Menyoal RPP Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Laut
loading...
A
A
A
Pasal 63 ayat 1 huruf c UU 32/2014 ttg Kelautan selengkapnya berbunyi :
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62, Badan Keamanan Laut berwenang:
a. melakukan pengejaran seketika;
b. memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan
c. mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.
Integrasi Sistem Informasi Keamanan dan Keselamatan
Dari ketiga pasal di atas yang dijadikan dasar Kemenko Polhukam, tidak ada satu pun yang memerintahkan untuk membuat Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia.Artinya, RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia tidak sesuai dengan UU sebagaimana mestinya karena menyimpang dari yaitu UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Sebagai contoh, Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Laut (Hubla) telah membuat RPP tentang Penjagaan Laut dan Pantai. RPP ini dibuat atas perintah dari Pasal 281 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Muatan materi dari Pasal 281 UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran selengkapnya berbunyi : “Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan serta organisasi dan tata kerja penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan Dan Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Indonesia Dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia yang dibuat oleh Kemenkopolhukam bersama-sama Bakamla, bertentangan dengan perintah UUD 45 dan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Mengingat Peraturan Pemerintah itu ditetapkan oleh Presiden, sehingga dapat dikatakan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Peraturan Pemerintah yang tidak menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya. Ini artinya bertentangan dengan perintah UUD 45, sehingga sangat berpotensi bergeser kearah Politik. Dikhawatirkan hal ini dapat dikatakan bahwa Presiden telah melanggar UUD 45. Bila hal ini terjadi, diperkirakan dapat mengakibatkan kegaduhan Politik.
Hal inilah salah satu penyebab RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan Dan Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Indonesia Dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia ditolak oleh Panitia Antar Kementrian dan sudah pasti akan ditolak oleh KSAL juga. Tapi entah mengapa Menkopolhukam justru menyarankan kepada Presiden untuk menetapkan RPP itu melalui mekansime rapat. Padahal apabila saran ini dilaksanakan berpotensi mengakibatkan kegaduhan politik dimana Presiden akan dituduh sebagai pelanggar UUD 45. Apakah ada kesengajaan untuk menimbulkan kegaduhan politik ? Wallahualam.
Sudah pasti KSAL akan menolak saran seperti ini. Penolakan itu untuk melindungi agar Presiden agar tidak dituduh sebagai pelanggar UUD 45. Oleh karena diperkirakan saran ini akan ditolak oleh KSAL, oleh sebab itulah maka KSAL tidak diundang dalam rapat itu. Saran kedua yang akan muncul dari Ratas, memberikan kewenangan Bakamla sebagai Indonesia Coast Guard dan sebagai penyidik melalui pembentukan UU Keamanan Laut atau revisi terbatas UU Kelautan yang sudah masuk Prolegnas tahun 2020 - 2024.
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62, Badan Keamanan Laut berwenang:
a. melakukan pengejaran seketika;
b. memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan
c. mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.
Integrasi Sistem Informasi Keamanan dan Keselamatan
Dari ketiga pasal di atas yang dijadikan dasar Kemenko Polhukam, tidak ada satu pun yang memerintahkan untuk membuat Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia.Artinya, RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia tidak sesuai dengan UU sebagaimana mestinya karena menyimpang dari yaitu UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Sebagai contoh, Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Laut (Hubla) telah membuat RPP tentang Penjagaan Laut dan Pantai. RPP ini dibuat atas perintah dari Pasal 281 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Muatan materi dari Pasal 281 UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran selengkapnya berbunyi : “Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan serta organisasi dan tata kerja penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan Dan Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Indonesia Dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia yang dibuat oleh Kemenkopolhukam bersama-sama Bakamla, bertentangan dengan perintah UUD 45 dan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Mengingat Peraturan Pemerintah itu ditetapkan oleh Presiden, sehingga dapat dikatakan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Peraturan Pemerintah yang tidak menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya. Ini artinya bertentangan dengan perintah UUD 45, sehingga sangat berpotensi bergeser kearah Politik. Dikhawatirkan hal ini dapat dikatakan bahwa Presiden telah melanggar UUD 45. Bila hal ini terjadi, diperkirakan dapat mengakibatkan kegaduhan Politik.
Hal inilah salah satu penyebab RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan Dan Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Indonesia Dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia ditolak oleh Panitia Antar Kementrian dan sudah pasti akan ditolak oleh KSAL juga. Tapi entah mengapa Menkopolhukam justru menyarankan kepada Presiden untuk menetapkan RPP itu melalui mekansime rapat. Padahal apabila saran ini dilaksanakan berpotensi mengakibatkan kegaduhan politik dimana Presiden akan dituduh sebagai pelanggar UUD 45. Apakah ada kesengajaan untuk menimbulkan kegaduhan politik ? Wallahualam.
Sudah pasti KSAL akan menolak saran seperti ini. Penolakan itu untuk melindungi agar Presiden agar tidak dituduh sebagai pelanggar UUD 45. Oleh karena diperkirakan saran ini akan ditolak oleh KSAL, oleh sebab itulah maka KSAL tidak diundang dalam rapat itu. Saran kedua yang akan muncul dari Ratas, memberikan kewenangan Bakamla sebagai Indonesia Coast Guard dan sebagai penyidik melalui pembentukan UU Keamanan Laut atau revisi terbatas UU Kelautan yang sudah masuk Prolegnas tahun 2020 - 2024.