Paradoks Kenaikan Harga Rokok
loading...
A
A
A
Kini, kenaikan cukai tersebut mutlak secara langsung mengubah Indeks kemahalan rokok mengalami peningkatan menjadi 13,77% dari sebelumnya sebesar 12,7%. Sehingga para perokok tersebut akan beralih pada rokok illegal untuk dapat tetap megkonsumsi rokok dengan harga terjangkau. Data menunjukkan bahwa kenaikan jumlah rokok ilegal bersamaan dengan semakin menurunnya jumlah volume produksi penjualan rokok segmen low. Para konsumen rokok di segmen low tersebut akan berpindah kepada rokok ilegal ketika harga rokok segmen low terus mengalami kenaikan harga.
Berdasarkan hasil survei dan analisis PPKE (2021) terkait perbandingan rokok legal dan ilegal, jenis Rokok SKM ilegal memiliki harga 1/4 kali lebih murah daripada rokok SKM berpita cukai. Jenis Rokok SPM ilegal memiliki harga harga 1/5 kali lebih murah daripada rokok SPM berpita cukai. Jenis Rokok SKT ilegal memiliki harga harga 1/3 kali lebih murah daripada rokok SKT berpita cukai.
Selain itu, rokok ilegal memiliki perputaran penjualan yang lebih cepat daripada rokok berpita cukai karena rokok ilegal lebih diminati oleh konsumen karena harganya yang lebih murah daripada rokok yang legal (berpita cukai). Oleh sebab itu, kenaikan harga rokok dapat mendorong bisnis rokok ilegal meningkat di tengah kian tergerusnya bisnis rokok legal.
Pada sisi produsen, kebijakan kenaikan harga rokok dan tarif cukai secara langsung terus menekan keberlangsungan Industri Haisl Tembakau (IHT). Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi dan juga penurunan pabrikan rokok.
Data menunjukkan bahwa volume produksi selama periode 2016-2018 menurun sebesar 4,59% dan jumlah pabrik rokok dari 4.793 perusahaan pada 2007 hanya tinggal sekitar 10% (487 perusahaan) di 2017. Hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian PPKE (2021) yang menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal berdampak negatif bagi keberlangsungan IHT baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Setiap 1% kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 2,9% dalam jangka pendek.
Selain itu, setiap 1% kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 4,31% dalam jangka panjang. Kenaikan rokok ilegal di jangka pendek berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 2 dan 3. Di sisi lain, dalam jangka panjang kenaikan rokok ilegal akan berpengaruh pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 1.
Kebijakan Komprehensif adalah Kunci
Seiring dengan pengumuman kenaikan tarif cukai, pemerintah juga mengubah komposisi pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau atau DBH CHT di tahun depan. Sebesar 50% alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat dibagi menjadi 20% untuk peningkatan kualitas bahan baku dan keterampilan kerja, serta pembinaan industri, 30% lainnya untuk pemberian bantuan.
Pemerintah mengatur alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat itu secara fleksibel, sehingga terdapat ruang untuk mengalihkannya ke bidang kesehatan jika anggaran telah melebihi kebutuhan daerah. Berbeda dengan alokasi dana untuk penegakan hukum yang bersifat baku atau tidak dapat dialihkan.
Komposisi tersebut menunjukkan perhatian besar pemerintah terhadap kesehatan dan komitmen pemerintah dalam memberantas peredaran rokok ilegal. Meski demikian, upaya pemerintah dalam menjaga alokasi anggaran tanpa disertai dengan adanya penindakan yang lebih tegas, maka alokasi DBHCT sebesar 25% untuk penegakan hukum akan sulit dalam mengurangi peredaran rokok ilegal.
Kawasan Industri Tertentu Hasil Tembakau (KITHT) yang menjadi salah satu upaya pemerintah dalam mememerangi peredaran rokok ilegal pun akan sia-sia apabila harga rokok legal terus mengalami peningkatan. Perbedaan harga antara rokok ilegal dan legal yang kian terpaut jauh akan semakin sulit menarik minat para produsen rokok ilegal untuk masuk pada KITHT dan menjadi legal.
Berdasarkan hasil survei dan analisis PPKE (2021) terkait perbandingan rokok legal dan ilegal, jenis Rokok SKM ilegal memiliki harga 1/4 kali lebih murah daripada rokok SKM berpita cukai. Jenis Rokok SPM ilegal memiliki harga harga 1/5 kali lebih murah daripada rokok SPM berpita cukai. Jenis Rokok SKT ilegal memiliki harga harga 1/3 kali lebih murah daripada rokok SKT berpita cukai.
Selain itu, rokok ilegal memiliki perputaran penjualan yang lebih cepat daripada rokok berpita cukai karena rokok ilegal lebih diminati oleh konsumen karena harganya yang lebih murah daripada rokok yang legal (berpita cukai). Oleh sebab itu, kenaikan harga rokok dapat mendorong bisnis rokok ilegal meningkat di tengah kian tergerusnya bisnis rokok legal.
Pada sisi produsen, kebijakan kenaikan harga rokok dan tarif cukai secara langsung terus menekan keberlangsungan Industri Haisl Tembakau (IHT). Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi dan juga penurunan pabrikan rokok.
Data menunjukkan bahwa volume produksi selama periode 2016-2018 menurun sebesar 4,59% dan jumlah pabrik rokok dari 4.793 perusahaan pada 2007 hanya tinggal sekitar 10% (487 perusahaan) di 2017. Hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian PPKE (2021) yang menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal berdampak negatif bagi keberlangsungan IHT baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Setiap 1% kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 2,9% dalam jangka pendek.
Selain itu, setiap 1% kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 4,31% dalam jangka panjang. Kenaikan rokok ilegal di jangka pendek berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 2 dan 3. Di sisi lain, dalam jangka panjang kenaikan rokok ilegal akan berpengaruh pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 1.
Kebijakan Komprehensif adalah Kunci
Seiring dengan pengumuman kenaikan tarif cukai, pemerintah juga mengubah komposisi pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau atau DBH CHT di tahun depan. Sebesar 50% alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat dibagi menjadi 20% untuk peningkatan kualitas bahan baku dan keterampilan kerja, serta pembinaan industri, 30% lainnya untuk pemberian bantuan.
Pemerintah mengatur alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat itu secara fleksibel, sehingga terdapat ruang untuk mengalihkannya ke bidang kesehatan jika anggaran telah melebihi kebutuhan daerah. Berbeda dengan alokasi dana untuk penegakan hukum yang bersifat baku atau tidak dapat dialihkan.
Komposisi tersebut menunjukkan perhatian besar pemerintah terhadap kesehatan dan komitmen pemerintah dalam memberantas peredaran rokok ilegal. Meski demikian, upaya pemerintah dalam menjaga alokasi anggaran tanpa disertai dengan adanya penindakan yang lebih tegas, maka alokasi DBHCT sebesar 25% untuk penegakan hukum akan sulit dalam mengurangi peredaran rokok ilegal.
Kawasan Industri Tertentu Hasil Tembakau (KITHT) yang menjadi salah satu upaya pemerintah dalam mememerangi peredaran rokok ilegal pun akan sia-sia apabila harga rokok legal terus mengalami peningkatan. Perbedaan harga antara rokok ilegal dan legal yang kian terpaut jauh akan semakin sulit menarik minat para produsen rokok ilegal untuk masuk pada KITHT dan menjadi legal.