Masjid Ramah Lingkungan

Jum'at, 03 Juni 2022 - 11:05 WIB
loading...
Masjid Ramah Lingkungan
Savran Billahi (Foto: Ist)
A A A
Savran Billahi
Ketua Lakpesdam PCINU Turki, Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sejarah Hacettepe University Ankara

ISLAM punya alasan yang sangat kuat untuk mendukung upaya penyelesaian masalah lingkungan. Di samping karena melimpahnya ayat Alquran yang mengandung aksioma moral tentang pelestarian alam, historisitas Islam di masa awal juga menunjukkan keberpihakan itu.

Masjid Nabawi yang menjadi pusat penyebaran ajaran Islam, misalnya, dibangun Rasulullah dari bahan-bahan lokal yang ramah lingkungan. Seperti yang diungkapkan gerakan global Ummah for Earth, sumber-sumber bangunan masjid Rasulullah itu memenuhi syarat-syarat metode berkelanjutan.

Kenyataan ini menjadi ironi ketika masjid-masjid yang didirikan sebagian umat muslim saat ini tidak mengikuti inspirasi pendirian Masjid Nabawi. Sebagian masjid justru menyumbang masalah lingkungan. Penggunaan pendingin ruangan (air conditioner) yang menghasilkan emisi karbon, pemborosan air wudhu, pembangunan masjid di kawasan padat, dan penggunaan pengeras suara yang berlebihan menjadi beberapa isu mengapa masjid-masjid saat ini turut menambah persoalan lingkungan.

Masalah ini agaknya didasari oleh motivasi pembangunan masjid yang terbatas pada ghirah dakwah dalam pengertian sempit, belum pada konsepsi yang lebih luas, seperti integrasi pada persoalan lingkungan. Di Indonesia, mudah ditemui pembangunan masjid yang dimulai dengan proses meminta-minta sumbangan di jalan. Tanpa konsep yang jelas, terlebih dengan dana terbatas, masjid yang merepresentasikan peradaban alhasil sulit dibangun.

Pelesteraian Lingkungan sebagai Basis Peradaban
Pembahasan mengenai integrasi masjid terhadap lingkungan sudah saatnya dijadikan isu sentral peradaban. Dalam hal ini, pelestarian lingkungan (hifdh al-bi’ah) mengandung nilai spiritual pada masjid. Apa yang dimaksud peradaban yang relevan saat ini adalah memenuhi target-target tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) PBB.

Pengintegrasian masjid terhadap isu lingkungan setidaknya bisa mengakomodasi beberapa target SDGs, seperti climate action (penanganan perubahan iklim), affordable and clean energy (energi bersih dan terjangkau), clean water and sanitation (air bersih dan sanitasi layak), dan sustainable cities and communities (kota dan komunitas berkelanjutan).

Gestur baik sudah ditunjukkan pada COP22 2016 di Maroko dengan mengarusutamakan agenda proyek “Masjid Hijau”. Negara itu menginisiasi modifikasi desain panel surya dan LED ke dalam 600-an masjid. Dengan proyek itu, pada 2030 Maroko menargetkan untuk tidak mengimpor energinya, melainkan memproduksi 52% energi yang dihasilkan dengan sumber-sumber tebarukan. Bahkan Masjid Jamia al-Kutubiyya di Marakesh yang dibangun pada abad ke-12, dengan penambahan panel surya, telah menjadi masjid energi-plus atau berhasil menciptakan lebih banyak energi dibandingkan mengonsumsinya.

Langkah maju itu diikuti oleh Greenpeace Indonesia pada 29 Oktober 2021 dengan mendorong lima target; pembentukan komunitas masjid yang berkomitmen pada masjid hijau, penanaman pohon di sekiling masjid, pengaturan ulang penggunaan air wudhu, pengelolaan sampah organik di lingkungan masjid, dan penggunaan tenaga surya pada masjid. Gerakan ini merupakan bagian dari kampanye global Ummah for Earth yang menginginkan masjid sebagai cerminan rahmatan li alamin (untuk semesta alam).

Secara konkret, Indonesia juga memiliki gerakan ecoMasjid yang berbasis pemberdayaan masjid untuk pelestarian lingkungan hidup. Gerakan itu menghimpun 206 masjid. Jumlah ini tentu masih sedikit bila dibandingkan data masjid Kementerian Agama RI yang mencapai 741.991.

Mereka menginisiasi banyak inovasi seperti embung desa, kompor biomasa, tungku bakar sampah tanpa asap, penyediaan air bersih desa dari pengelolaan air wudhu, dan listrik surya. Salah satu inovasi mereka, 300 Keran Hemat Air yang menekan penggunaan air hingga 50%, telah digunakan di Pondok Pesantren Al-Amanah dan Azzikra.

Dari Isu Elitis ke Populis
Barangkali kampanye Masjid Hijau di Indonesia masih menjadi isu elitis, namun bila melihat masjid-masjid ramah lingkungan di Turki, usaha itu sangat mungkin menjadi sebuah gerakan populis. Setidaknya ada dua faktor mengapa kampanye tersebut bisa menjadi gerakan populis; kebudayaan yang menjadi basis inspirasi dan objektivikasi negara terhadap kebudayaan tersebut.

Sejak masa Utsmani, masjid-masjid di Turki telah dibangun berdasarkan kedekatan dengan alam. Mudah sekali menemukan masjid-masjid tradisional di Turki yang menyediakan rumah bagi para hewan, seperti burung, anjing, dan kucing. Di sekililing masjid-masjid di Turki juga tidak sulit ditemukan pepohonan rindang yang menambah keasrian sekitar. Tradisi ini kemudian juga diterapkan di masjid-masjid yang dibangun di masa Republik.

Berkaitan dengan ini, negara melakukan objektivikasi terhadap tradisi itu, seperti mengesahkan undang-undang tentang hak hewan, yang di antaranya mengelola kesejahteraan hewan dan melarang sirkus-sirkus hewan serta mengubah nomenklatur Kementerian Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Lingkungan Hidup, Urbanisasi, dan Perubahan Iklim pada 2021 lalu. Dengan perubahan nomenklatur itu, negara dituntut untuk lebih aktif dalam mengampanyekan target bebas emisi karbon.

Kementerian menargetkan penggunaan bahan netral-karbon pada bangunan-bangunan publik yang digunakan secara populis, seperti stadion sepak bola dan masjid. Beberapa masjid di Turki, seperti Masjid Sakirin di Istanbul yang didesain oleh seorang perempuan, Zeynep Fadillioglu sudah dibangun dengan dominasi bahan netral-karbon.Indonesia sejatinya sudah memiliki percontohan masjid hijau, seperti Masjid Istiqlal dan Masjid Raya Pondok Indah. Untuk menjadikannya lebih populis, kehadiran negara sebagai creative minority, terutama dalam regulasi dan kampanye perlu lebih jauh.

Negara bisa mengakomodasi secara serius organisasi massa, pesantren, maupun komunitas keagamaan menjadi imam dalam melestarikan lingkungan berbasis masjid, seperti melalui perlombaan, lokakarya yang rutin, alokasi anggaran untuk panel surya, hingga kategorisasi masjid hijau. Dalam hal ini, dikaitkannya isu lingkungan terhadap persoalan agama membuat hubungan antara negara-agama terjalin positif dan produktif.

Tidak ada yang keliru bila pemerintah mengetengahkan kebijakan yang populis mengenai masjid hijau, karena selain bersifat amal-karitatif, kebijakan itu juga akan efektif bagi objektivikasi Islam. Kehadiran masjid hijau dapat dirasakan manfaatnya secara luas, termasuk oleh non-muslim. Sekalipun dari sisi umat muslim sebagai pihak pengelola boleh jadi tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan.

Masjid hijau akan menjadi cerminan Islam yang komprehensif, dan dapat menepis keraguan sebagian masyarakat bahwa umat muslim hanya peka pada persoalan abstrak, seperti akhlak dan politik identitas. Kehadiran masjid hijau dapat menunjukkan bahwa umat Islam juga sensitif terhadap isu-isu konkret, seperti dampak perubahan iklim.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1976 seconds (0.1#10.140)