profesi lainnya. Namun, sebagai pihak yang pernah mengenyam pendalaman ilmu setidaknya memiliki self control yang baik atas dasar wawasan keilmuan yang dimiliki.

Fenomena tersebut seharusnya menjadi renungan kita, apa masalah yang terjadi dari produk perguruan tinggi (PT) kita saat ini? Apakah kampus-kampus kita telah menciptakan produk-produk sumber daya manusia (SDM) yang hanya berpikir dan bertindak pragmatis sehingga rela mengorbankan tugas mulia sebagai intelegensia? Ataukah, sistem sosial kita yang tidak mendukung, seperti perilaku korupsi yang terlanjur menjalar secara permisif?

Misi Profetik Perguruan Tinggi
Untuk mengoptimalkan tugas mulia PT, tidak ada salahnya jika seluruh insan kampus merenungi ulang pesan Bung Hatta di atas. Pertama, menjaga spirit pencarian kebenaran (search for truth). Kaum intelektual yang dilahirkan dari rahim dan besar di dan dari kampus, apalagi berembel-embel PT keagamaaan, harus memastikan diri menjadi pionir yang mampu merawat tradisi dalam memperjuangkan kebenaran.

Tugas para ilmuwan bukan hanya mengkaji ilmu untuk ilmu, tetapi ilmu untuk kehidupan yang lebih baik. Tugas utama cendekiawan seharusnya adalah mencari kebenaran (search for truth). Namun, masalah akan muncul ketika idealisme keilmuan telah bercampur dengan kepentingan politik yang bertujuan mencari kekuasaan (search for power). Tugas utama para ilmuwan adalah menetralisasi kepentingan dan mengembalikan untuk menemukan sinar kebenaran.

Misi utama seorang ilmuwan tentu sangat berbeda dengan seorang politisi yang hanya mencari kekuasaan. Mereka bekerja dengan teorinya sendiri yang seringkali melampui nilai-nilai etika. Demikian juga tujuan utama seorang pengusaha adalah mencari keuntungan (search for money) yang juga sering dilakukan dengan berbagai cara. Jika peran ilmuwan bercampur dengan kepentingan politik dan bisnis, maka posisinya akan menjadi kabur (bias) yang dapat membahayakan bagi bangsa.

Lalu, bagaimana dengan ilmuwan yang beralih profesi sebagai politisi, birokrat, maupun pebisnis? Peralihan profesi merupakan pilihan dan hak, hanya saja harus tetap menjadi teladan dengan manjaga nilai-nilai etik sesuai kapasitas keilmuan yang dimiliki. Bukankah ilmu tidak akan ada manfaatnya jika tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari?

Secara filosofis, tugas perguruan tinggi untuk menjaga kebenaran (truth) sangat beririsan dengan nilai-nilai kenabian (profetik), yaitu amanah (integritas) dan shidiq (jujur). Amanah dan jujur adalah watak dasar dari seorang ilmuwan, khususnya produk perguruan tinggi. Satu contoh penting “dosa besar” yang diajarkan bagi sivitas akademik adalah plagiarisme.

Dalam dunia akademik, plagiarisme merupakan perilaku tercela yang “diharamkan” karena sebentuk pencurian karya orang lain yang merusak integritas dan kejujuran. Tidak ada maaf bagi mereka yang melakukan plagiarisme. Demikian juga para insan kampus dan alumninya harus menunjukkan kepada publik bahwa kejujuran dan kebenaran harus senantiasa dipegang teguh dan menjadi bagian dari gaya hidupnya, dalam posisi apa pun.

Belajar dari ilmuan masa lalu, khususnya sarjana Muslim, sangat menjunjung tinggi fairness, integrity, dan honesty. Tidak pernah ditemukan plagiarisme dalam karya-karya ilmiah para filosof dan saintis Muslim.

Sanad keilmuan menjadi bukti ada kejujuran intelektual karena pengakuan secara musalsal (tersambung). Meskipun, misalnya, mereka mendapatkan ilmu dari filosof Yunani sekalipun, tetap saja mereka menyebut sumber keilmuan yang mereka kembangkan berasal dari Yunani dan mereka tidak pernah mengklaim sebagai karya atau temuan sendiri.

Kedua, mempertahankan pencarian pengetahuan (search for knowledge). Perguruan tinggi harus mencerminkan lembaga yang mendedikasikan untuk pengembangan keilmuan sehingga di dalamnya harus dibangun tradisi dan atmosfer untuk mencapai peradaban akademik.

Pengembangan keilmuan harus didasarkan pada nilai profetik fathanah atau cerdas, kritis, dan rasionalistik. Selain itu, hasil-hasil kajian harus dipublikasikan yang memiliki spirit tabligh atau publikasi ilmiah melalui jurnal-jurnal bereputasi.

Perguruan tinggi bukanlah seperti jenjang pendidikan level di bawahnya. Perguruan adalah kawah candradimuka kaum intelegensia (intelektual) yang memiliki budaya akademik yang agung. Memang perguruan tinggi sebagai tempat transfer of knowledge, tetapi juga sebagai media penggodokan SDM yang berkarakter dan unggul secara skill dalam kiprah kemasyarakatan.

Jika ditelisik dalam sejarah, di era dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan Islam berkembang pesat. Masa puncaknya ketika pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 H) dan Khalifah Al-Ma'mun Ar-Rasyid (813-833 H). Di era ini telah tumbuh dan berkembang pusat-pusat peradaban ilmu, seperti pusat riset Baitul-Hikmah (lembaga penerjemahan dan pusat penelitian) yang dimotori oleh para sarjana yang memiliki dedikasi tinggi dalam pengembangan disiplin ilmu.

Perguruan tinggi harus terus mengembangkan peradaban akademik yang dinamis. Seluruh insan kampus, baik dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, terlebih para pemimpin kampus harus menjadi motor penggerak budaya mutu secara akademik.

Untuk mencapai puncak peradaban akademik, perguruan tinggi tentu harus konsisten dalam melakukan budaya riset dengan agenda yang tajam dan terarah. Dalam merumuskan agenda riset sangat diperlukan kepemimpinan yang kuat dan melayani. Agenda riset harus di-setting berbasis pola yang partisipatif serta proses pengambilan keputusan dalam perumusan agenda berdasarkan kaidah ilmiah yang objektif.

Oleh karena itu, tugas profetik perguruan tinggi yang pernah diungkapkan Bung Hatta di atas harus terus ditumbuhkan oleh seluruh pimpinan puncak dan seluruh stakeholders perguruan tinggi agar mampu berperan lebih maksimal dalam pembangunan nasional. Perguruan tinggi adalah pilar pokok bagaimana peradaban maju dapat diraih. Wallahu a'lam.

Baca Juga: koran-sindo.com



(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1751 seconds (0.1#10.140)