Seabad Rosihan Anwar (1922-2022): Wartawan yang Tidak Bisa Dikalahkan
loading...
A
A
A
Esoknya, Jumat (25/4) pagi, dr. Naila, mengirim pesan dari BBM. "Alhamdulillah ayah mulai pulih. Ayah minta kaca mata, dan mau membaca surat kabar". Saya minta dr Naila mengirimi foto kondisi beliau. Tidak lama kemudian ponsel saya berdering.
Subhanallah, yang mau bicara Pak Ros sendiri. Dia bercerita tentang keberhasilan operasinya. Pak Ros juga menceritakan kesannya yang mendalam karena mantan Presiden RI BJ Habibie sempat melepasnya masuk ruang bedah waktu mau operasi. Itu kunjungan ketiga Pak Habibie menengok Pak Rosihan.
Bangga menjadi muridnya
Saya mengagumi Pak Rosihan sejak masih kanak-kanak di Makassar, jauh sebelum saya jadi wartawan. Pertemuan sekaligus perkenalan pertama saya dengan beliau terjadi tahun 1977 di Jakarta.
Saya baru setahun jadi wartawan di Harian Angkatan Bersenjata ketika diutus untuk mengikuti pendidikan wartawan dalam program Karya Latihan Wartawan PWI yang dipimpin Pak Ros sebagai direktur program tersebut.
Setelah itu, hubungan saya dengan Pak Ros semakin erat. Layaknya sebagai ayah dan anak, guru dan murid, tempat bertanya. Intensitas pertemuan kami semakin meningkat tak hanya dalam urusan pers, tapi juga dalam dunia film. Ketika saya mendirikan Tabloid C&R, beliau yang pertama menyatakan kesediaan menulis kolom setiap kali terbit.
Tanggal dan bulan kelahiran saya juga sama dengan Pak Ros. Kami sering merayakan ulang tahun bersama. Jika saya menghadapi masalah pribadi, beliaulah orang pertama yang peduli mendengar curahan hati. Begitu pun jika beliau menghadapi hal sama.
Pak Ros telah tiada. Sebelas tahun lalu. Dan Ibu Zuraida dua belas tahun lalu. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kebersamaannya di tempat yang lapang, nyaman, dan indah di sisi-Nya. Amien.
Subhanallah, yang mau bicara Pak Ros sendiri. Dia bercerita tentang keberhasilan operasinya. Pak Ros juga menceritakan kesannya yang mendalam karena mantan Presiden RI BJ Habibie sempat melepasnya masuk ruang bedah waktu mau operasi. Itu kunjungan ketiga Pak Habibie menengok Pak Rosihan.
Bangga menjadi muridnya
Saya mengagumi Pak Rosihan sejak masih kanak-kanak di Makassar, jauh sebelum saya jadi wartawan. Pertemuan sekaligus perkenalan pertama saya dengan beliau terjadi tahun 1977 di Jakarta.
Saya baru setahun jadi wartawan di Harian Angkatan Bersenjata ketika diutus untuk mengikuti pendidikan wartawan dalam program Karya Latihan Wartawan PWI yang dipimpin Pak Ros sebagai direktur program tersebut.
Setelah itu, hubungan saya dengan Pak Ros semakin erat. Layaknya sebagai ayah dan anak, guru dan murid, tempat bertanya. Intensitas pertemuan kami semakin meningkat tak hanya dalam urusan pers, tapi juga dalam dunia film. Ketika saya mendirikan Tabloid C&R, beliau yang pertama menyatakan kesediaan menulis kolom setiap kali terbit.
Tanggal dan bulan kelahiran saya juga sama dengan Pak Ros. Kami sering merayakan ulang tahun bersama. Jika saya menghadapi masalah pribadi, beliaulah orang pertama yang peduli mendengar curahan hati. Begitu pun jika beliau menghadapi hal sama.
Pak Ros telah tiada. Sebelas tahun lalu. Dan Ibu Zuraida dua belas tahun lalu. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kebersamaannya di tempat yang lapang, nyaman, dan indah di sisi-Nya. Amien.
(maf)