Di Bawah Payung Sirkuit The New Normal, Marwan: Kita Pacu Industrialisasi
loading...
A
A
A
Tentunya, lanjutnya, untuk menjadi negara tujuan, Indonesia sendiri harus berani bersaing pula dengan negara-negara lain seperti India, Thailand, Vietnam dan Filipina.
Selain itu, Indonesia juga memiliki nilai kompetitif sebagai negara tujuan, yakni harga lahan yang relatif murah dan menjaga fluktuasi upah tenaga kerja yang seharusnya lebih murah dari negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
"Kenaikan upah harusnya dijaga rasionalitasnya sehingga tidak kalah saing dengan negara-negara kompetitor. Rilis media menyebutkan, hampir setiap tahun kenaikan upah tenaga kerja di Indonesia mencapai 7 hingga 8 persen, sedangkan kenaikan upah di negara-negara seperti Vietnam maupun India hanya berkisar 4 hingga 5 persen", imbuhnya.
Faktor lainnya adalah menjaga ketersediaan infrastruktur jaringan logistik, penyederhanaan birokrasi dan jaminan keamanan serta regulasi yang tak berubah-ubah.
"Dengan potensi yang kita miliki inilah investor dari negara-negara lain diharapkan berbondong-bondong mengalihkan investasinya ke lokasi Indonesia" lanjutnya.
Selain itu, masih kata Marwan, perlu mempertimbangkan insentif yang tepat untuk industri manufaktur. Insentif juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing industri untuk jangka panjang.
"Industri farmasi perlu didorong menjadi pilar penting pembangunan kesehatan nasional. Terkait ini, perlu pengembangan sumber daya alam nasional yang begitu melimpah sebagai bahan baku obat-obatan maupun alat kesehatan sehingga dapat mengurangi ketergantungan import. Ketergantungan yang tinggi membuat daya saing nasional terus tergerus karena lemahnya posisi tawar terhadap importir," kata legislator dari Pati ini.
Berbagai upaya yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana dirilis media, PT Kimia Farma (Persero) Tbk telah berupaya memproduksi bahan baku obat (BBO) sejak 2016 melalui anak usahanya PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP), perlu terus didorong dan diikuti oleh pihak lainnya sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor.
Salah satu caranya, lanjutnya adalah melibatkan kampus-kampus dan lembaga ilmiah lainnya untuk lakukan kajian mendalam terhadap kekayaan sumber daya alam nasional yang dibarengi dengan kerjasama industri-industri farmasi nasional sehingga ke depan tidak lagi bergantung pada bahan baku obat-obatan dan alat kesehatan pada impor.
"Kita memiliki SDM seperti kampus-kampus dan lembaga ilmiah lainnya yang perlu terus-menerus digandeng untuk kembangkan temuan-temuan bahan baku obat dari sumber daya alam yang melimpah sehingga tak impor bahan baku lagi. Bangsa kita harusnya menjadi eksportir, sebab hampir semua bangsa imperium di dunia adalah menjadi eksportir," katanya.
Selain itu, Indonesia juga memiliki nilai kompetitif sebagai negara tujuan, yakni harga lahan yang relatif murah dan menjaga fluktuasi upah tenaga kerja yang seharusnya lebih murah dari negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
"Kenaikan upah harusnya dijaga rasionalitasnya sehingga tidak kalah saing dengan negara-negara kompetitor. Rilis media menyebutkan, hampir setiap tahun kenaikan upah tenaga kerja di Indonesia mencapai 7 hingga 8 persen, sedangkan kenaikan upah di negara-negara seperti Vietnam maupun India hanya berkisar 4 hingga 5 persen", imbuhnya.
Faktor lainnya adalah menjaga ketersediaan infrastruktur jaringan logistik, penyederhanaan birokrasi dan jaminan keamanan serta regulasi yang tak berubah-ubah.
"Dengan potensi yang kita miliki inilah investor dari negara-negara lain diharapkan berbondong-bondong mengalihkan investasinya ke lokasi Indonesia" lanjutnya.
Selain itu, masih kata Marwan, perlu mempertimbangkan insentif yang tepat untuk industri manufaktur. Insentif juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing industri untuk jangka panjang.
"Industri farmasi perlu didorong menjadi pilar penting pembangunan kesehatan nasional. Terkait ini, perlu pengembangan sumber daya alam nasional yang begitu melimpah sebagai bahan baku obat-obatan maupun alat kesehatan sehingga dapat mengurangi ketergantungan import. Ketergantungan yang tinggi membuat daya saing nasional terus tergerus karena lemahnya posisi tawar terhadap importir," kata legislator dari Pati ini.
Berbagai upaya yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana dirilis media, PT Kimia Farma (Persero) Tbk telah berupaya memproduksi bahan baku obat (BBO) sejak 2016 melalui anak usahanya PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP), perlu terus didorong dan diikuti oleh pihak lainnya sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor.
Salah satu caranya, lanjutnya adalah melibatkan kampus-kampus dan lembaga ilmiah lainnya untuk lakukan kajian mendalam terhadap kekayaan sumber daya alam nasional yang dibarengi dengan kerjasama industri-industri farmasi nasional sehingga ke depan tidak lagi bergantung pada bahan baku obat-obatan dan alat kesehatan pada impor.
"Kita memiliki SDM seperti kampus-kampus dan lembaga ilmiah lainnya yang perlu terus-menerus digandeng untuk kembangkan temuan-temuan bahan baku obat dari sumber daya alam yang melimpah sehingga tak impor bahan baku lagi. Bangsa kita harusnya menjadi eksportir, sebab hampir semua bangsa imperium di dunia adalah menjadi eksportir," katanya.