Strategi Akselerasi dan Keharusan Protokol Kesehatan

Kamis, 30 Juni 2022 - 10:56 WIB
loading...
Strategi Akselerasi dan Keharusan Protokol Kesehatan
Iqbal Mochtar (Foto: Ist)
A A A
Iqbal Mochtar
Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Pengurus PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)

TELAH lebih dua tahun pandemi Covid-19 mendera manusia. Meski demikian, kondisi global masih beragam. Belum ada kestabilan konstan. Di satu sisi, sebagian negara mencatat perbaikan epidemiologis. Di Amerika, Eropa dan Timur Tengah, laju kasus dan kematian Covid-19 telah menurun signifikan saat ini. Makanya negara-negara ini berani melakukan relaksasi maksimal, di antaranya penggunaan masker dan konfirmasi status vaksinasi tidak dibutuhkan lagi. Arab Saudi lebih ekstrem lagi: mereka mencabut semua protokol kesehatannya, termasuk bagi pendatang yang akan melakukan umrah.

Di sisi lain, sejumlah negara masih berjibaku dengan outcomes yang belum memuaskan. Taiwan baru-baru ini mengalami lonjakan kasus dan kematian; padahal sebelumnya negara ini sukses mengontrol profil epidemiologisnya. Hal sama terjadi pada Hong Kong, Portugal, dan China. Belum adanya perbaikan konstan profil epidemiologis menyebabkan sebagian negara bersikap dubius: tidak berani secara tegas menentukan arah kegiatannya. Sebagian bersikap defensif dengan terus melakukan restriksi ketat, sebagian memilih ofensif: mengaktifkan maksimal kegiatan-kegiatan tanpa fokus lagi pada profil epidemiologis. Sebagian lagi mengambil jalan tarik-ulur, melakukan restriksi bila profil epidemiologis memburuk dan relaksasi bila kondisi sebaliknya terjadi.

Indikasi Positif
Meski profil epidemiologis masih berfluktuasi, ada indikasi kuat bahwa pendulum epidemiologis bergerak ke arah positif atau mengalami perbaikan signifikan. Iklim positif atau negatif secara sederhana bisa dilihat dari keseimbangan dinamis tiga indikator krusial epidemiologis, yaitu kematian, kasus, dan vaksinasi.

Kematian merupakan final stage perjalanan penyakit. Ia menjadi indikator kefatalan penyakit dan sukses-tidaknya penatalaksanaan. Saking krusialnya, banyak yang bisa menerima pertambahan kasus, tetapi tidak menerima pertambahan kematian. Sepanjang pandemi, magnitudo kematian bisa diukur dengan dua indikator, yaitu laju kematian atau death rate (DR) dan tingkat kefatalan atau case fatality rate (CFR). DR merujuk kepada tingkat kematian dibanding penduduk keseluruhan, sedangkan CFR adalah tingkat kematian pada kasus positif. Saat ini, DR global adalah 0,19 per 1 juta penduduk. Sepanjang November 2020 hingga Maret 2022, DR selalu di atas 1 per 1 juta penduduk, bahkan sempat mencapai 1,8 per 1 juta penduduk. Artinya, DR mengalami penurunan signifikan. CFR global saat ini berkisar 0,28%, jauh lebih rendah dibanding CFR puncak yang berkisar 8,7%. Membaiknya DR dan CFR menjadi sinyal positif perbaikan pandemi global. Di Indonesia, CFR saat ini adalah 0,74%, terendah dalam perjalanan Covid-19. DR-nya 0,02 per 1 juta penduduk, profil terendah yang nilainya juga lebih baik dari profil dunia.

Selain kematian, profil kasus juga merupakan indikator penting. Profil ini mengindikasikan penyebaran penyakit: semakin tinggi nilainya, semakin kuat penyebaran kasus. Tiga indikator penting terkait kasus, yaitu tingkat kasus dibanding penduduk atau case rate (CR), kasus positif dari orang yang dites atau positive rate (PR) dan tingkat transmisi penyakit atau reproduction rate (RR). Nilai CR global saat ini adalah 80,6 per 1 juta penduduk. Ini relatif sama dengan profil sebelum puncak Omicron, yang berkisar kurang dari 100 per 1 juta penduduk. RR saat ini 1,12, jauh lebih rendah dibanding saat awal yang berkisar 2,09 atau saat puncak Omicron yang berkisar 1,51.

Di Indonesia, CR adalah 5,82 per 1 juta penduduk, sangat jauh di bawah profil dunia. PR-nya 8,37%, masih cukup tinggi dibandingkan standar WHO sebesar 5%. Padahal, sebelumnya PR Indonesia sempat di bawah 1%. RR Indonesia 1,62, masih lebih tinggi dibanding target 1,0 dan lebih tinggi dari profil dunia.

Indikator lain yang tidak kalah penting adalah status vaksinasi. WHO menegaskan bahwa fase akut pandemi bisa terlewati bila 70% penduduk telah memperoleh vaksin lengkap. Pada tingkat global, proporsi penduduk yang telah tervaksinasi penuh adalah 60,7%. Di Indonesia cakupannya juga berkisar demikian. Meski belum memenuhi target WHO, cakupan ini sudah lumayan. Bila dilakukan penggenjotan, standar 70% dapat tercapai dalam beberapa bulan mendatang. Selain itu, meski cakupan belum mencapai 70%, survei tim Universitas Indonesia melaporkan bahwa 86,6% penduduk Indonesia telah memiliki antibodi; memiliki kekebalan. Antibodi ini dihasilkan oleh vaksin dan juga efek setelah terinfeksi.

Interpretasi sederhana data-data di atas: kasus masih terus berfluktuasi tetapi trennya sudah sangat menurun dibanding sebelumnya. Meski kasus masih berfluktuasi, tingkat kematian yang ditimbulkannya sudah sangat menurun. Kefatalannya sangat berkurang. Artinya, dibanding awal-awal pandemi, Covid-19 kini menjadi a less deadlly disease. Selain itu, jumlah kasus dan kematian akan semakin terkontrol karena efek proteksi yang dihasilkan vaksinasi serta antibodi pascainfeksi. Kasarnya, pendulum profil epidemiologis saat ini bergerak ke arah positif.

Tren positif di atas tercapai akibat makin adekuatnya penanganan pandemi. Saat awal pandemi, semua pihak kebingungan karena diterpa penyakit baru yang belum dikenal sebelumnya. Semuanya masih serba gelap. Kondisi saat ini sudah sangat beda. Kini, penyakit ini telah lebih bisa ditatalaksanai. Tes sudah tersedia di mana-mana dengan tingkat keakuratan tinggi dan harga terjangkau. Tenaga medis telah memiliki resources yang lebih memadai dan makin terlatih menangani penyakit ini. Penelitian terkait sudah sangat marak. Vaksinasi juga menyebar luas. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat jauh meningkat dibanding saat awal. Artinya, kita telah berada di atmosfer positif dan kondusif.

Akselerasi Terkontrol
Perjalanan pandemi mengajarkan prinsip krusial: setiap penatalaksanaan mesti menyeimbangkan aspek kesehatan dan aspek lain, terutama ekonomi. Harus ada keseimbangan dinamis antarsektor. Prioritas berlebihan sektor kesehatan, termasuk melakukan restriksi berlebihan, jelas mendestruksi sektor ekonomi. Malaysia, Selandia Baru, dan Vietnam adalah contoh negara yang sempat melakukan restriksi sangat ketat, termasuk berkali-kali lockdown. Akibatnya, aspek ekonomi negara-negara ini sempat terpuruk. Faktanya, hingga saat ini profil epidemiologis negara-negara ini masih berfluktuasi. Belum ada eliminasi konstan. Artinya, tidak ada jaminan bahwa restriksi maksimal bisa mengontrol pandemi.

Sebagian ahli sepakat bahwa metode penanggulangan terbaik saat ini adalah tarik-ulur. Restriksi diperketat bila profil epidemiologi memburuk dan diperlunak bila profil membaik. Penatalaksanaan ini menyeimbangkan iklim ekonomi dengan kesehatan.

Di Indonesia pasca-Omicron tampak pemerintah mulai mengaktifkan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan. Berbagai kegiatan internasional digelar, termasuk ajang di Mandalika dan Formula E. Demikian pula relaksasi Idulfitri, protokol bepergian dan pariwisata. Bukan hanya mengaktifkan, pemerintah tampak menggerakkan dan mengakselerasi maksimal. Mereka ingin menggerakkan roda ekonomi yang mengalami stagnasi signifikan selama pandemi.

Bermodal iklim positif yang ada saat ini, upaya pemerintah mengaktifkan dan mengakselerasi gerbong-gerbong kehidupan dapat dipahami. Memang tidak perlu menunggu jumlah kasus dan kematian menjadi sangat rendah untuk kembali bergeliat karena kondisi ini membutuhkan waktu lama. Meski demikian, upaya pengaktifan dan akselerasi ini mesti bersifat akselerasi terkontrol; bukan akselerasi ugal-ugalan.

Artinya, di satu sisi dilakukan pengaktifan intens, di sisi lain dilakukan proteksi terhadap potensi sekuel pandemi. Meski melakukan akselerasi, selayaknya protokol kesehatan standar tidak dilepas semua. Apalagi protokol yang sudah terbukti baik dan telah dipraktikkan oleh masyarakat. Kebiasaan menggunakan masker dan mencuci tangan sebaiknya tidak diutak-atik, apalagi memberikan himbauan melepas masker atau menghentikan cuci tangan. Masyarakat sudah terbiasa melakukan perilaku positif yang ditelurkan oleh pandemi ini. Biarkan masyarakat terus membudayakan perilaku ini secara konsisten. Perilaku ini bermanfaat bukan hanya untuk Covid-19 tetapi juga untuk berbagai penyakit lainnya. Ada atau tidaknya Covid-19, kebiasaan ini amat diperlukan.

Juga perlu terus gaungkan perlunya vaksinasi. Jangan karena akselerasi kegiatan, program vaksinasi ditinggalkan. Vaksinasi adalah backbone penanganan yang urgensinya sangat krusial. Jadi ketiga elemen (menggunakan masker, mencuci tangan dan vaksinasi) mesti menjadi fixed price. Dalam fixed price, tidak ada tawar-menawar apalagi diskon.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1672 seconds (0.1#10.140)