Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: Bangkit dari Residu Kemanusiaan
loading...
A
A
A
Wildani Hefni
Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Acmad Siddiq Jember
SETIAP 20 Mei, kita memperingat Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Harkitnas ke-114 tahun 2022 ini mengambil tema “Ayo Bangkit Bersama” yang secara spesifik kebangkitan itu ditujukan pada momentum semangat kebangkitan dari pendemi Covid-19 yang menyerang seluruh lini kehidupan.
Pelbagai sektor terkena imbas dari pagebluk yang hingga kini belum benar-benar lenyap dari republik ini. Pada sektor ekonomi, daya beli masyarakat nampak lesu di berbagai daerah. Tidak hanya itu, dunia investasi juga mengalami penurunan. Di samping itu, jutaan orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara pada sektor pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan dipaksa untuk menerapkan pembelajaran jarak jauh menggunakan sistem dalam jaringan (daring). Tidak sedikit pihak yang mengkhawatirkan terjadinya risiko buruk yaitu fenomena lost generation (generasi yang hilang) akibat layanan pendidikan yang tidak optimal.
Realitas itu benar-benar terwujud apa adanya. Pelbagai kesenjangan lahir mengiringi kondisi yang tidak menyenangkan bagi semua pihak. Karena itu, momentum Harkitnas diharapkan dapat menjadi titik pijak kebangkitan secara menyeluruh. Sebagaimana visi dan misi yang disemangatkan oleh para tokoh dan cendikiawan pendiri Budi Utomo yang menginginkan semua orang Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak, memiliki nasionalisme yang tinggi, dan mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia.
Organisasi ini merambah pada jalur sosial, ekonomi dan juga kebudayaan. Tokoh-tokoh seperti Wahidin Soedirohusodo, Soetomo, Gunawan Mangkusomo, Soeradji Tirtonegoro, dan cendikiawan lainnya memiliki jasa yang begitu besar dalam rangka menjaga keberlanjutan kehidupan di masa depan. Kekuatan kolektif itu telah mengantarkan pada realitas kehidupan cemerlang saat ini. Karena itu, Harkitnas meniscayakan seluruh komponen anak bangsa untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dengan merawat nasionalisme.
Residu Kemanusiaan
Kebangkitan yang disuarakan melalui tema Harkitnas “Ayo Bangkit Bersama” harus kita maknai pada setiap lini kehidupan. Kiranya terdapat satu hal yang patut menjadi perhatian bersama yakni trajektori kehidupan sosial-keagamaan. Tahun politik 2024 dalam kontestasi pemilihan Presiden (pilpres) sudah terasa saat ini. Politik identitas mulai mengeras dan bahkan berujung pada ideologi kebencian. Berbagai konten provokatif beredar di media sosial. Polarisasi mulai nampak mewarnai para pendukung untuk meraih kemenangan elektoral. Realitas ini perlu menjadi catatan bersama sekaligus kekhawatiran akan efek lanjut terhadap lahirnya konflik dan segregasi sosial.
Sementara tantangan keberagamaan saat ini dihadapkan pada realitas kepungan mentalitas yang sempit yang menggiring pada problem keadaban publik. Hal itu diperparah oleh merebaknya berita hoaks yang didukung oleh ujaran kebencian.
Jimly Asshiddiqie telah mengingatkan bahwa meningkatnya berita bohong dan ujaran kebencian di media sosial telah mendorong pada peningkatan radikalisme di Indonesia. Lebih jauh, cara beragama yang mengedepankan aksi-aksi vigilante juga menjadi catatan merah trajektori kemanusiaan. Ketidaksukaan terhadap kelompok lain, penghinaan dan kegemaran pada kekerasan, serta menolak toleransi karena dianggap sebagai penanda kelemahan dan ambiguitas, menjadi ciri utama dari residu kemanusiaan yang dapat menjadi pelatuk sentimen rasial dan konflik politik.
Fakta inilah yang harus kita carikan solusi bersama. Kebangkitan pada momen Harkitnas harus mampu menaikkan level kedewasaan dengan membersihkan residu ampas kemanusiaan yang dipenuhi dengan keserakahan, kepongahan, dan bahkan kebencian terhadap liyan (others).
Hal itu dapat dilihat bagaimana sebagian kelompok memosisikan sebagai wakil Tuhan dengan merampas hak-hak Tuhan dan kemudian menunggalkan absolutisme keagamaan. Pemahaman kelompoknya dianggap sebagai pemahaman yang paling benar. Sementara pemahaman atau pendapat orang lain dianggap salah. Pembelaan terhadap kelompoknya tidak didasarkan pada basis kebenaran, namun lebih mendekati kepentingan pragmatis-subjektif.
Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Acmad Siddiq Jember
SETIAP 20 Mei, kita memperingat Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Harkitnas ke-114 tahun 2022 ini mengambil tema “Ayo Bangkit Bersama” yang secara spesifik kebangkitan itu ditujukan pada momentum semangat kebangkitan dari pendemi Covid-19 yang menyerang seluruh lini kehidupan.
Pelbagai sektor terkena imbas dari pagebluk yang hingga kini belum benar-benar lenyap dari republik ini. Pada sektor ekonomi, daya beli masyarakat nampak lesu di berbagai daerah. Tidak hanya itu, dunia investasi juga mengalami penurunan. Di samping itu, jutaan orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara pada sektor pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan dipaksa untuk menerapkan pembelajaran jarak jauh menggunakan sistem dalam jaringan (daring). Tidak sedikit pihak yang mengkhawatirkan terjadinya risiko buruk yaitu fenomena lost generation (generasi yang hilang) akibat layanan pendidikan yang tidak optimal.
Realitas itu benar-benar terwujud apa adanya. Pelbagai kesenjangan lahir mengiringi kondisi yang tidak menyenangkan bagi semua pihak. Karena itu, momentum Harkitnas diharapkan dapat menjadi titik pijak kebangkitan secara menyeluruh. Sebagaimana visi dan misi yang disemangatkan oleh para tokoh dan cendikiawan pendiri Budi Utomo yang menginginkan semua orang Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak, memiliki nasionalisme yang tinggi, dan mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia.
Organisasi ini merambah pada jalur sosial, ekonomi dan juga kebudayaan. Tokoh-tokoh seperti Wahidin Soedirohusodo, Soetomo, Gunawan Mangkusomo, Soeradji Tirtonegoro, dan cendikiawan lainnya memiliki jasa yang begitu besar dalam rangka menjaga keberlanjutan kehidupan di masa depan. Kekuatan kolektif itu telah mengantarkan pada realitas kehidupan cemerlang saat ini. Karena itu, Harkitnas meniscayakan seluruh komponen anak bangsa untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dengan merawat nasionalisme.
Residu Kemanusiaan
Kebangkitan yang disuarakan melalui tema Harkitnas “Ayo Bangkit Bersama” harus kita maknai pada setiap lini kehidupan. Kiranya terdapat satu hal yang patut menjadi perhatian bersama yakni trajektori kehidupan sosial-keagamaan. Tahun politik 2024 dalam kontestasi pemilihan Presiden (pilpres) sudah terasa saat ini. Politik identitas mulai mengeras dan bahkan berujung pada ideologi kebencian. Berbagai konten provokatif beredar di media sosial. Polarisasi mulai nampak mewarnai para pendukung untuk meraih kemenangan elektoral. Realitas ini perlu menjadi catatan bersama sekaligus kekhawatiran akan efek lanjut terhadap lahirnya konflik dan segregasi sosial.
Sementara tantangan keberagamaan saat ini dihadapkan pada realitas kepungan mentalitas yang sempit yang menggiring pada problem keadaban publik. Hal itu diperparah oleh merebaknya berita hoaks yang didukung oleh ujaran kebencian.
Jimly Asshiddiqie telah mengingatkan bahwa meningkatnya berita bohong dan ujaran kebencian di media sosial telah mendorong pada peningkatan radikalisme di Indonesia. Lebih jauh, cara beragama yang mengedepankan aksi-aksi vigilante juga menjadi catatan merah trajektori kemanusiaan. Ketidaksukaan terhadap kelompok lain, penghinaan dan kegemaran pada kekerasan, serta menolak toleransi karena dianggap sebagai penanda kelemahan dan ambiguitas, menjadi ciri utama dari residu kemanusiaan yang dapat menjadi pelatuk sentimen rasial dan konflik politik.
Fakta inilah yang harus kita carikan solusi bersama. Kebangkitan pada momen Harkitnas harus mampu menaikkan level kedewasaan dengan membersihkan residu ampas kemanusiaan yang dipenuhi dengan keserakahan, kepongahan, dan bahkan kebencian terhadap liyan (others).
Hal itu dapat dilihat bagaimana sebagian kelompok memosisikan sebagai wakil Tuhan dengan merampas hak-hak Tuhan dan kemudian menunggalkan absolutisme keagamaan. Pemahaman kelompoknya dianggap sebagai pemahaman yang paling benar. Sementara pemahaman atau pendapat orang lain dianggap salah. Pembelaan terhadap kelompoknya tidak didasarkan pada basis kebenaran, namun lebih mendekati kepentingan pragmatis-subjektif.