Soekarno: Pancasila Versus RUU HIP
loading...
A
A
A
Pandu Dewa Natha
Founder Indonesia Berkibar
ATMOSFIR politik negeri ini sedang panas. Pangkal pokoknya dimulai dari manuver politik partai penguasa, dimotori PDIP bersama partai sekutunya, menginisiator "ideologi" sekuler dalam konsideran RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) .
Dari dasar negara yang totalitas berdasar ruh Illahiyah, pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mencoba didistorsikan ke sila keduniawian, Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Sebuah doktrin rasional dari faham marxisme-leninisme dan komunisme.
Kita semua tentu kaget, PDIP sebagai inisiator, yang seperti diberitakan, secara terang benderang berani membuka lembaran luka lama yang sensitif menyoal paham komunisme (PKI) untuk dihidupkan dan dilegalkan sesuai harapan pembentukan RUU tersebut. (Baca juga: Lepas Tangan soal RUU HIP, PDIP Geram Sikap Sejumlah Fraksi)
Kalau kita membuka lembaran sejarah, founding father Soekarno saja, pada awal merumuskan Pancasila, tidak memaksakan alam pikiran ideologisnya. Yang ada justru berkompromistis dengan perwakilan ormas Islam guna menemukan format sila keindonesiaan yang original. (Baca juga: Ramai-ramai Ditolak, Ini Isi RUU HIP yang Picu Kontroversi)
Soekarno menghormati suara tokoh keagamaan, seperti KH Wahid Hasyim (NU), Ki Bagus Hadikoesomo (Muhammadiyah), Abikusno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim, serta tokoh lain yang semuanya tergabung dalam tim sembilan saat merumuskan dasar negara, Pancasila.
Dalam dokumen resmi, yang kemudian menjadi naskah historis, Soekarno menyepakati Piagam Jakarta (Djakarta Charter) dimasukkan dalam preambule dasar negara yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya.
Walau akhirnya secara final pada 18 Agustus 1945, sila pertama Pancasila dipangkas seperti yang kita kenal saat ini, toh tetap disepakati sebagai sebuah keputusan politik final bagi semua elemen bangsa. Ormas Islam pun menerima dengan lapang dada.
Tonggak lahirnya Pancasila itulah yang menjadi starting point, negeri yang bernama Indonesia hadir ditengah-tengah negara lain yang berdaulat. Secara de facto dan de jure, legalitas Pancasila itulah yang dijadikan yuridis formal sebagai sebuah state hingga saat ini.
Soekarno, yang kemudian didaulat menjadi presiden pertama, paham benar dasar negara Pancasila tidak akan pernah lahir tanpa ruh dan sokongan umat Islam yang mayoritas. Warna Islam era pergerakan tentu dipahami Soekarno saat menentang imperalisme. Apalagi Soekarno saat awal terjun di politik merupakan kader muda Serikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto sebelum PNI dilahirkan.
Founder Indonesia Berkibar
ATMOSFIR politik negeri ini sedang panas. Pangkal pokoknya dimulai dari manuver politik partai penguasa, dimotori PDIP bersama partai sekutunya, menginisiator "ideologi" sekuler dalam konsideran RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) .
Dari dasar negara yang totalitas berdasar ruh Illahiyah, pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mencoba didistorsikan ke sila keduniawian, Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Sebuah doktrin rasional dari faham marxisme-leninisme dan komunisme.
Kita semua tentu kaget, PDIP sebagai inisiator, yang seperti diberitakan, secara terang benderang berani membuka lembaran luka lama yang sensitif menyoal paham komunisme (PKI) untuk dihidupkan dan dilegalkan sesuai harapan pembentukan RUU tersebut. (Baca juga: Lepas Tangan soal RUU HIP, PDIP Geram Sikap Sejumlah Fraksi)
Kalau kita membuka lembaran sejarah, founding father Soekarno saja, pada awal merumuskan Pancasila, tidak memaksakan alam pikiran ideologisnya. Yang ada justru berkompromistis dengan perwakilan ormas Islam guna menemukan format sila keindonesiaan yang original. (Baca juga: Ramai-ramai Ditolak, Ini Isi RUU HIP yang Picu Kontroversi)
Soekarno menghormati suara tokoh keagamaan, seperti KH Wahid Hasyim (NU), Ki Bagus Hadikoesomo (Muhammadiyah), Abikusno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim, serta tokoh lain yang semuanya tergabung dalam tim sembilan saat merumuskan dasar negara, Pancasila.
Dalam dokumen resmi, yang kemudian menjadi naskah historis, Soekarno menyepakati Piagam Jakarta (Djakarta Charter) dimasukkan dalam preambule dasar negara yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya.
Walau akhirnya secara final pada 18 Agustus 1945, sila pertama Pancasila dipangkas seperti yang kita kenal saat ini, toh tetap disepakati sebagai sebuah keputusan politik final bagi semua elemen bangsa. Ormas Islam pun menerima dengan lapang dada.
Tonggak lahirnya Pancasila itulah yang menjadi starting point, negeri yang bernama Indonesia hadir ditengah-tengah negara lain yang berdaulat. Secara de facto dan de jure, legalitas Pancasila itulah yang dijadikan yuridis formal sebagai sebuah state hingga saat ini.
Soekarno, yang kemudian didaulat menjadi presiden pertama, paham benar dasar negara Pancasila tidak akan pernah lahir tanpa ruh dan sokongan umat Islam yang mayoritas. Warna Islam era pergerakan tentu dipahami Soekarno saat menentang imperalisme. Apalagi Soekarno saat awal terjun di politik merupakan kader muda Serikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto sebelum PNI dilahirkan.