Menakar Efektivitas Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng
loading...
A
A
A
Kisruh kenaikan harga minyak goreng pada akhir pekan ini memasuki babak baru. Kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng/minyak sawit dan minyak goreng mulai 28 April mendatang.
Keputusan ini pun sepertinya bakal disambut oleh ‘emak-emak’ di seluruh negeri. Maklum, beberapa bulan berlalu harga minyak goreng di pasaran nyaris tak terkendali. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan otoritas terkait tak juga mampu meredam kenaikan harga minyak goreng yang masih bertengger di kisaran Rp20.000-an per liter.
Dengan keputusan ini, muncul harapan pasokan minyak goreng di pasar akan melimpah diikuti dengan turunnya harga. Apalagi di jalur hukum, Kejaksaan Agung juga telah menetapkan tersangka kepada pelaku usaha dan birokrat yang diduga turut ‘bermain’ dan menyebabkan harga minyak goreng tak terkendali di pasar.
Jokowi dalam keterangan persnya melalui siaran di akun Youtube Sekretariat Presiden mengatakan masalah ketersediaan dan harga minyak goreng terus menjadi perhatian utama pemerintah. Untuk menjaga ketersediaan bahan pangan itu, pemerintah mengambil kebijakan tegas dengan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dalam hal ini minyak sawit mentah (CPO) serta minyak goreng.
Larangan tersebut akan berlaku sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian. Artinya, bisa saja kebijakan tersebut berlaku dalam jangka panjang, atau bisa juga hanya berumur hitungan hari, seperti kebijakan larangan ekspor komoditas batu bara yang hanya berlaku singkat.
Keputusan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dilakukan setelah Jokowi memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, utamanya yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng. Jokowi pun memastikan kebijakan ini mampu memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
Pada kesempatan tersebut, Presiden mengungkapkan bahwa pihaknya akan terus memantau dan mengevaluasi kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau.
Kabar baik ini tentu menjadi angin segar bagi pada ibu rumah tangga dan pelaku usaha kecil yang setiap harinya menggunakan minyak goreng dalam menjalankan usahanya.
Sebelumnya, akibat tingginya harga minyak goreng, pada awal April 2022 pemerintah telah memutuskan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng kepada masyarakat.
Bantuan tersebut akan diberikan kepada 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH), serta 2,5 juta pedagang kaki lima (PKL).
Bantuan diberikan sebesar Rp100.000 setiap bulannya. Pemerintah memberikan bantuan tersebut untuk tiga bulan sekaligus, yaitu April, Mei, dan Juni, yang akan dibayarkan di muka pada bulan April 2022 sebesar Rp300.000.
Keputusan yang diambil oleh Presiden terkait larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya di satu sisi baik untuk mengamankan pasokan dalam negeri. Namun di sisi lain juga memberikan efekshockkepada pelaku usaha.
Pasalnya, di tengah harga komoditas CPO yang sedang tinggi-tingginya, kebijakan larangan ekspor ini tentu saja menghilangkan potensi pendapatan dari devisa ekspor. Apalagi Indonesia merupakan eksportir terbesar CPO yang mengekspor tidak kurang dari 26,9 juta pada 2021. Angka tersebut setara dengan USD28,52 miliar, yang merupakan devisa ekspor terbesar dibanding sektor lain.
Adapun ekspor CPO Indonesia terbesar pada 2021 diekspor ke China dengan volume mencapai 4,7 juta ton senilai USD4,83 miliar. Diikuti India dengan volume 3,03 juta ton atau senilai USD3,28 miliar.
Maka, melihat betapa strategisnya ekspor CPO terjadap perekonomian nasional, patut dipertimbangkan bagaimana dampak larangan ekspor CPO dan minyak goreng ini. Lalu, dengan larangan ekspor ini apakah industri pengolahan CPO mau serta merta dan siap meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan pasar?
Jika yang digembar-gemborkan adalah hilirisasi, maka kebijakan larangan ekspor ini semestinya juga melihat bagaimana industri hilir di dalam negeri dapat dikembangkan.
Satu lagi yang mesti diperhatikan adalah, bagaimana nanti pasar ekspor yang selama ini diisi oleh CPO dari Indonesia? Karena, bukan mustahil negara-negara importir minyak sawit akan mencari sumber-sumber CPO baru dari negara lain seperti Malaysia yang juga dikenal sebagai salah satu produsen minyak sawit.
Lihat Juga: Kejagung Belum Simpulkan Hasil Pemeriksaan Airlangga: Prematur untuk Nyatakan Keterlibatan
Keputusan ini pun sepertinya bakal disambut oleh ‘emak-emak’ di seluruh negeri. Maklum, beberapa bulan berlalu harga minyak goreng di pasaran nyaris tak terkendali. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan otoritas terkait tak juga mampu meredam kenaikan harga minyak goreng yang masih bertengger di kisaran Rp20.000-an per liter.
Dengan keputusan ini, muncul harapan pasokan minyak goreng di pasar akan melimpah diikuti dengan turunnya harga. Apalagi di jalur hukum, Kejaksaan Agung juga telah menetapkan tersangka kepada pelaku usaha dan birokrat yang diduga turut ‘bermain’ dan menyebabkan harga minyak goreng tak terkendali di pasar.
Jokowi dalam keterangan persnya melalui siaran di akun Youtube Sekretariat Presiden mengatakan masalah ketersediaan dan harga minyak goreng terus menjadi perhatian utama pemerintah. Untuk menjaga ketersediaan bahan pangan itu, pemerintah mengambil kebijakan tegas dengan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dalam hal ini minyak sawit mentah (CPO) serta minyak goreng.
Larangan tersebut akan berlaku sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian. Artinya, bisa saja kebijakan tersebut berlaku dalam jangka panjang, atau bisa juga hanya berumur hitungan hari, seperti kebijakan larangan ekspor komoditas batu bara yang hanya berlaku singkat.
Keputusan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dilakukan setelah Jokowi memimpin rapat tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, utamanya yang berkaitan dengan ketersediaan minyak goreng. Jokowi pun memastikan kebijakan ini mampu memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
Pada kesempatan tersebut, Presiden mengungkapkan bahwa pihaknya akan terus memantau dan mengevaluasi kebijakan ini agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau.
Kabar baik ini tentu menjadi angin segar bagi pada ibu rumah tangga dan pelaku usaha kecil yang setiap harinya menggunakan minyak goreng dalam menjalankan usahanya.
Sebelumnya, akibat tingginya harga minyak goreng, pada awal April 2022 pemerintah telah memutuskan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng kepada masyarakat.
Bantuan tersebut akan diberikan kepada 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH), serta 2,5 juta pedagang kaki lima (PKL).
Bantuan diberikan sebesar Rp100.000 setiap bulannya. Pemerintah memberikan bantuan tersebut untuk tiga bulan sekaligus, yaitu April, Mei, dan Juni, yang akan dibayarkan di muka pada bulan April 2022 sebesar Rp300.000.
Keputusan yang diambil oleh Presiden terkait larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya di satu sisi baik untuk mengamankan pasokan dalam negeri. Namun di sisi lain juga memberikan efekshockkepada pelaku usaha.
Pasalnya, di tengah harga komoditas CPO yang sedang tinggi-tingginya, kebijakan larangan ekspor ini tentu saja menghilangkan potensi pendapatan dari devisa ekspor. Apalagi Indonesia merupakan eksportir terbesar CPO yang mengekspor tidak kurang dari 26,9 juta pada 2021. Angka tersebut setara dengan USD28,52 miliar, yang merupakan devisa ekspor terbesar dibanding sektor lain.
Adapun ekspor CPO Indonesia terbesar pada 2021 diekspor ke China dengan volume mencapai 4,7 juta ton senilai USD4,83 miliar. Diikuti India dengan volume 3,03 juta ton atau senilai USD3,28 miliar.
Maka, melihat betapa strategisnya ekspor CPO terjadap perekonomian nasional, patut dipertimbangkan bagaimana dampak larangan ekspor CPO dan minyak goreng ini. Lalu, dengan larangan ekspor ini apakah industri pengolahan CPO mau serta merta dan siap meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan pasar?
Jika yang digembar-gemborkan adalah hilirisasi, maka kebijakan larangan ekspor ini semestinya juga melihat bagaimana industri hilir di dalam negeri dapat dikembangkan.
Satu lagi yang mesti diperhatikan adalah, bagaimana nanti pasar ekspor yang selama ini diisi oleh CPO dari Indonesia? Karena, bukan mustahil negara-negara importir minyak sawit akan mencari sumber-sumber CPO baru dari negara lain seperti Malaysia yang juga dikenal sebagai salah satu produsen minyak sawit.
Lihat Juga: Kejagung Belum Simpulkan Hasil Pemeriksaan Airlangga: Prematur untuk Nyatakan Keterlibatan
(ynt)