Krisis Lingkungan dan Paradigma Baru Pengelolaan SDA
loading...
A
A
A
Yang dapat dijadikan pijakan awal untuk melihat fenomen ekologi di atas adalah meletakkan paradigma bahwa, kerusakan lingkungan setidaknya disebabkan oleh dua faktor: paradigma manusia terhadap alam, dan modernitas. Paradigma dalam hal ini mencakup cara manusia memahami dan berhubungan dengan alam.
Paradigma manusia terhadap alam menjadi penentu utama bagaimana manusia seharusnya memperlakukan alam. Cara pandang Cartesian menjadi persoalan utama atas gagalnya pembangunan yang bersifat ekologis.
Cara pandang ini telah mendominasi pola pikir masyarakat yang bersifat antroposentris; memanfaatkan alam untuk kepentingan manusia secara berlebihan dan pada akhirnya berdampak pada terjadinya eksploitasi alam secara terus-menerus dengan dalih pembangunan.
Dengan mendasarkan pada logika kapitalisme neo-liberal dari cara pandang Cartesian, mengakibatkan manusia mengutamakan diri sebagai homoeconomicus; di mana kepentingan akumulasi laba dapat terpenuhi tanpa memperhitungkan beragam kerusakan lingkungan yang ada. Penaklukan manusia terhadap alam semacam ini pernah ditulis oleh Francis Bacon tentang “Knowledge ittself is Power” dalam karyanya Meditations Sacrae and Human Philosophy (Bacon, 1597).
Selain itu, modernisme yang difahami manusia hari ini juga menjadi faktor penentu dari perilaku eksploitatif yang memberikan dampak kerusakan lingkungan. Bruno Latour mengilustrasikan modernisme tidak pada pemahaman tentang ‘periode waktu’ (an existing historical period) melainkan mengarah pada ‘suatu cara berpikir’ (the way of thingking).
Bagi Latour, kerusakan lingkungan dan masifnya pembangunan yang tidak memperhatikan hak tumbuh alam merupakan kasus yang diakibatkan oleh cara pandang yang keliru terhadap modernisasi. Selain Latour, Adorno dan Max Horkheimer juga menggugat dasar pemikiran modernisme, yang kerap difahami tentang kemajuan atau progresivitas (Horkheimer & Adorno, Dialectic of Enlightenment, 2002).
Alam yang dalam paradigma modern kerap difahami sebagai objek, seolah diarahkan untuk membebaskan manusia dengan menguasai alam sebebas-bebasnya. Yang terjadi, manusia justru diposisikan sebagai objek yang dikuasai alam (Bertens, 2013).
Horkheimer menunjukkan bagaimana pencerahan yang awalnya bergerak untuk membebaskan manusia dari cangkang mitos kemudian masuk ke cangkang ‘mitos baru’; positivisme, objektivisme, saintisme dan teknokratisme. Selain itu, ia juga mendesak transformasi keseluruhan fenomena sosial serta mengajak “… learn to look behind the facts: … to distinguish the superficial from the essential without minimizing the importance of either” (Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays, 1972).
Keterikatan manusia dan alam harus diletakkan sebagai sesuatu yang aktif dan mempunyai hubungan timbal-balik antara satu dengan lainnya (environmental possibilism) (Barrow, 2003). Dengan demikian, paradigma yang menganggap manusia dan alam adalah keterpisahan dan tidak saling terkait adalah hal yang menyesatkan (Fox, 1995).
Paradigma Baru
Gagalnya manusia dalam menciptakan stabilitas lingkungan serta kesadaran terhadap konservasi alam, merupakan akibat dari pola pikir pembangunan yang meletakkan lingkungan sebagai ‘ruang pengambilan’ atas sumber daya bumi untuk kepentingan jangka pendek (Stiglitz, 2006). Meski demikian, ekologi politik nampaknya dapat dijadikan sebagai ‘angin segar’ untuk menjawab pelbagai tekanan ekonomi politik yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam.
Paradigma manusia terhadap alam menjadi penentu utama bagaimana manusia seharusnya memperlakukan alam. Cara pandang Cartesian menjadi persoalan utama atas gagalnya pembangunan yang bersifat ekologis.
Cara pandang ini telah mendominasi pola pikir masyarakat yang bersifat antroposentris; memanfaatkan alam untuk kepentingan manusia secara berlebihan dan pada akhirnya berdampak pada terjadinya eksploitasi alam secara terus-menerus dengan dalih pembangunan.
Dengan mendasarkan pada logika kapitalisme neo-liberal dari cara pandang Cartesian, mengakibatkan manusia mengutamakan diri sebagai homoeconomicus; di mana kepentingan akumulasi laba dapat terpenuhi tanpa memperhitungkan beragam kerusakan lingkungan yang ada. Penaklukan manusia terhadap alam semacam ini pernah ditulis oleh Francis Bacon tentang “Knowledge ittself is Power” dalam karyanya Meditations Sacrae and Human Philosophy (Bacon, 1597).
Selain itu, modernisme yang difahami manusia hari ini juga menjadi faktor penentu dari perilaku eksploitatif yang memberikan dampak kerusakan lingkungan. Bruno Latour mengilustrasikan modernisme tidak pada pemahaman tentang ‘periode waktu’ (an existing historical period) melainkan mengarah pada ‘suatu cara berpikir’ (the way of thingking).
Bagi Latour, kerusakan lingkungan dan masifnya pembangunan yang tidak memperhatikan hak tumbuh alam merupakan kasus yang diakibatkan oleh cara pandang yang keliru terhadap modernisasi. Selain Latour, Adorno dan Max Horkheimer juga menggugat dasar pemikiran modernisme, yang kerap difahami tentang kemajuan atau progresivitas (Horkheimer & Adorno, Dialectic of Enlightenment, 2002).
Alam yang dalam paradigma modern kerap difahami sebagai objek, seolah diarahkan untuk membebaskan manusia dengan menguasai alam sebebas-bebasnya. Yang terjadi, manusia justru diposisikan sebagai objek yang dikuasai alam (Bertens, 2013).
Horkheimer menunjukkan bagaimana pencerahan yang awalnya bergerak untuk membebaskan manusia dari cangkang mitos kemudian masuk ke cangkang ‘mitos baru’; positivisme, objektivisme, saintisme dan teknokratisme. Selain itu, ia juga mendesak transformasi keseluruhan fenomena sosial serta mengajak “… learn to look behind the facts: … to distinguish the superficial from the essential without minimizing the importance of either” (Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays, 1972).
Keterikatan manusia dan alam harus diletakkan sebagai sesuatu yang aktif dan mempunyai hubungan timbal-balik antara satu dengan lainnya (environmental possibilism) (Barrow, 2003). Dengan demikian, paradigma yang menganggap manusia dan alam adalah keterpisahan dan tidak saling terkait adalah hal yang menyesatkan (Fox, 1995).
Paradigma Baru
Gagalnya manusia dalam menciptakan stabilitas lingkungan serta kesadaran terhadap konservasi alam, merupakan akibat dari pola pikir pembangunan yang meletakkan lingkungan sebagai ‘ruang pengambilan’ atas sumber daya bumi untuk kepentingan jangka pendek (Stiglitz, 2006). Meski demikian, ekologi politik nampaknya dapat dijadikan sebagai ‘angin segar’ untuk menjawab pelbagai tekanan ekonomi politik yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam.