Menakar Efektifitas PP 99

Senin, 27 April 2020 - 07:15 WIB
loading...
Menakar Efektifitas PP 99
Foto/SINDOnews
A A A
Dindin Sudirman
Alumnus Pascasarjana Kriminologi UI, Dosen Politeknik Ilmu Pemasyarakatan

Hari ini, 27 April 2020, genap 56 tahun usia Pemasyarakatan Indonesia. Reintegrasisosial ditetapkan sebagai tujuan pemasyarakatan, yang kemudian ditegaskan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. Di usia 56 tahun ini, berbagai kelemahan masih dihadapi oleh Pemasyarakatan. Publik pun belum memahami dengan baik apa yang dilakukan dan apa pula tujuan dari Pemasyarakatan. Hal terbesar yang masih mengganjal adalah kuatnya sentimen menghukum dan kuatnya keinginan membuat derita.

Tahun 1999, melalui PP Nomor 32, telah diatur ketentuan tentang pemenuhan hak warga binaan yang menerjemahkan lebih jauh ketentuan dalam UU Pemasyarakatan. Namun di tahun 2012, PP ini diubah untuk kedua kalinya menjadi PP Nomor 99. Perdebatan tentang PP 99 ini terakhir kali muncul saat dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 tahun 2020 yang mempercepat pengeluaran narapidana melalui asimilasi dan pembebasan bersyarat untuk mencegah penyebaran virus corona. PP 99 menurut para praktisi dianggap sebagai latar terjadinya turbulensi berupa kerusuhan beruntun sejak PP tersebut diberlakukan. Sebenarnya apa yang menjadi persoalan di dalam PP 99 ini?

Pemasyarakatan Sebagai Pelaksana Pidana

Sistem Pemasyarakatan dipengaruhi oleh aliran hukum Neo Klasik, seperti yang dinyatakan di dalam pertimbangan sosiologis dan filosofis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan balas dendam dan penjeraan, dipandang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Pemasyarakatan bertujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk mengulangi kejahatan dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab.

Undang Undang Pemasyarakatan pada dasarnya hukum pelaksanaan pidana (Hukum Penitensier), yang merupakan sebahagian dari hokum positif, yaitu bagian yang menentukan jenis sanksi atas pelanggaran, beratnya sanksi, lamanya sanksi itu dirasakan oleh si pelanggar dan cara serta tempat sanksi itu dilaksanakan. Pelaksanaan hokum penitensier tidak terlepas dari hokum pidana. Hubungan keduanya adalah bahwa segala pidana (straf) ataupun tindakan (matregel) yang diberikan oleh KUHP bagi si pelanggarnya itu diatur bagaimana pelaksanaannya oleh hukum penitensier.

Oleh karenanya, hokum penitensier mulai bekerja di saat hukum pidana berhenti bekerja, dan hakim telah menjatuhkan putusan pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatannya (Marlina, 2011). Dalam kaitan ini Gayus Lumbuun (Hakim Agung RI), dalam Seminar Nasional tentang Pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat terhadap Tindak Pidana Khusus di UKI Jakarta tanggal 12 Maret 2015, menyatakan bahwa proses penegakan hokum terdiri dari dua variable yaitu penghukuman (punishment) dan pembinaan (treatment). Sehingga walaupun Pemasyarakatan merupakan hokum pelaksanaan pidana tapi dalam pengelompokan ilmu hukum tidak lagi dimasukan ke dalam ranah hukum pidana, akan tetapi sudah bergeser masuk ke dalam ranah hukum Administrasi Negara.

Ketika putusan hakim dilakukan oleh Jaksa (eksekusi), maka berakhirlah proses acara pidana. Sampai disitulah wilayah acara pidana, dan selanjutnya pembinaan narapidana berada di dalam wilayah eksekutif, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM. Eksekusi oleh Jaksa merupakan serah terima terpidana dari kekuasaan yudikatif kepada eksekutif. Dipandang dari sudut proses penegakan hukum, maka hukum pidana bekerja pada saat pra ajudikasi dan saat ajudikasi. Sedangkan hukum pelaksanaan pidana atau hukum penitensier (Pemasyarakatan) bekerja pada saat post ajudikasi.

Untuk itulah dalam pasal 14 UU Pemasyarakatan diatur hak-hak narapidana secara limitatif, misalnya mendapat remisi, pembebasan bersyarat, Cuti Mengunjungi Keluarga dan lain sebagainya. Sebelumnya, di dalam pasal 5 dinyatakan bahwa system pembinaan oleh Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan hak dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan adalah satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Sesat Pikir

PP 99 Tahun 2012 pada prinsipnya mengatur perbedaan perlakuan dalam pelayanan hak-hak (remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, dan pembebasan bersyarat) antara narapidana tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi dengan narapidana lainnya (kriminalumum). Alasan perbedaan perlakuan ini, seperti dicantumkan dalam‘dictum’pertimbangan-nya, adalah karena kejahatan tersebut merupakan kejahatan luar biasa yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat, korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat. Sehingga perlu diperketat syarat dan tata cara pemenuhan hak-hak tersebut untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Walaupun digunakan terminologi “pengetatan”, ketentuan ini berpengaruh kepada terhambatnya dan tidak terpenuhinya hak narapidana sehingga mereka merasa dirugikan karena diperlakukan secara diskriminatif. Padahal hal ini bertentangan dengan asas persamaan perlakuan yang diatur dalam pasal 5 UU Pemasyarakatan. Disamping itu, jika diperhatikan dari ancangan filosofis PP ini, dapat disimpulkan bahwa pemerintah sudah mengambil ranah yudikatif karena kebijakan pengetatan atau pengurangan hak tersebut didasarkan atas perbuatan (delik) ketika narapidana terdampak melakukan tindak pidana yakni narkotika, teroris, korupsi dan lain-lain. Hal mana ini sebenarnya sudah dipertimbangkan oleh Hakim, yaitu tentang unsur-unsur yang memberatkan dan yang meringankan pada saat menjatuhkan hukuman. Termasuk apakah seseorang termasuk sebagai justice collaborator atau bukan.

Terang bahwa kebijakan ini bertentangan dengan sendirinya dengan hakekat tugas eksekutif yang bertanggung jawab dalam pelayanan terhadap hak-hak warganegara (dalam hal ini narapidana). Apabila ada keinginan dari bangsa ini untuk menyatakan bahwa kasus-kasus yang diatur dalam PP99 ini dianggap sebagai“serious crimes”serta membahayakan, maka pemberatan hukumannya tidak bisa diatur dalam ranah hukum administrasi Negara (hukum Pemasyarakatan) akan tetapi dalam ranah hukum pidana.

Inilah mengapa di dalampoin 43 Implementation The Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners, yang disusun oleh PBB dan dikemukakan dalam konferensi di Genewa Swiss pada tahun 1968 dinyatakan bahwa tidak seorangpun akan dipidana dua kali untuk pelanggaran yang sama. Pengasingan (pemenjaraan) dari pelanggar itu tidak boleh mencakup pembuangan atau diskriminasi, serta tidak boleh dicabut hak-hak asasinya sebagai manusia. Para pelanggar tidak akan belajar menghargai hak-hak orang lain, bila hak-hak mereka sendiri tidak diakui atau justru dilanggar.

PP 99 seolah-olah memberikan wewenang kepada eksekutif untuk melakukan penghukuman kembali kepada narapidana korupsi, teroris, atau narkotika. Hans Kelsen (1971) menyatakan bahwa bukan berarti eksekutif tidak bisa menjatuhkan hukuman, akan tetapi wewenang penjatuhan hukuman tersebut ditujukan kepada warganegara yang melanggar peraturan internalnya yaitu hukum administrasi Negara. Dalam konteks Pemasyarakatan berarti melanggar peraturan yang berlaku di dalam Lapas.

Terakhir, tulisan ini mengajak agar pemerintah dapat mendiskusikan kembali persoalan peraturan pemenuhan hak warga binaan ini secara proporsional. Tempatkan kewenangan secara tepat dan sesuai dengan cara berfikir di dalam ketatanegaraan. Tidaklupa pula mengingat kembali, bahwa Pemasyarakatan tidak dirancang untuk menyiksa, membalas, atau menjerakan dengan penderitaan, sebagaimana disepakati di dalam konferensi Lembang 56 tahun yang lalu itu.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2525 seconds (0.1#10.140)