Munarman di Sidang MK: UU Corona Hancurkan Sistem Ketatanegaraan

Kamis, 25 Juni 2020 - 20:13 WIB
loading...
Munarman di Sidang MK:...
Foto/ilustrasi.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Dalam uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 , Sekretaris Umum Front Pembela Islam (Sekum FPI) Munarman mengatakan bahwa UU berlawanan dengan sistem ketatanegaraan di Indonesia. “Di dalam Perppu 1/2020 yang sudah sah menjadi UU 2/2020, ini menabrak seluruh sistem ketatanegaraan kita,” kata Munarman di sidang perdana di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) , Kamis (25/6/2020).

Menurut Munarman, pemerintahan di Indonesia telah disusun dan disepakati berdasarkan negara hukum. Dalam konstitusi sudah jelas pembagian lembaga-lembaga tinggi negara serta fungsi dan kewenangannya. Namun pembagian tersebut dilanggar UU 2/2020. Pertama, fungsi legislasi, budgeting atau anggaran DPR juga diabaikan dengan berlakunya UU tersebut.

Merujuk Pasal 2 ayat (1) dalam lampiran UU 2/2020, Munarman menilai berlakunya UU tersebut telah memberikan kebebasan batas defisit di atas 3 persen. Bahkan, penetapan itu diberikan hingga tiga tahun mendatang yakni 2023.

“Kami melihat fungsi budgeting DPR tidak bisa terlaksana. Karena tidak ada gunanya kalau sudah ditetapkan dari sekarang, maka tiga tahun bebas di atas tiga persen. Sehingga menabrak fungsi budgeting DPR yang mestinya setiap tahun menyusun anggaran itu bersama pemerintah,” kritik dia.

(Baca: Pengesahan Inkonstitusional, Munarman FPI Minta UU 2/2020 Dibatalkan)

Berikutnya yang digugat adalah Pasal 27. Ia bersama sepuluh principal lainnya meminta ketentuan itu dibatalkan. Menurutnya, pasal tersebut juga melanggar sistem ketatanegaraan di Indonesia seperti fungsi pemeriksaan keuangan oleh BPK dan fungsi yudikatif.

Pasal 27 Ayat (1) disebutkan bahwa biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Ketentuan itu, menurut Munarman, membuat tidak adanya lagi fungsi pemeriksaan dan fungsi pembuktian di pengadilan. Sebab, pasal itu sudah memutuskan tidak ada kerugian negara.

“Artinya, undang-undang ini menghapus unsur kerugian negara, yang itu menjadi norma tindak pidana korupsi. Artinya, UU ini mengesahkan korupsi boleh diberlakukan sebebas-bebasnya di negara ini,” tandas dia.

(Baca: Saksi Ahli: Kuorum Paripurna Pengesahan RUU Harus Berdasarkan Kehadiran Fisik)

Selain itu, Pasal 27 Ayat (2) menyatakan anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Apa gunanya kita negara hukum, apa gunanya kita ada lembaga yudikatif kalau tidak bisa diuji semua tindakan pejabat publik ke dalam proses yudikatif, dalam proses hukum, pada due process of law,” ketusnya.

Kemudian pada Pasal 27 Ayat (3) disebutkan, segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara (PTUN).

“Kalau demikian, kita bubarkan saja PTUN kita. Kita bubarkan saja Kamar Tata Usaha Negara di Mahkamah Agung. Karena ini semua hancur sistem ketatanegaraan kita dengan diberlakukannya Perppu 1/2020 yang disahkan menjadi UU 2/2020,” tukasnya.

(Baca: Hari Ini MK Kembali Gelar Sidang Perdana Uji Materi UU 2/2020)

Selain Munarman dan kawan-kawan (dkk), dalam persidangan itu juga dihadiri dua pemohon lainnya yaitu Iwan Sumule dkk dan Sururudin. Ketiganya menyusul dua pemohon lainnya yang sudah mengikuti sidang perdana pada Kamis (18/6) lalu. Keduanya adalah Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dkk dan Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dkk.

Mereka bersama-sama menggugat pengesahan UU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu 1/2020). Aturan itu mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1753 seconds (0.1#10.140)