Paradoks Kenaikan Harga Rokok

Selasa, 21 Desember 2021 - 19:01 WIB
loading...
Paradoks Kenaikan Harga Rokok
Prof Candra Fajri Ananda. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
Prof Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

JALAN panjang perjuangan Industri Hasil Tembakau (IHT) untuk bertahan di tengah liku-liku tantangan regulasi masih belum menepi. Kebijakan strategis berupa kenaikan tarif cukai yang terjadi hampir setiap tahunnya dengan besaran yang berubah-ubah tak kunjung usai mewarnai.

Kini, pada 2022 ketika pandemi belum selesai dan lini usaha dalam IHT pun masih tertatih menata diri untuk bangkit, kenaikan tarif cukai rokok kembali terjadi. Rata-rata kenaikan tarif cukai rokok untuk 2022 mencapai 12%. Pemerintah menyebutkan bahwa aspek kesehatan, pendapatan negara, dan ketenagakerjaan menjadi beberapa faktor pendorong pengambil kebijakan kembali menaikkan tarif CHT.

Berdasarkan Pasal 2 UU No 39 tahun 2007 Tentang Cukai menyatakan bahwa barang yang dikenai cukai adalah barang yang memiliki sifat atau karakteristik tertentu yang salah satunya konsumsinya perlu dikendalikan. Oleh sebab itu, rokok menjadi salah satu barang yang dikenakan cukai karena konsumsi yang berlebihan akan berdampak negatif bagi kesehatan. Pemerintah memiliki harapan bahwa kenaikan tarif cukai tersebut dapat menjadi jalan bagi pemerintah untuk menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3–32,4% dan prevalensi perokok anak-anak dan remaja turun menjadi 8,8–8,9% pada 2021.

Baca juga: Harga Rokok Tahun Depan Rp40.100 per Bungkus, Cek Fakta Sebenarnya

Ironisnya, kenaikan tarif cukai yang diberlakukan untuk pengendalian konsumsi rokok belum berbanding lurus dengan penurunan angka prevalensi rokok secara konsisten. Fakta menunjukkan bahwa selama lebih dari 10 tahun sejak 2007, angka prevalensi merokok usia ≥ 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Data menunjukkan bahwa pada 2018 angka prevalensi merokok usia ≥ 15 tahun justru mengalami peningkatan dari 32,8% pada 2016 menjadi 33,8% pada 2018. Hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif. Namun sebaliknya, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang excessive setiap tahunnya, lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal dibandingkan dengan penurunan jumlah prevalensi merokok.

Kenaikan Harga dalam Perspektif Konsumen Rokok
Rokok merupakan benda yang tak asing lagi bagi penduduk Indonesia. Di Indonesia, rokok kretek tidak hanya berfungsi sebagai barang yang dihisap untuk penenang dan membangun hubungan sosial, tetapi juga sebagai bagian dari bahan sesaji yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat pedesaan, dapat kita temui hampir di seluruh masyarakat pedesaan pulau Jawa.

Baca juga: Kenaikan Harga Rokok Ancam Kelangsungan Industri Hasil Tembakau

Hal ini selaras dengan hasil penelitian PPKE FEB UB (2021) yang menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok karena kenaikan harga rokok bukanlah faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok. Selain itu, fakta berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa harga bukan merupakan faktor penyebab seseorang tetap merokok dan harga juga bukan menjadi faktor penyebab seseorang berhenti merokok. Kenaikan harga rokok akan menyebabkan perokok mencari alternatif rokok dengan harga yang lebih murah/terjangkau, salah satu alternatifnya adalah rokok ilegal.

Perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung untuk membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai. Peredaran rokok ilegal adalah untuk memenuhi permintaan dari masyarakat. Kenaikan harga rokok yang terus menerus terjadi karena kenaikan tarif cukai maupun penyederhanaan struktur tarif cukai menyebabkan daya beli masyarakat Indonesia terhadap rokok legal semakin menurun.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1826 seconds (0.1#10.140)