Menimbang Roadmap Kebijakan Industri Hasil Tembakau
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Bagai dilema yang terus menggema, produk tembakau kerap memicu kontroversi dalam setiap kebijakannya karena bagai pisau bermata dua. Rokok yang merupakan produk hasil tembakau memiliki dua fenomena yang berbeda dan memiliki pertentangan nilai.
Pada satu sisi, produk tembakau mempunyai nilai ekonomi tinggi yang menjadi sumber pendapatan negara bagi jutaan masyarakat hingga negara. Di sisi lain tak dapat dimungkiri bahwa produk tembakau memiliki dampak negatif bagi kesehatan sehingga perlu pengendalian dalam konsumsinya.
Industri hasil tembakau di Indonesia tumbuh pesat. Tak sedikit yang semula hanya berawal dari industri rumah tangga menjelma menjadi industri berskala besar nasional dan multinasional.
Sejalan dengan itu, industri hasil tembakau juga berperan dalam perekonomian nasional sebagai penyumbang penerimaan negara melalui cukai. Itu tercermin dari kontribusinya yang mencapai 97% dari total penerimaan cukai nasional.
Selain itu, tumbuhnya industri hasil tembakau juga diikuti berkembangnya pertanaman tembakau yang diusahakan petani di banyak daerah, dan telah berperan sebagai lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat serta perekonomian daerah.
Pada perkembangannya, setiap tahun tarif cukai rokok selalu mengalami kenaikan. Yang tertinggi terjadi pada 2020, di mana kenaikannya mencapai 23%.
Dalam catatan sejarah, hanya ada dua tahun tidak terjadi kenaikan tarif cukai rokok yaitu di tahun 2014 dan 2019. Kini, di 2022, cukai rokok telah diketok mengalami kenaikan 12%. Keputusan tersebut berlaku sejak 1 Januari lalu.
Kenaikan cukai rokok bertujuan mendukung tercapainya target penerimaan cukai rokok 2022 sebesar Rp193 triliun, serta menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3–32,4% dan prevalensi perokok anak-anak dan remaja turun menjadi 8,8 – 8,9%.
Prioritas Kebijakan IHT
Dualisme kepentingan kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) terlihat dalam optimalisasi penerimaan yang dibalut dalam fungsi budgetair. Pada bagian lain, terdapat upaya pengendalian eksternal melalui fungsi regulerend, termasuk perlindungan aspek ketenagakerjaan dalam rangka mengurangi angka pengangguran dan hingga pengendalian peredaran rokok illegal.
Pilar-pilar kebijakan tersebut merupakan acuan yang patut dipertimbangkan secara berimbang dalam memutuskan kebijakan cukai tembakau. Meski tak mudah untuk mengampu berbagai kepentingan, sampai menghasilkan kebijakan yang baik.
Jika diperhatikan, kebijakan kenaikan tarif cukai tembakau masih lebih banyak menitikberatkan pada sisi penerimaan. Realisasi penerimaan cukai, hampir setiap tahunnya selalu tercapai sesuai target yang ditetapkan dalam APBN.
Bahkan, pencapaian tertinggi kontribusi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) berhasil ditorehkan pada 2020 ketika volume produksi IHT turun signifikan hingga minus 10% dan kala itu Indonesia berada dalam jurang resesi ekonomi akibat pandemi. Sementara, kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mengalami kenaikan hingga 13% terhadap total penerimaan negara.
Bagi konsumen, kenaikan tarif cukai, setidaknya dalam tiga tahun terakhir, berhasil mendorong capaian target angka prevalensi perokok usia dini (10-18 tahun) yang tertulis dalam RPJMN 2019-2024 sebesar 8,7%.
Pada perkembangannya kini, data menunjukkan bahwa presentase penduduk merokok usia dini (10-18 tahun) telah mengalami penurunan signifikan dari 7,2% (2013) menjadi 3,8% (2020) (BPS, 2020). Capaian tersebut merupakan buah dari penantian panjang setelah melewati tren kenaikan signifikan angka prevalensi merokok usia dini sejak 2013 hingga 2018.
Di sisi lain, dari sisi produsen, kenaikan tarif cukai yang terus terjadi di setiap tahun berdampak produksi IHT dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2021), sejak 2014 volume produksi IHT terus mengalami penurunan.
Bahkan, pada tahun 2020, IHT mengalami penurunan volume produksi rokok terbesar dalam delapan tahun terakhir, yakni hingga -10%. Tren penurunan volume produksi tersebut selanjutnya disambut dengan kian banyaknya pabrikan rokok yang gulung tikar.
Data menunjukan bahwa penurunan jumlah pabrikan rokok terus terjadi, di mana pada 2007 jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793 unit namun pada 2019 hanya tersisa 767 pabrikan rokok. Dengan kata lain, hanya tinggal kurang dari 16% saja dari jumlah pabrikan rokok di tahun 2007 yang mampu bertahan sampai saat ini.
Meski dari sisi jumlah volume produksi turun, namun justru diikuti oleh berkembangnya peredaran rokok ilegal yang notabene tidak membayar cukai. Ini sejalan dengan sejumlah penelitian yang mengungkapkan bahwa kenaikan tarif cukai dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap peredaran rokok ilegal.
Pemicunya, perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung untuk membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai. Kenaikan tarif cukai tembakau yang terus menerus terjadi menyebabkan daya beli masyarakat Indonesia terhadap rokok legal semakin menurun. Sehingga para perokok tersebut akan beralih pada rokok ilegal untuk dapat tetap megkonsumsi rokok dengan harga terjangkau.
Kebijakan Berkeadilan
Keberlangsungan industri dalam negeri menjadi pertimbangan mengingat besarnya multiplier effect yang dimiliki IHT di sektor ekonomi, sejarah keberadaan IHT di Indonesia, serta peran industri dalam mendukung program pembangunan nasional. Artinya, di tengah banyaknya kepentingan yang ada, pemerintah perlu memperhatikan berbagai sisi kepentingan yang ada didalam mendisain kebijakan IHT.
Guna mencapai kebijakan yang berkeadilan di tengah berbagai ego kepentingan dalam IHT, maka penyusunan peta jalan (roadmap) yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, pertanian, serta menjaga kelestarian budaya mendesak untuk segera dilakukan pemerintah. Adanya peta jalan yang disepakati bersama, termasuk oleh DPR akan memberikan kepastian mau dibawa ke mana IHT ke depan.
Pada jangka panjang, untuk menjaga penerimaan negara, pemerintah perlu segera menetapkan alternatif Barang Kena Cukai (BKC) agar tidak terus bertumpu pada penerimaan cukai hasil tembakau. Target penerimaan cukai yang terus tumbuh setiap tahun tanpa diiringi dengan ekstensifikasi barang kena cukai hanya akan merugikan sektor tertentu.
Dibandingkan dengan berbagai negara di dunia lainnya, Indonesia masih tergolong dalam negara yang extemely narrow coverage dalam pengenaan cukai. Oleh sebab itu, perluasan objek (ekstensifikasi) cukai perlu ditambah untuk meningkatkan pengendalian produk berbahaya sekaligus mendorong peningkatan penerimaan negara.
Kebijakan-kebijakan terkait cukai IHT ke depan diharapkan dapat lebih memberikan rasa keadilan dan kepastian dari berbagai pihak yang terlibat, di antaranya dari sisi kesehatan, penerimaan, industri, tenaga kerja, pertanian, hingga peredaran rokok ilegal demi tercapainya kesejahteraan bersama. Semoga.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Bagai dilema yang terus menggema, produk tembakau kerap memicu kontroversi dalam setiap kebijakannya karena bagai pisau bermata dua. Rokok yang merupakan produk hasil tembakau memiliki dua fenomena yang berbeda dan memiliki pertentangan nilai.
Pada satu sisi, produk tembakau mempunyai nilai ekonomi tinggi yang menjadi sumber pendapatan negara bagi jutaan masyarakat hingga negara. Di sisi lain tak dapat dimungkiri bahwa produk tembakau memiliki dampak negatif bagi kesehatan sehingga perlu pengendalian dalam konsumsinya.
Industri hasil tembakau di Indonesia tumbuh pesat. Tak sedikit yang semula hanya berawal dari industri rumah tangga menjelma menjadi industri berskala besar nasional dan multinasional.
Sejalan dengan itu, industri hasil tembakau juga berperan dalam perekonomian nasional sebagai penyumbang penerimaan negara melalui cukai. Itu tercermin dari kontribusinya yang mencapai 97% dari total penerimaan cukai nasional.
Selain itu, tumbuhnya industri hasil tembakau juga diikuti berkembangnya pertanaman tembakau yang diusahakan petani di banyak daerah, dan telah berperan sebagai lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat serta perekonomian daerah.
Pada perkembangannya, setiap tahun tarif cukai rokok selalu mengalami kenaikan. Yang tertinggi terjadi pada 2020, di mana kenaikannya mencapai 23%.
Dalam catatan sejarah, hanya ada dua tahun tidak terjadi kenaikan tarif cukai rokok yaitu di tahun 2014 dan 2019. Kini, di 2022, cukai rokok telah diketok mengalami kenaikan 12%. Keputusan tersebut berlaku sejak 1 Januari lalu.
Kenaikan cukai rokok bertujuan mendukung tercapainya target penerimaan cukai rokok 2022 sebesar Rp193 triliun, serta menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3–32,4% dan prevalensi perokok anak-anak dan remaja turun menjadi 8,8 – 8,9%.
Prioritas Kebijakan IHT
Dualisme kepentingan kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) terlihat dalam optimalisasi penerimaan yang dibalut dalam fungsi budgetair. Pada bagian lain, terdapat upaya pengendalian eksternal melalui fungsi regulerend, termasuk perlindungan aspek ketenagakerjaan dalam rangka mengurangi angka pengangguran dan hingga pengendalian peredaran rokok illegal.
Pilar-pilar kebijakan tersebut merupakan acuan yang patut dipertimbangkan secara berimbang dalam memutuskan kebijakan cukai tembakau. Meski tak mudah untuk mengampu berbagai kepentingan, sampai menghasilkan kebijakan yang baik.
Jika diperhatikan, kebijakan kenaikan tarif cukai tembakau masih lebih banyak menitikberatkan pada sisi penerimaan. Realisasi penerimaan cukai, hampir setiap tahunnya selalu tercapai sesuai target yang ditetapkan dalam APBN.
Bahkan, pencapaian tertinggi kontribusi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) berhasil ditorehkan pada 2020 ketika volume produksi IHT turun signifikan hingga minus 10% dan kala itu Indonesia berada dalam jurang resesi ekonomi akibat pandemi. Sementara, kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mengalami kenaikan hingga 13% terhadap total penerimaan negara.
Bagi konsumen, kenaikan tarif cukai, setidaknya dalam tiga tahun terakhir, berhasil mendorong capaian target angka prevalensi perokok usia dini (10-18 tahun) yang tertulis dalam RPJMN 2019-2024 sebesar 8,7%.
Pada perkembangannya kini, data menunjukkan bahwa presentase penduduk merokok usia dini (10-18 tahun) telah mengalami penurunan signifikan dari 7,2% (2013) menjadi 3,8% (2020) (BPS, 2020). Capaian tersebut merupakan buah dari penantian panjang setelah melewati tren kenaikan signifikan angka prevalensi merokok usia dini sejak 2013 hingga 2018.
Di sisi lain, dari sisi produsen, kenaikan tarif cukai yang terus terjadi di setiap tahun berdampak produksi IHT dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2021), sejak 2014 volume produksi IHT terus mengalami penurunan.
Bahkan, pada tahun 2020, IHT mengalami penurunan volume produksi rokok terbesar dalam delapan tahun terakhir, yakni hingga -10%. Tren penurunan volume produksi tersebut selanjutnya disambut dengan kian banyaknya pabrikan rokok yang gulung tikar.
Data menunjukan bahwa penurunan jumlah pabrikan rokok terus terjadi, di mana pada 2007 jumlah pabrikan rokok mencapai 4.793 unit namun pada 2019 hanya tersisa 767 pabrikan rokok. Dengan kata lain, hanya tinggal kurang dari 16% saja dari jumlah pabrikan rokok di tahun 2007 yang mampu bertahan sampai saat ini.
Meski dari sisi jumlah volume produksi turun, namun justru diikuti oleh berkembangnya peredaran rokok ilegal yang notabene tidak membayar cukai. Ini sejalan dengan sejumlah penelitian yang mengungkapkan bahwa kenaikan tarif cukai dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap peredaran rokok ilegal.
Pemicunya, perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung untuk membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai. Kenaikan tarif cukai tembakau yang terus menerus terjadi menyebabkan daya beli masyarakat Indonesia terhadap rokok legal semakin menurun. Sehingga para perokok tersebut akan beralih pada rokok ilegal untuk dapat tetap megkonsumsi rokok dengan harga terjangkau.
Kebijakan Berkeadilan
Keberlangsungan industri dalam negeri menjadi pertimbangan mengingat besarnya multiplier effect yang dimiliki IHT di sektor ekonomi, sejarah keberadaan IHT di Indonesia, serta peran industri dalam mendukung program pembangunan nasional. Artinya, di tengah banyaknya kepentingan yang ada, pemerintah perlu memperhatikan berbagai sisi kepentingan yang ada didalam mendisain kebijakan IHT.
Guna mencapai kebijakan yang berkeadilan di tengah berbagai ego kepentingan dalam IHT, maka penyusunan peta jalan (roadmap) yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, pertanian, serta menjaga kelestarian budaya mendesak untuk segera dilakukan pemerintah. Adanya peta jalan yang disepakati bersama, termasuk oleh DPR akan memberikan kepastian mau dibawa ke mana IHT ke depan.
Pada jangka panjang, untuk menjaga penerimaan negara, pemerintah perlu segera menetapkan alternatif Barang Kena Cukai (BKC) agar tidak terus bertumpu pada penerimaan cukai hasil tembakau. Target penerimaan cukai yang terus tumbuh setiap tahun tanpa diiringi dengan ekstensifikasi barang kena cukai hanya akan merugikan sektor tertentu.
Dibandingkan dengan berbagai negara di dunia lainnya, Indonesia masih tergolong dalam negara yang extemely narrow coverage dalam pengenaan cukai. Oleh sebab itu, perluasan objek (ekstensifikasi) cukai perlu ditambah untuk meningkatkan pengendalian produk berbahaya sekaligus mendorong peningkatan penerimaan negara.
Kebijakan-kebijakan terkait cukai IHT ke depan diharapkan dapat lebih memberikan rasa keadilan dan kepastian dari berbagai pihak yang terlibat, di antaranya dari sisi kesehatan, penerimaan, industri, tenaga kerja, pertanian, hingga peredaran rokok ilegal demi tercapainya kesejahteraan bersama. Semoga.
(ynt)