Krisis Lingkungan dan Paradigma Baru Pengelolaan SDA
loading...
A
A
A
Gilang Ramadan
Center for Religious and Cross-Cultural Studies
Universitas Gadjah Mada
KERUSAKAN lingkungan yang berefek pada penderitaan manusia secara besar-besaran, akan menjadi catatan sejarah paling mengerikan dalam lanskap kehidupan umat manusia selama dasawarsa ke depan. Meski tidak secara tersurat tertulis, kerusakan lingkungan yang muncul, merupakan konsekuensi logis dari pembangunan neoliberalisme dan sistem ekonomi kapitalis, yang secara umum berlandaskan pada produksi untuk akumulasi laba.
Akumulasi laba dalam pengertian ini merupakan upaya untuk mencapai efisiensi penurunan biaya produksi, bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Di bawah logika efisiensi inilah, segala macam produksi mendapat legitimasi pembangunan ekonomi.
Digunakannya logika efisiensi, pada akhirnya berefek pada punahnya ribuan spesies biota makhluk hidup, yang secara langsung merupakan akibat dari alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi. Dalam neraca bisnis, cara yang demikian dianggap wajar dan absah.
Sebab, berapapun jumlah spesies yang punah tersebut, tidaklah masuk perhitungan biaya bisnis. Biaya bisnis dalam kategori ini berjalan di bawah spekrum bahwa sebuah bisnis bisa menekan biaya jual ‘murah’ tanpa harus memasukkan biaya konservasi biota terdampak, dan karenanya hal tersebut dinilai wajar.
Dalam logika kapitalisme, masyarakat sebagai target pasar dari pelaku bisnis, tentu akan memilih barang yang harganya lebih murah dibanding yang lebih mahal, meski di dalamnya terdapat biaya konservasi. Sistem kapitalisme semacam ini merupakan dampak dari ‘persaingan usaha bebas’, yang kemudian menjadi celah bagi pelaku bisnis untuk menekan biaya jual.
Dampaknya, selama tidak ada regulasi, perlindungan, dan keberpihakan negara pada yang terdampak tersebut, tentu sebuah bisnis akan memilih jalan efisien, dan terus melakukan eksploitasi terhadap alam. Bagi penulis, hal demikian adalah cacat logika dari sistem kapitalisme yang menempatkan akumulasi laba dan nilai penjualan menjadi acuan utama, tanpa memperhitungan permasalahan lingkungan yang muncul dikemudian hari.
Paradigma keilmuan yang bersifat sempit dan reduksionis—seperti yang terdapat dalam logika kapitalisme—memisahkan antara manusia dan lingkungan; menganggap bahwa lingkungan tidak tersentuh oleh aktivitas manusia (Haber, 2004). Tak dapat disangkal, keberlangsungan hidup manusia menuntut adanya produktivitas ekonomi yang berlangsung terus-menerus.
Semua kebutuhan manusia, diambil dari alam yang sebagian besar tidak terbaharukan. Jika dibiarkan secara simultan dan tak mengenal adanya pembatasan, kerusakan lingkungan pada akhirnya menjadi puncak dari usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebijakan pembangunan yang didominasi oleh modernisasi dan konsumerisme pemenuhan pasar, berdampak pada ketimpangan ekologis yang membabi buta.
Setelah memetakan kerentanan diskursus di atas, penulis berusaha untuk mengonstruk bentuk ketahanan adaptif yang menunjang sustainability pada sistem sosial. Meskipun dalam kategori tertentu, penulis akui bahwa penggunaan paradigma sistem ketahanan sosial belum sepenuhnya memadai untuk dijadikan sebagai bangun rancang dalam menganalisa persoalan ekologi, karena refleksi kapasitas manusia sangat kompleks bila diimplementasikan dalam tindakan sosial.
Yang dapat dijadikan pijakan awal untuk melihat fenomen ekologi di atas adalah meletakkan paradigma bahwa, kerusakan lingkungan setidaknya disebabkan oleh dua faktor: paradigma manusia terhadap alam, dan modernitas. Paradigma dalam hal ini mencakup cara manusia memahami dan berhubungan dengan alam.
Paradigma manusia terhadap alam menjadi penentu utama bagaimana manusia seharusnya memperlakukan alam. Cara pandang Cartesian menjadi persoalan utama atas gagalnya pembangunan yang bersifat ekologis.
Cara pandang ini telah mendominasi pola pikir masyarakat yang bersifat antroposentris; memanfaatkan alam untuk kepentingan manusia secara berlebihan dan pada akhirnya berdampak pada terjadinya eksploitasi alam secara terus-menerus dengan dalih pembangunan.
Dengan mendasarkan pada logika kapitalisme neo-liberal dari cara pandang Cartesian, mengakibatkan manusia mengutamakan diri sebagai homoeconomicus; di mana kepentingan akumulasi laba dapat terpenuhi tanpa memperhitungkan beragam kerusakan lingkungan yang ada. Penaklukan manusia terhadap alam semacam ini pernah ditulis oleh Francis Bacon tentang “Knowledge ittself is Power” dalam karyanya Meditations Sacrae and Human Philosophy (Bacon, 1597).
Selain itu, modernisme yang difahami manusia hari ini juga menjadi faktor penentu dari perilaku eksploitatif yang memberikan dampak kerusakan lingkungan. Bruno Latour mengilustrasikan modernisme tidak pada pemahaman tentang ‘periode waktu’ (an existing historical period) melainkan mengarah pada ‘suatu cara berpikir’ (the way of thingking).
Bagi Latour, kerusakan lingkungan dan masifnya pembangunan yang tidak memperhatikan hak tumbuh alam merupakan kasus yang diakibatkan oleh cara pandang yang keliru terhadap modernisasi. Selain Latour, Adorno dan Max Horkheimer juga menggugat dasar pemikiran modernisme, yang kerap difahami tentang kemajuan atau progresivitas (Horkheimer & Adorno, Dialectic of Enlightenment, 2002).
Alam yang dalam paradigma modern kerap difahami sebagai objek, seolah diarahkan untuk membebaskan manusia dengan menguasai alam sebebas-bebasnya. Yang terjadi, manusia justru diposisikan sebagai objek yang dikuasai alam (Bertens, 2013).
Horkheimer menunjukkan bagaimana pencerahan yang awalnya bergerak untuk membebaskan manusia dari cangkang mitos kemudian masuk ke cangkang ‘mitos baru’; positivisme, objektivisme, saintisme dan teknokratisme. Selain itu, ia juga mendesak transformasi keseluruhan fenomena sosial serta mengajak “… learn to look behind the facts: … to distinguish the superficial from the essential without minimizing the importance of either” (Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays, 1972).
Keterikatan manusia dan alam harus diletakkan sebagai sesuatu yang aktif dan mempunyai hubungan timbal-balik antara satu dengan lainnya (environmental possibilism) (Barrow, 2003). Dengan demikian, paradigma yang menganggap manusia dan alam adalah keterpisahan dan tidak saling terkait adalah hal yang menyesatkan (Fox, 1995).
Paradigma Baru
Gagalnya manusia dalam menciptakan stabilitas lingkungan serta kesadaran terhadap konservasi alam, merupakan akibat dari pola pikir pembangunan yang meletakkan lingkungan sebagai ‘ruang pengambilan’ atas sumber daya bumi untuk kepentingan jangka pendek (Stiglitz, 2006). Meski demikian, ekologi politik nampaknya dapat dijadikan sebagai ‘angin segar’ untuk menjawab pelbagai tekanan ekonomi politik yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam.
Berangkat dari asumsi bahwa permasalahan ekologis juga dipengaruhi oleh proses ekonomi-politik serta berdampak pada nilai sosial, maka ekologi politik dapat dijadikan sebagai opsi untuk mengatasi hilangnya kesadaran manusia terhadap lingkungan.
Ada beberapa asumsi yang coba diajukan Bailey dan Bryant terhadap kerusakan lingkungan dan kaitannya dengan ekologi politik; pertama, perbedaan ekonomi, politik dan sosial antarmanusia berperan dalam ketimpangan distribusi manfaat dan kerugian terhadap akses sumber daya yang dimiliki bumi. Kedua, kerusakan lingkungan juga mempengaruhi perubahan dalam kehidupan ekonomi, politik dan sosial manusia (Bailey & Bryant, 1997).
Ekologi politik dapat menggambarkan adanya ketidaksetaraan kuasa dan akses terhadap lingkungan beserta kerusakannya sekaligus menawarkan alternatif keseimbangan ekologis secara ekonomi-politik dalam pemanfaatannya. Maka dengan begitu, dalam kaitannya terhadap pemangku kebijakan dan regulasi politik, ekologi politik dapat menjadi jembatan dari permasalahan lingkungan yang ada tanpa harus mereduksi satu dengan lainnya.
Selain ekologi politik, ekologi ekonomi turut menjadi faktor yang penting untuk diperhitungkan. Cara pandang manusia modern yang masih berkutat dengan sistem ekonomi klasik menjadi penyebab dari hilangnya kesadaran manusia modern terhadap kelestarian lingkungan sekitarnya.
Sebagaimana jamak diketahui, sistem ekonomi klasik yang sering dipakai oleh Max Webber, Joseph Schumpeter, ataupun William Ashley, masih mengaksentuasikan pada konsep pertumbuhan (growth); mengukur keberhasilan produksi melebihi yang diperoleh sebelumnya; mengukur surplus produksi berdasarkan pada lebihnya surplus yang diraih; mengukur suksesnya produksi dengan meningkatnya nilai finansial.
Cara pandang ekonomi klasik di atas, menghiraukan tentang apa yang ada di lingkungan sekitarnya, tidak peduli terhadap yang lain, dan lebih mengutamakan transaksi surplus (yang penting untung). Jika demikian pemaknaannya, kelestarian lingkungan tidak lagi menjadi perhatian utama; menanggalkan kesadaran ekologi, dan memposisikan alam sebagai sesuatu yang sub-ordinat. Dampaknya, kerusakan alam dengan segala bentuk variannya menjadi hal yang tak terhindari.
Untuk meminimalisir krisis ekologi yang lebih parah, Kate Raworth menawarkan konsep ekonomi donat (doughnut economy), sebagai jalan pintas untuk mengevaluasi dan meninjau ulang penggunaan konsep ekonomi klasik. Menurut Raworth, embrio lahirnya ekonomi donat dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa, alam penting untuk diperhatikan dan dilestarikan habitusnya melebihi surplus finansial seperti yang ditekankan oleh ekonomi klasik (Raworth, 2019).
Raworth menyebut, konsep ekonomi donat tidak lagi memakai adagium ‘membuang sampah pada tempatnya’ melainkan ‘kelola sampah untuk produk selanjutnya’. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Reworth hendak mengantarkan pada kesimpulan, tujuan utama produksi dalam sistem ekonomi harus didudukkan setara (equality) dengan lestarinya habitus lingkungan sekitar, tidak mensubordinatkan alam, apalagi mengeksploitasinya.
Kesadaran ekologi ekonomi—doughnut economy—dalam bentuk inilah yang penting untuk terus didesiminasikan kelanjutannya, dengan tujuan untuk menjaga habitus lingkungan dan alam yang lebih lestari.
Bibliography:
- Bacon, F. (1597). Meditationes Sacrae and Human Philosophy. United States: Literary Licensing.
- Bailey, S., & Bryant, R. (1997). Third World Political Ecology. London : Routledge.
- Barrow, C. (2003). Environmental Change and Human Development: Controlling Nature? London: Arnold .
- Bertens, K. (2013). Sejarah Filsafat Kontemporer: Jerman dan Inggris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Fox, W. (1995). Toward a Transpersonal Ecology. New York: State University of New York Press.
- Haber, W. (2004). Landscape Ecology as a Bridge From Ecosystems to Human Ecology. Ecological Research Vol 19, 99-106.
- Horkheimer, M. (1972). Critical Theory: Selected Essays. New York: Seabury Press.
- Horkheimer, M., & Adorno, T. (2002). Dialectic of Enlightenment. Stanford : Stanford University Press.
- Raworth, K. (2019). Doughnut Economics for Thriving 21st Century. Green European Journal, 8-13.
- Stiglitz, J. E. (2006). Making Globalization Work. New York: W.W. Norton & Company.
Center for Religious and Cross-Cultural Studies
Universitas Gadjah Mada
KERUSAKAN lingkungan yang berefek pada penderitaan manusia secara besar-besaran, akan menjadi catatan sejarah paling mengerikan dalam lanskap kehidupan umat manusia selama dasawarsa ke depan. Meski tidak secara tersurat tertulis, kerusakan lingkungan yang muncul, merupakan konsekuensi logis dari pembangunan neoliberalisme dan sistem ekonomi kapitalis, yang secara umum berlandaskan pada produksi untuk akumulasi laba.
Akumulasi laba dalam pengertian ini merupakan upaya untuk mencapai efisiensi penurunan biaya produksi, bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Di bawah logika efisiensi inilah, segala macam produksi mendapat legitimasi pembangunan ekonomi.
Digunakannya logika efisiensi, pada akhirnya berefek pada punahnya ribuan spesies biota makhluk hidup, yang secara langsung merupakan akibat dari alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi. Dalam neraca bisnis, cara yang demikian dianggap wajar dan absah.
Sebab, berapapun jumlah spesies yang punah tersebut, tidaklah masuk perhitungan biaya bisnis. Biaya bisnis dalam kategori ini berjalan di bawah spekrum bahwa sebuah bisnis bisa menekan biaya jual ‘murah’ tanpa harus memasukkan biaya konservasi biota terdampak, dan karenanya hal tersebut dinilai wajar.
Dalam logika kapitalisme, masyarakat sebagai target pasar dari pelaku bisnis, tentu akan memilih barang yang harganya lebih murah dibanding yang lebih mahal, meski di dalamnya terdapat biaya konservasi. Sistem kapitalisme semacam ini merupakan dampak dari ‘persaingan usaha bebas’, yang kemudian menjadi celah bagi pelaku bisnis untuk menekan biaya jual.
Dampaknya, selama tidak ada regulasi, perlindungan, dan keberpihakan negara pada yang terdampak tersebut, tentu sebuah bisnis akan memilih jalan efisien, dan terus melakukan eksploitasi terhadap alam. Bagi penulis, hal demikian adalah cacat logika dari sistem kapitalisme yang menempatkan akumulasi laba dan nilai penjualan menjadi acuan utama, tanpa memperhitungan permasalahan lingkungan yang muncul dikemudian hari.
Paradigma keilmuan yang bersifat sempit dan reduksionis—seperti yang terdapat dalam logika kapitalisme—memisahkan antara manusia dan lingkungan; menganggap bahwa lingkungan tidak tersentuh oleh aktivitas manusia (Haber, 2004). Tak dapat disangkal, keberlangsungan hidup manusia menuntut adanya produktivitas ekonomi yang berlangsung terus-menerus.
Semua kebutuhan manusia, diambil dari alam yang sebagian besar tidak terbaharukan. Jika dibiarkan secara simultan dan tak mengenal adanya pembatasan, kerusakan lingkungan pada akhirnya menjadi puncak dari usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebijakan pembangunan yang didominasi oleh modernisasi dan konsumerisme pemenuhan pasar, berdampak pada ketimpangan ekologis yang membabi buta.
Setelah memetakan kerentanan diskursus di atas, penulis berusaha untuk mengonstruk bentuk ketahanan adaptif yang menunjang sustainability pada sistem sosial. Meskipun dalam kategori tertentu, penulis akui bahwa penggunaan paradigma sistem ketahanan sosial belum sepenuhnya memadai untuk dijadikan sebagai bangun rancang dalam menganalisa persoalan ekologi, karena refleksi kapasitas manusia sangat kompleks bila diimplementasikan dalam tindakan sosial.
Yang dapat dijadikan pijakan awal untuk melihat fenomen ekologi di atas adalah meletakkan paradigma bahwa, kerusakan lingkungan setidaknya disebabkan oleh dua faktor: paradigma manusia terhadap alam, dan modernitas. Paradigma dalam hal ini mencakup cara manusia memahami dan berhubungan dengan alam.
Paradigma manusia terhadap alam menjadi penentu utama bagaimana manusia seharusnya memperlakukan alam. Cara pandang Cartesian menjadi persoalan utama atas gagalnya pembangunan yang bersifat ekologis.
Cara pandang ini telah mendominasi pola pikir masyarakat yang bersifat antroposentris; memanfaatkan alam untuk kepentingan manusia secara berlebihan dan pada akhirnya berdampak pada terjadinya eksploitasi alam secara terus-menerus dengan dalih pembangunan.
Dengan mendasarkan pada logika kapitalisme neo-liberal dari cara pandang Cartesian, mengakibatkan manusia mengutamakan diri sebagai homoeconomicus; di mana kepentingan akumulasi laba dapat terpenuhi tanpa memperhitungkan beragam kerusakan lingkungan yang ada. Penaklukan manusia terhadap alam semacam ini pernah ditulis oleh Francis Bacon tentang “Knowledge ittself is Power” dalam karyanya Meditations Sacrae and Human Philosophy (Bacon, 1597).
Selain itu, modernisme yang difahami manusia hari ini juga menjadi faktor penentu dari perilaku eksploitatif yang memberikan dampak kerusakan lingkungan. Bruno Latour mengilustrasikan modernisme tidak pada pemahaman tentang ‘periode waktu’ (an existing historical period) melainkan mengarah pada ‘suatu cara berpikir’ (the way of thingking).
Bagi Latour, kerusakan lingkungan dan masifnya pembangunan yang tidak memperhatikan hak tumbuh alam merupakan kasus yang diakibatkan oleh cara pandang yang keliru terhadap modernisasi. Selain Latour, Adorno dan Max Horkheimer juga menggugat dasar pemikiran modernisme, yang kerap difahami tentang kemajuan atau progresivitas (Horkheimer & Adorno, Dialectic of Enlightenment, 2002).
Alam yang dalam paradigma modern kerap difahami sebagai objek, seolah diarahkan untuk membebaskan manusia dengan menguasai alam sebebas-bebasnya. Yang terjadi, manusia justru diposisikan sebagai objek yang dikuasai alam (Bertens, 2013).
Horkheimer menunjukkan bagaimana pencerahan yang awalnya bergerak untuk membebaskan manusia dari cangkang mitos kemudian masuk ke cangkang ‘mitos baru’; positivisme, objektivisme, saintisme dan teknokratisme. Selain itu, ia juga mendesak transformasi keseluruhan fenomena sosial serta mengajak “… learn to look behind the facts: … to distinguish the superficial from the essential without minimizing the importance of either” (Horkheimer, Critical Theory: Selected Essays, 1972).
Keterikatan manusia dan alam harus diletakkan sebagai sesuatu yang aktif dan mempunyai hubungan timbal-balik antara satu dengan lainnya (environmental possibilism) (Barrow, 2003). Dengan demikian, paradigma yang menganggap manusia dan alam adalah keterpisahan dan tidak saling terkait adalah hal yang menyesatkan (Fox, 1995).
Paradigma Baru
Gagalnya manusia dalam menciptakan stabilitas lingkungan serta kesadaran terhadap konservasi alam, merupakan akibat dari pola pikir pembangunan yang meletakkan lingkungan sebagai ‘ruang pengambilan’ atas sumber daya bumi untuk kepentingan jangka pendek (Stiglitz, 2006). Meski demikian, ekologi politik nampaknya dapat dijadikan sebagai ‘angin segar’ untuk menjawab pelbagai tekanan ekonomi politik yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam.
Berangkat dari asumsi bahwa permasalahan ekologis juga dipengaruhi oleh proses ekonomi-politik serta berdampak pada nilai sosial, maka ekologi politik dapat dijadikan sebagai opsi untuk mengatasi hilangnya kesadaran manusia terhadap lingkungan.
Ada beberapa asumsi yang coba diajukan Bailey dan Bryant terhadap kerusakan lingkungan dan kaitannya dengan ekologi politik; pertama, perbedaan ekonomi, politik dan sosial antarmanusia berperan dalam ketimpangan distribusi manfaat dan kerugian terhadap akses sumber daya yang dimiliki bumi. Kedua, kerusakan lingkungan juga mempengaruhi perubahan dalam kehidupan ekonomi, politik dan sosial manusia (Bailey & Bryant, 1997).
Ekologi politik dapat menggambarkan adanya ketidaksetaraan kuasa dan akses terhadap lingkungan beserta kerusakannya sekaligus menawarkan alternatif keseimbangan ekologis secara ekonomi-politik dalam pemanfaatannya. Maka dengan begitu, dalam kaitannya terhadap pemangku kebijakan dan regulasi politik, ekologi politik dapat menjadi jembatan dari permasalahan lingkungan yang ada tanpa harus mereduksi satu dengan lainnya.
Selain ekologi politik, ekologi ekonomi turut menjadi faktor yang penting untuk diperhitungkan. Cara pandang manusia modern yang masih berkutat dengan sistem ekonomi klasik menjadi penyebab dari hilangnya kesadaran manusia modern terhadap kelestarian lingkungan sekitarnya.
Sebagaimana jamak diketahui, sistem ekonomi klasik yang sering dipakai oleh Max Webber, Joseph Schumpeter, ataupun William Ashley, masih mengaksentuasikan pada konsep pertumbuhan (growth); mengukur keberhasilan produksi melebihi yang diperoleh sebelumnya; mengukur surplus produksi berdasarkan pada lebihnya surplus yang diraih; mengukur suksesnya produksi dengan meningkatnya nilai finansial.
Cara pandang ekonomi klasik di atas, menghiraukan tentang apa yang ada di lingkungan sekitarnya, tidak peduli terhadap yang lain, dan lebih mengutamakan transaksi surplus (yang penting untung). Jika demikian pemaknaannya, kelestarian lingkungan tidak lagi menjadi perhatian utama; menanggalkan kesadaran ekologi, dan memposisikan alam sebagai sesuatu yang sub-ordinat. Dampaknya, kerusakan alam dengan segala bentuk variannya menjadi hal yang tak terhindari.
Untuk meminimalisir krisis ekologi yang lebih parah, Kate Raworth menawarkan konsep ekonomi donat (doughnut economy), sebagai jalan pintas untuk mengevaluasi dan meninjau ulang penggunaan konsep ekonomi klasik. Menurut Raworth, embrio lahirnya ekonomi donat dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa, alam penting untuk diperhatikan dan dilestarikan habitusnya melebihi surplus finansial seperti yang ditekankan oleh ekonomi klasik (Raworth, 2019).
Raworth menyebut, konsep ekonomi donat tidak lagi memakai adagium ‘membuang sampah pada tempatnya’ melainkan ‘kelola sampah untuk produk selanjutnya’. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Reworth hendak mengantarkan pada kesimpulan, tujuan utama produksi dalam sistem ekonomi harus didudukkan setara (equality) dengan lestarinya habitus lingkungan sekitar, tidak mensubordinatkan alam, apalagi mengeksploitasinya.
Kesadaran ekologi ekonomi—doughnut economy—dalam bentuk inilah yang penting untuk terus didesiminasikan kelanjutannya, dengan tujuan untuk menjaga habitus lingkungan dan alam yang lebih lestari.
Bibliography:
- Bacon, F. (1597). Meditationes Sacrae and Human Philosophy. United States: Literary Licensing.
- Bailey, S., & Bryant, R. (1997). Third World Political Ecology. London : Routledge.
- Barrow, C. (2003). Environmental Change and Human Development: Controlling Nature? London: Arnold .
- Bertens, K. (2013). Sejarah Filsafat Kontemporer: Jerman dan Inggris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Fox, W. (1995). Toward a Transpersonal Ecology. New York: State University of New York Press.
- Haber, W. (2004). Landscape Ecology as a Bridge From Ecosystems to Human Ecology. Ecological Research Vol 19, 99-106.
- Horkheimer, M. (1972). Critical Theory: Selected Essays. New York: Seabury Press.
- Horkheimer, M., & Adorno, T. (2002). Dialectic of Enlightenment. Stanford : Stanford University Press.
- Raworth, K. (2019). Doughnut Economics for Thriving 21st Century. Green European Journal, 8-13.
- Stiglitz, J. E. (2006). Making Globalization Work. New York: W.W. Norton & Company.
(poe)