Kesejahteraan Pascapensiun
loading...
A
A
A
Pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2015 mengamanatkan iuran JHT dilakukan evaluasi secara berkala paling lama tiga tahun. Komposisi iuran JHT saat ini, yaitu 3,7% dari pemberi kerja dan 2% dari pekerja, sudah berlangsung sejak tahun 1993 hingga saat ini, dan oleh karenanya sudah tepat bila iuran JHT dinaikkan agar tabungan pekerja lebih baik lagi.
Bagi pekerja yang ingin membayar lebih iuran JHT secara sukarela, misalnya dengan mengikutkan tunjangan tidak tetap atau menentukan nominal tertentu yang disepakati, akan menambah tabungan pekerja di masa depan. Bisa juga tambahan iuran JHT dari Pengusaha, yang memang disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama atau ditetapkan dalam Peraturan Perusahaan.
Program JHT harus juga mendukung masa tua pekerja bukan penerima upah (BPU), Pekerja Migran Indonesia (PMI), dan pekerja jasa konstruksi (Jakon). Oleh karenanya agenda mewajibkan JHT untuk ketiga jenis pekerja ini sangat penting segera dilakukan.
Mewajibkan PMI di program JHT dapat dituangkan dalam revisi Permenaker No 18 Tahun 2018 yang saat ini sedang berlangsung. Bisa dilakukan secara bertahap, misalnya diwajibkan bagi PMI dengan skemaG to G, dan bagi PMI yang bekerja di negara-negara dengan akses perbankan yang mudah bagi PMI seperti Taiwan dan Hong Kong.
Sementara mewajibkan JHT bagi pekerja BPU dan Jakon dapat dilakukan dengan merevisi PP No 46 Tahun 2015. Mewajibkan pekerja BPU dapat dilakukan secara bertahap, seperti dimulai oleh pekerja ojek online, dengan melibatkan pihak penyedia jasa layanan seperti pada program JKK dan JKm yang diamanatkan Pasal 34 Permenaker No 5 Tahun 2021.
Perbaikan pada program Jaminan Pensiun pun harus dilakukan. Iuran 3% harus segera dinaikkan dengan mengacu pada amanat Pasal 28 ayat (4) dan ayat (5) PP No 45 Tahun 2015, yang penyesuaian besaran kenaikan iurannya secara bertahap menuju 8%.
Untuk memastikan pekerja yang memasuki masa pensiun langsung mendapatkan manfaat pensiun maka Pasal 15 PP No 45 Tahun 2015 harus direvisi dengan menetapkan secara langsung usia mendapatkan manfaat pensiun yaitu 56 tahun, seperti usia pengambilan JHT.
Demikian juga dengan akses jaminan Pensiun, seharusnya Pasal 8 ayat (2) Peraturan Presiden No. 109 tahun 2013 diimplementasikan dengan membuka ruang bagipekerja BPU, PMI dan Jakonmendaftar sebagai peserta Jaminan Pensiun. Hingga saat ini jaminan pensiun hanya bisa diakses oleh pekerja penerima upah, belum bisa diikuti oleh pekerja BPU, PMI dan Jakon.
Dengan semakin banyak pekerja yang memiliki tabungan JHT dan Jaminan Pensiun, maka kualitas masyarakat lansia akan semakin baik. Dari tabungannya mereka pun tetap mampu membayar iuran jaminan sosial lainnya sehingga tetap terlindungi. Tidak membebani anak-anaknya di masa lansia memastikan anak-anak mereka tidak terjebak sebagai GenerasiSandwich.
Perbaikan kualitas program JHT dan jaminan pensiun merupakan awal perbaikan hidup lansia Indonesia ke depan. Jaminan sosial sepanjang hayat semakin terimplementasi bagi rakyat Indonesia.
Bagi pekerja yang ingin membayar lebih iuran JHT secara sukarela, misalnya dengan mengikutkan tunjangan tidak tetap atau menentukan nominal tertentu yang disepakati, akan menambah tabungan pekerja di masa depan. Bisa juga tambahan iuran JHT dari Pengusaha, yang memang disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama atau ditetapkan dalam Peraturan Perusahaan.
Program JHT harus juga mendukung masa tua pekerja bukan penerima upah (BPU), Pekerja Migran Indonesia (PMI), dan pekerja jasa konstruksi (Jakon). Oleh karenanya agenda mewajibkan JHT untuk ketiga jenis pekerja ini sangat penting segera dilakukan.
Mewajibkan PMI di program JHT dapat dituangkan dalam revisi Permenaker No 18 Tahun 2018 yang saat ini sedang berlangsung. Bisa dilakukan secara bertahap, misalnya diwajibkan bagi PMI dengan skemaG to G, dan bagi PMI yang bekerja di negara-negara dengan akses perbankan yang mudah bagi PMI seperti Taiwan dan Hong Kong.
Sementara mewajibkan JHT bagi pekerja BPU dan Jakon dapat dilakukan dengan merevisi PP No 46 Tahun 2015. Mewajibkan pekerja BPU dapat dilakukan secara bertahap, seperti dimulai oleh pekerja ojek online, dengan melibatkan pihak penyedia jasa layanan seperti pada program JKK dan JKm yang diamanatkan Pasal 34 Permenaker No 5 Tahun 2021.
Perbaikan pada program Jaminan Pensiun pun harus dilakukan. Iuran 3% harus segera dinaikkan dengan mengacu pada amanat Pasal 28 ayat (4) dan ayat (5) PP No 45 Tahun 2015, yang penyesuaian besaran kenaikan iurannya secara bertahap menuju 8%.
Untuk memastikan pekerja yang memasuki masa pensiun langsung mendapatkan manfaat pensiun maka Pasal 15 PP No 45 Tahun 2015 harus direvisi dengan menetapkan secara langsung usia mendapatkan manfaat pensiun yaitu 56 tahun, seperti usia pengambilan JHT.
Demikian juga dengan akses jaminan Pensiun, seharusnya Pasal 8 ayat (2) Peraturan Presiden No. 109 tahun 2013 diimplementasikan dengan membuka ruang bagipekerja BPU, PMI dan Jakonmendaftar sebagai peserta Jaminan Pensiun. Hingga saat ini jaminan pensiun hanya bisa diakses oleh pekerja penerima upah, belum bisa diikuti oleh pekerja BPU, PMI dan Jakon.
Dengan semakin banyak pekerja yang memiliki tabungan JHT dan Jaminan Pensiun, maka kualitas masyarakat lansia akan semakin baik. Dari tabungannya mereka pun tetap mampu membayar iuran jaminan sosial lainnya sehingga tetap terlindungi. Tidak membebani anak-anaknya di masa lansia memastikan anak-anak mereka tidak terjebak sebagai GenerasiSandwich.
Perbaikan kualitas program JHT dan jaminan pensiun merupakan awal perbaikan hidup lansia Indonesia ke depan. Jaminan sosial sepanjang hayat semakin terimplementasi bagi rakyat Indonesia.