Menakar Efektifitas PP 99

Senin, 27 April 2020 - 07:15 WIB
loading...
A A A
PP 99 Tahun 2012 pada prinsipnya mengatur perbedaan perlakuan dalam pelayanan hak-hak (remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, dan pembebasan bersyarat) antara narapidana tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi dengan narapidana lainnya (kriminalumum). Alasan perbedaan perlakuan ini, seperti dicantumkan dalam‘dictum’pertimbangan-nya, adalah karena kejahatan tersebut merupakan kejahatan luar biasa yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat, korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. Sehingga perlu diperketat syarat dan tata cara pemenuhan hak-hak tersebut untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Walaupun digunakan terminologi “pengetatan”, ketentuan ini berpengaruh kepada terhambatnya dan tidak terpenuhinya hak narapidana sehingga mereka merasa dirugikan karena diperlakukan secara diskriminatif. Padahal hal ini bertentangan dengan asas persamaan perlakuan yang diatur dalam pasal 5 UU Pemasyarakatan. Disamping itu, jika diperhatikan dari ancangan filosofis PP ini, dapat disimpulkan bahwa pemerintah sudah mengambil ranah yudikatif karena kebijakan pengetatan atau pengurangan hak tersebut didasarkan atas perbuatan (delik) ketika narapidana terdampak melakukan tindak pidana yakni narkotika, teroris, korupsi dan lain-lain. Hal mana ini sebenarnya sudah dipertimbangkan oleh Hakim, yaitu tentang unsur-unsur yang memberatkan dan yang meringankan pada saat menjatuhkan hukuman. Termasuk apakah seseorang termasuk sebagai justice collaborator atau bukan.

Terang bahwa kebijakan ini bertentangan dengan sendirinya dengan hakekat tugas eksekutif yang bertanggung jawab dalam pelayanan terhadap hak-hak warganegara (dalam hal ini narapidana). Apabila ada keinginan dari bangsa ini untuk menyatakan bahwa kasus-kasus yang diatur dalam PP99 ini dianggap sebagai“serious crimes”serta membahayakan, maka pemberatan hukumannya tidak bisa diatur dalam ranah hukum administrasi Negara (hukum Pemasyarakatan) akan tetapi dalam ranah hukum pidana.

Inilah mengapa di dalampoin 43 Implementation The Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners, yang disusun oleh PBB dan dikemukakan dalam konferensi di Genewa Swiss pada tahun 1968 dinyatakan bahwa tidak seorangpun akan dipidana dua kali untuk pelanggaran yang sama. Pengasingan (pemenjaraan) dari pelanggar itu tidak boleh mencakup pembuangan atau diskriminasi, serta tidak boleh dicabut hak-hak asasinya sebagai manusia. Para pelanggar tidak akan belajar menghargai hak-hak orang lain, bila hak-hak mereka sendiri tidak diakui atau justru dilanggar.

PP 99 seolah-olah memberikan wewenang kepada eksekutif untuk melakukan penghukuman kembali kepada narapidana korupsi, teroris, atau narkotika. Hans Kelsen (1971) menyatakan bahwa bukan berarti eksekutif tidak bisa menjatuhkan hukuman, akan tetapi wewenang penjatuhan hukuman tersebut ditujukan kepada warganegara yang melanggar peraturan internalnya yaitu hukum administrasi Negara. Dalam konteks Pemasyarakatan berarti melanggar peraturan yang berlaku di dalam Lapas.

Terakhir, tulisan ini mengajak agar pemerintah dapat mendiskusikan kembali persoalan peraturan pemenuhan hak warga binaan ini secara proporsional. Tempatkan kewenangan secara tepat dan sesuai dengan cara berfikir di dalam ketatanegaraan. Tidaklupa pula mengingat kembali, bahwa Pemasyarakatan tidak dirancang untuk menyiksa, membalas, atau menjerakan dengan penderitaan, sebagaimana disepakati di dalam konferensi Lembang 56 tahun yang lalu itu.
(ysw)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1415 seconds (0.1#10.140)