Di Bawah Payung Sirkuit The New Normal, Marwan: Kita Pacu Industrialisasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Untuk membangkitkan kembali dunia industri di Era Normal Baru (The New Normal) diakui tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Meski di sirkuit yang berkelok-kelok, naik-turun, tikungan tajam, licin dan cuaca yang belum bersahabat, industrialisasi harus berjalan dalam rangka menapaki tatanan era baru di arena persaingan global.
Anggota Komisi VI DPR Marwan Jafar mengusulkan langkah-langkah strategis untuk menggenjot industrialisasi bidang-bidang. Perlunya memacu kebijakan akselerasi industri ruralisasi berskala menengah dan besar, baik di sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan serta sektor agrobisnis lainnya.
"Sudah berkali-kali, sektor ruralisasi ini saya sampaikan atau usulkan, baik melalui forum virtual maupun media massa. Program ruralisasi itu punya nilai strategis dan berkelanjutsn, untuk saat ini dan dimasa yang akan datang, termasuk tahan banting terhadap bencana, terutama bencana non alam, seperti pandemi Covid-19 yang sekarang mewabah secara global," kata Marwan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/6/2020).
Oleh karena itu,kata dia, sudah selayaknya dan seharusnya program ruralisasi, terutama yang berskala menengah dan besar menjadi program andalan dan unggulan pemerintah, mengingat potensi sumber daya kita luar biasa besar. Termasuk untuk menekan impor, dan mendorong ekspor secara maksimal.
"Sebab itulah evalusi dan merubah RPJMN kita dengan memasukkan program ruralisasi, sangatlah penting dan strategis," katanya.
Lanjutnya, kinerja industri sawit di Kalimantan, misalnya tetap tahan banting, tak terganggu pandemei Covid-19, dengan harga pembelian TBS di tingkat petani juga masih di kisaran angka Rp1.200-Rp1.300 per kg. Industri sawit masih dibutuhkan dunia. "Eropa masih menggunakan bahan baku minyak sawit untuk membuat sanitizer," ujarnya.
Selain itu, kata dia, pengembangan sektor perikanan perlu terus didorong ke orientasi industri yang dapat meningkatkan kebutuhan eksport. Laporan media menyebutkan, total ekspor produk perikanan Indonesia pada lima tahun terakhir tercatat mencapai USD 3,60 miliar, dimana Amerika Serikat merupakan tujuan ekspor terbesar produk perikanan Indonesia mencapai USD 1,44 miliar.
"Demikian pula sektor agribisnis nasional, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), laju pertumbuhan agribisnis pada kuartal II 2018 mencapai 4,76 persen melonjak dari 3,23 persen pada kuartal yang sama di 2017," kata politikus PKB ini.
"Industri ruralisasi di sektor-sektor andalan tersebut tidak bisa ditawar lagi. Ini menjadi payung sirkuit yang diharapkan tahan banting, siap memacu kendaraan menyusuri arena balap yang berkelok-kelok mencapai titik finis. Ke depan, kita harapkan dapat ekapor, bukan hanya berupa bahan baku, namun berupa hasil produksi", tegasnya.
Perlu pengembangan industri ritel, karena sepanjang catatan sebelum pandemi Covid-19, sektor ini mengalami trend yang positif. Data Kementerian Perdagangan periode 2018-2019 menunjukkan, pertumbuhan industri ritel modern, khususnya konsumsi barang kebutuhan sehari–hari atau fast moving consumer goods (FCMG) terlihat menggembirakan, yakni sebesar 6,6 persen format minimarket tumbuh 12,1 persen, format supermarket dan hypermarket -6,8 persen.
"Memacu sektor Industri kreatif. Sektor ini memerlukan pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu. Karenanya, harus kita dorong dua hal sekaligus, yakni untuk menciptakan kesejahteraan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu pelaku," tuturnya.
Sektor lain juga perlu mendapat perhatian serius, seperti arsitektur dalam pembuatan Town Planning, Urban Design, Landscape Architecture dan detail arsitektur taman, desain interior, sektor periklanan yang berbasis teknologi seperti: sektor industri permainan, industri musik, layanan komputer dan perangkat lunak.
"Semuanya berbasis high technology digital yang sangat potensial untuk dikembangkan di The New Normal dan pasca pandemi kelak", tegasnya.
Perlu pengembangan industri manufaktur dan melanjutkan peringkat terbaik basis industri manufaktur terbesar se-ASEAN. Data yang terekspos media menunjukkan, kontribusi industri manufaktur kita mencapai 20,27% pada perekonomian skala nasional.
"Kita apresiasi dan dorong meningkatkan kontribusinya di tengah era The New Normal idan pasca Covid-19 nanti," kata mantan Menteri PDTT ini.
Bagi Marwan, pemerintah juga perlu terus melakukan transformasi dan pengembangan perekonomian industri non migas sehingga menggeser peran commodity based menuju manufacture based yang berefek berantai pada ekonomi nasional.
Data yang dilansir Media menunjukkan, sektor yang selama ini memiliki persentase kinerja di atas PDB secara nasional, menurut Kementerian Perindustrian diantaranya industri logam dasar sebesar 9,94 persen, industri tekstil dan pakaian jadi sebesar 7,53 persen, serta industri alat angkutan sebesar 6,33 persen.
"Negara harus terus meningkatkan daya beli masyarakat agar proses produksi juga meningkat sesuai dengan permintaan," kata Koordinator The Independent Cummunity for Peace and Hummanity ini.
Perlu penyiapan Indonesia sebagai negara tujuan relokasi industri. Peluang emas ini harus dimanfaatkan oleh negara kita dengan berbagai pertimbangan, antara lain: Indonesia merupakan pasar yang potensial dan besar bagi dunia.
"Investor luar negeri juga menganggap Indonesia sebagai negara dengan potensi pertumbuhan pasar yang besar. Para investor dari berbagai negara, baik Asia seperti Jepang, Cina, Asia Tenggara, seperti Thailand, Singapura, Benua Amerika dan Eropa serta Timur Tengah tentu harus diyakinkan, Indonesia merupakan pasar yang begitu besar," terangnya.
Tentunya, lanjutnya, untuk menjadi negara tujuan, Indonesia sendiri harus berani bersaing pula dengan negara-negara lain seperti India, Thailand, Vietnam dan Filipina.
Selain itu, Indonesia juga memiliki nilai kompetitif sebagai negara tujuan, yakni harga lahan yang relatif murah dan menjaga fluktuasi upah tenaga kerja yang seharusnya lebih murah dari negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
"Kenaikan upah harusnya dijaga rasionalitasnya sehingga tidak kalah saing dengan negara-negara kompetitor. Rilis media menyebutkan, hampir setiap tahun kenaikan upah tenaga kerja di Indonesia mencapai 7 hingga 8 persen, sedangkan kenaikan upah di negara-negara seperti Vietnam maupun India hanya berkisar 4 hingga 5 persen", imbuhnya.
Faktor lainnya adalah menjaga ketersediaan infrastruktur jaringan logistik, penyederhanaan birokrasi dan jaminan keamanan serta regulasi yang tak berubah-ubah.
"Dengan potensi yang kita miliki inilah investor dari negara-negara lain diharapkan berbondong-bondong mengalihkan investasinya ke lokasi Indonesia" lanjutnya.
Selain itu, masih kata Marwan, perlu mempertimbangkan insentif yang tepat untuk industri manufaktur. Insentif juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing industri untuk jangka panjang.
"Industri farmasi perlu didorong menjadi pilar penting pembangunan kesehatan nasional. Terkait ini, perlu pengembangan sumber daya alam nasional yang begitu melimpah sebagai bahan baku obat-obatan maupun alat kesehatan sehingga dapat mengurangi ketergantungan import. Ketergantungan yang tinggi membuat daya saing nasional terus tergerus karena lemahnya posisi tawar terhadap importir," kata legislator dari Pati ini.
Berbagai upaya yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana dirilis media, PT Kimia Farma (Persero) Tbk telah berupaya memproduksi bahan baku obat (BBO) sejak 2016 melalui anak usahanya PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP), perlu terus didorong dan diikuti oleh pihak lainnya sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor.
Salah satu caranya, lanjutnya adalah melibatkan kampus-kampus dan lembaga ilmiah lainnya untuk lakukan kajian mendalam terhadap kekayaan sumber daya alam nasional yang dibarengi dengan kerjasama industri-industri farmasi nasional sehingga ke depan tidak lagi bergantung pada bahan baku obat-obatan dan alat kesehatan pada impor.
"Kita memiliki SDM seperti kampus-kampus dan lembaga ilmiah lainnya yang perlu terus-menerus digandeng untuk kembangkan temuan-temuan bahan baku obat dari sumber daya alam yang melimpah sehingga tak impor bahan baku lagi. Bangsa kita harusnya menjadi eksportir, sebab hampir semua bangsa imperium di dunia adalah menjadi eksportir," katanya.
Perlu antisipasi pengembangan bidang industri pariwisata, restoran, perhotelan dan sektor pendukung lainnya seperti industri event organizer. Bidang ini menjadi strategis untuk dikembangkan di era The New Normal, bukan saja untuk recovery ekonomi yang berefek pada devisa, namun sekaligus menampung banyaknya tenaga kerja dan menggerakkan pelaku ekonomi sektor informal.
"Harus ada upaya kreatif untuk menggalakkan sektor-sektor tersebut agar ekonomi nasional segera recovery. Taruhlah misalnya, menggandeng artis-artis bertaraf internasional untuk promosi pariwisata nasional kita, baik secara virtual maupun secara langsung. Tentu di era The New Normal ini tetap tegakkan disiplin protokol kesehatan pandemi covid-19", tandasnya.
Perlu pengembangan high technology telekomunikasi untuk mensuport sektor-sektor lainnya, termasuk pendidikan.
Di era The New Normal, lanjutnya, perlu dipikirkan pengembangan jaringan hingga ke pelosok Desa. Sebab, pemanfaatan jaringan telekomunikasi ini tidak bisa ditawar-tawar lagi menjadi kebutuhan masyarakat di hampir semua sektor.
"Perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang efektif dan efesien berbasis teknologi telekomunikasi, sekaligus membantu sarana-prasarana pembelajaran bagi lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pesantren di daerah-daerah yang kurang memiliki akses telekomunikasi," tegasnya.
Selain itu, lanjutnya, pencanangan program Startup unicorn untuk melatih dan mengembangkan talenta lokal dalam membangun startup, sekaligus pengembangan bidang bisnis lainnya juga perlu ditingkatkan supaya memberikan dampak pada penyerapan tenaga kerja, baik di masa The New Normal maupun pasca pandemi.
Anggota Komisi VI DPR Marwan Jafar mengusulkan langkah-langkah strategis untuk menggenjot industrialisasi bidang-bidang. Perlunya memacu kebijakan akselerasi industri ruralisasi berskala menengah dan besar, baik di sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan serta sektor agrobisnis lainnya.
"Sudah berkali-kali, sektor ruralisasi ini saya sampaikan atau usulkan, baik melalui forum virtual maupun media massa. Program ruralisasi itu punya nilai strategis dan berkelanjutsn, untuk saat ini dan dimasa yang akan datang, termasuk tahan banting terhadap bencana, terutama bencana non alam, seperti pandemi Covid-19 yang sekarang mewabah secara global," kata Marwan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/6/2020).
Oleh karena itu,kata dia, sudah selayaknya dan seharusnya program ruralisasi, terutama yang berskala menengah dan besar menjadi program andalan dan unggulan pemerintah, mengingat potensi sumber daya kita luar biasa besar. Termasuk untuk menekan impor, dan mendorong ekspor secara maksimal.
"Sebab itulah evalusi dan merubah RPJMN kita dengan memasukkan program ruralisasi, sangatlah penting dan strategis," katanya.
Lanjutnya, kinerja industri sawit di Kalimantan, misalnya tetap tahan banting, tak terganggu pandemei Covid-19, dengan harga pembelian TBS di tingkat petani juga masih di kisaran angka Rp1.200-Rp1.300 per kg. Industri sawit masih dibutuhkan dunia. "Eropa masih menggunakan bahan baku minyak sawit untuk membuat sanitizer," ujarnya.
Selain itu, kata dia, pengembangan sektor perikanan perlu terus didorong ke orientasi industri yang dapat meningkatkan kebutuhan eksport. Laporan media menyebutkan, total ekspor produk perikanan Indonesia pada lima tahun terakhir tercatat mencapai USD 3,60 miliar, dimana Amerika Serikat merupakan tujuan ekspor terbesar produk perikanan Indonesia mencapai USD 1,44 miliar.
"Demikian pula sektor agribisnis nasional, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), laju pertumbuhan agribisnis pada kuartal II 2018 mencapai 4,76 persen melonjak dari 3,23 persen pada kuartal yang sama di 2017," kata politikus PKB ini.
"Industri ruralisasi di sektor-sektor andalan tersebut tidak bisa ditawar lagi. Ini menjadi payung sirkuit yang diharapkan tahan banting, siap memacu kendaraan menyusuri arena balap yang berkelok-kelok mencapai titik finis. Ke depan, kita harapkan dapat ekapor, bukan hanya berupa bahan baku, namun berupa hasil produksi", tegasnya.
Perlu pengembangan industri ritel, karena sepanjang catatan sebelum pandemi Covid-19, sektor ini mengalami trend yang positif. Data Kementerian Perdagangan periode 2018-2019 menunjukkan, pertumbuhan industri ritel modern, khususnya konsumsi barang kebutuhan sehari–hari atau fast moving consumer goods (FCMG) terlihat menggembirakan, yakni sebesar 6,6 persen format minimarket tumbuh 12,1 persen, format supermarket dan hypermarket -6,8 persen.
"Memacu sektor Industri kreatif. Sektor ini memerlukan pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu. Karenanya, harus kita dorong dua hal sekaligus, yakni untuk menciptakan kesejahteraan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu pelaku," tuturnya.
Sektor lain juga perlu mendapat perhatian serius, seperti arsitektur dalam pembuatan Town Planning, Urban Design, Landscape Architecture dan detail arsitektur taman, desain interior, sektor periklanan yang berbasis teknologi seperti: sektor industri permainan, industri musik, layanan komputer dan perangkat lunak.
"Semuanya berbasis high technology digital yang sangat potensial untuk dikembangkan di The New Normal dan pasca pandemi kelak", tegasnya.
Perlu pengembangan industri manufaktur dan melanjutkan peringkat terbaik basis industri manufaktur terbesar se-ASEAN. Data yang terekspos media menunjukkan, kontribusi industri manufaktur kita mencapai 20,27% pada perekonomian skala nasional.
"Kita apresiasi dan dorong meningkatkan kontribusinya di tengah era The New Normal idan pasca Covid-19 nanti," kata mantan Menteri PDTT ini.
Bagi Marwan, pemerintah juga perlu terus melakukan transformasi dan pengembangan perekonomian industri non migas sehingga menggeser peran commodity based menuju manufacture based yang berefek berantai pada ekonomi nasional.
Data yang dilansir Media menunjukkan, sektor yang selama ini memiliki persentase kinerja di atas PDB secara nasional, menurut Kementerian Perindustrian diantaranya industri logam dasar sebesar 9,94 persen, industri tekstil dan pakaian jadi sebesar 7,53 persen, serta industri alat angkutan sebesar 6,33 persen.
"Negara harus terus meningkatkan daya beli masyarakat agar proses produksi juga meningkat sesuai dengan permintaan," kata Koordinator The Independent Cummunity for Peace and Hummanity ini.
Perlu penyiapan Indonesia sebagai negara tujuan relokasi industri. Peluang emas ini harus dimanfaatkan oleh negara kita dengan berbagai pertimbangan, antara lain: Indonesia merupakan pasar yang potensial dan besar bagi dunia.
"Investor luar negeri juga menganggap Indonesia sebagai negara dengan potensi pertumbuhan pasar yang besar. Para investor dari berbagai negara, baik Asia seperti Jepang, Cina, Asia Tenggara, seperti Thailand, Singapura, Benua Amerika dan Eropa serta Timur Tengah tentu harus diyakinkan, Indonesia merupakan pasar yang begitu besar," terangnya.
Tentunya, lanjutnya, untuk menjadi negara tujuan, Indonesia sendiri harus berani bersaing pula dengan negara-negara lain seperti India, Thailand, Vietnam dan Filipina.
Selain itu, Indonesia juga memiliki nilai kompetitif sebagai negara tujuan, yakni harga lahan yang relatif murah dan menjaga fluktuasi upah tenaga kerja yang seharusnya lebih murah dari negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
"Kenaikan upah harusnya dijaga rasionalitasnya sehingga tidak kalah saing dengan negara-negara kompetitor. Rilis media menyebutkan, hampir setiap tahun kenaikan upah tenaga kerja di Indonesia mencapai 7 hingga 8 persen, sedangkan kenaikan upah di negara-negara seperti Vietnam maupun India hanya berkisar 4 hingga 5 persen", imbuhnya.
Faktor lainnya adalah menjaga ketersediaan infrastruktur jaringan logistik, penyederhanaan birokrasi dan jaminan keamanan serta regulasi yang tak berubah-ubah.
"Dengan potensi yang kita miliki inilah investor dari negara-negara lain diharapkan berbondong-bondong mengalihkan investasinya ke lokasi Indonesia" lanjutnya.
Selain itu, masih kata Marwan, perlu mempertimbangkan insentif yang tepat untuk industri manufaktur. Insentif juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing industri untuk jangka panjang.
"Industri farmasi perlu didorong menjadi pilar penting pembangunan kesehatan nasional. Terkait ini, perlu pengembangan sumber daya alam nasional yang begitu melimpah sebagai bahan baku obat-obatan maupun alat kesehatan sehingga dapat mengurangi ketergantungan import. Ketergantungan yang tinggi membuat daya saing nasional terus tergerus karena lemahnya posisi tawar terhadap importir," kata legislator dari Pati ini.
Berbagai upaya yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana dirilis media, PT Kimia Farma (Persero) Tbk telah berupaya memproduksi bahan baku obat (BBO) sejak 2016 melalui anak usahanya PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP), perlu terus didorong dan diikuti oleh pihak lainnya sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor.
Salah satu caranya, lanjutnya adalah melibatkan kampus-kampus dan lembaga ilmiah lainnya untuk lakukan kajian mendalam terhadap kekayaan sumber daya alam nasional yang dibarengi dengan kerjasama industri-industri farmasi nasional sehingga ke depan tidak lagi bergantung pada bahan baku obat-obatan dan alat kesehatan pada impor.
"Kita memiliki SDM seperti kampus-kampus dan lembaga ilmiah lainnya yang perlu terus-menerus digandeng untuk kembangkan temuan-temuan bahan baku obat dari sumber daya alam yang melimpah sehingga tak impor bahan baku lagi. Bangsa kita harusnya menjadi eksportir, sebab hampir semua bangsa imperium di dunia adalah menjadi eksportir," katanya.
Perlu antisipasi pengembangan bidang industri pariwisata, restoran, perhotelan dan sektor pendukung lainnya seperti industri event organizer. Bidang ini menjadi strategis untuk dikembangkan di era The New Normal, bukan saja untuk recovery ekonomi yang berefek pada devisa, namun sekaligus menampung banyaknya tenaga kerja dan menggerakkan pelaku ekonomi sektor informal.
"Harus ada upaya kreatif untuk menggalakkan sektor-sektor tersebut agar ekonomi nasional segera recovery. Taruhlah misalnya, menggandeng artis-artis bertaraf internasional untuk promosi pariwisata nasional kita, baik secara virtual maupun secara langsung. Tentu di era The New Normal ini tetap tegakkan disiplin protokol kesehatan pandemi covid-19", tandasnya.
Perlu pengembangan high technology telekomunikasi untuk mensuport sektor-sektor lainnya, termasuk pendidikan.
Di era The New Normal, lanjutnya, perlu dipikirkan pengembangan jaringan hingga ke pelosok Desa. Sebab, pemanfaatan jaringan telekomunikasi ini tidak bisa ditawar-tawar lagi menjadi kebutuhan masyarakat di hampir semua sektor.
"Perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang efektif dan efesien berbasis teknologi telekomunikasi, sekaligus membantu sarana-prasarana pembelajaran bagi lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pesantren di daerah-daerah yang kurang memiliki akses telekomunikasi," tegasnya.
Selain itu, lanjutnya, pencanangan program Startup unicorn untuk melatih dan mengembangkan talenta lokal dalam membangun startup, sekaligus pengembangan bidang bisnis lainnya juga perlu ditingkatkan supaya memberikan dampak pada penyerapan tenaga kerja, baik di masa The New Normal maupun pasca pandemi.
(mhd)