Mengatasi Pandemi, Menyuburkan Pertumbuhan Ekonomi
loading...
A
A
A
Tentu, pertumbuhan ekonomi bisa tertekan. Oleh karena itu, pemerintah telah menambah Rp225,54 triliun sebagai anggaran program PEN dari Rp699,43 triliun menjadi Rp924,97 triliun. Anggaran itu untuk membiaya program Perlindungan Sosial, Kesehatan, Program Prioritas, Dukungan UMKM dan Korporasi dan Insentif Usaha. Khusus untuk meningkatkan daya beli (purchasing power) masyarakat menengah-kecil yang diperkirakan akan turun kembali, pemerintah mengucurkan kembali bantuan sosial tunai (BST) dengan anggaran Rp6,1 triliun. Selain BST untuk 10 juta keluarga selama 2 bulan, pemerintah juga memperpanjang pemberian diskon tarif listrik selama 3 bulan bagi 32,6 juta pelanggan. Demikian pula pemberian kuota internet kepada 27,67 juta pelajar, mahasiswa, tenaga pengajar dan dosen.
baca juga: Kunci Pemulihan Ekonomi, Kebangkitan UMKM Perempuan Jadi Perhatian
Kedua, ingat bahwa ketika pemerintah fokus untuk menangkis serbuan kasus Covid-19, sudah selayaknya bagi BI untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap rencana pengetatan kebijakan moneter (tapering off) oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Apa bentuk pengetatan itu? Suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate/FFR) yang kini 0,25% diperkirakan akan segera naik ketika pertumbuhan ekonomi AS kian tinggi. Apa potensi risikonya? Dana panas (hot money) yang tersimpan rapih di negara berkembang termasuk Indonesia bisa terbang pulang kampung kembali ke AS (capital outflow). Akibat berikutnya, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS bisa terdepresiasi (melemah) yang kini mencapai Rp14.253 per 6 Oktober 2021.
baca juga: Efisiensi Sektor Logistik Percepat Pemulihan Ekonomi Akibat Pandemi
Ketiga, oleh karena itu, peran bank makin dituntut untuk menyalurkan kredit lebih deras ke UMKM. Mengapa? Karena segmen itu mampu menyerap 100 juta lebih tenaga kerja sehingga mengurangi tingkat pengangguran. Hendaknya bank tak hanya asal aman (safety player) dalam berbisnis. Namun bank harus berani ambil risiko yang telah diperhitungkan (calculated risk). Bank dituntut untuk berani menghadapi perubahan dengan bertindak adaptif dan kreatif dengan membiayai sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja (Paul Sutaryono, Koran Tempo, 5 Juli 2021).
baca juga: Resmi Dibuka, Toraja Highland Festival Diharap Dorong Pemulihan Ekonomi
Keempat, ada kabar gembira bahwa kredit perbankan (bank umum tak termasuk bank umum syariah) sudah mengalami pertumbuhan positif 0,18% (yoy) dari Rp5.301,45 triliun per Juli 2020 menjadi Rp5.311,07 triliun per Juli 2021. Dana pihak ketiga tumbuh jauh lebih tinggi 10,08% dari Rp6.018,48 triliun menjadi Rp6.624,92 triliun. Sarinya, likuiditas perbankan melimpah tetapi kucuran kredit masih seret. Harap catat bahwa pertumbuhan kredit perbankan yang positif itu mencerminkan PPKM telah berjalan pada rel yang benar sekaligus menegaskan bahwa sektor riil mulai bergairah kembali. Sungguh, hal tersebut merupakan asa baru bahwa pertumbuhan kredit perbankan akan semakin subur sehingga mampu menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional.
baca juga: Dorong Pemulihan Ekonomi, Dispar Makassar Gagas Lorong Wisata di 14 Kecamatan
Kelima, terkait dengan restrukturisasi kredit (saran ke-7), bank harus memasang kuda-kuda lebih kokoh lantaran restrukturisasi kredit bisa menjadi bom waktu bagi bisnis perbankan nasional. Bom itu bisa meledak ketika kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang kini mencapai 3,35% per Juli 2021 semakin mendaki. NPL itu memang masih di bawah ambang batas aman 5%, namun kenaikan NPL merupakan lonceng bahaya bagi bank. Akibatnya, cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) bakal naik yang kemudian menggerus modal. Padahal modal merupakan elemen penting bagi sektor jasa keuangan yang justru wajib terus dikerek lebih tinggi lagi. Intinya, bank harus terus meningkatkan penerapan manajemen risiko dalam mengucurkan kredit dalam masa pandemi ini.
Judul: Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi
Penulis: 41 penulis
Penerbit: INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Mei 2020
Ukuran: 337 halaman, 15 x 23 cm
ISBN: 9-786025-063688
baca juga: Kunci Pemulihan Ekonomi, Kebangkitan UMKM Perempuan Jadi Perhatian
Kedua, ingat bahwa ketika pemerintah fokus untuk menangkis serbuan kasus Covid-19, sudah selayaknya bagi BI untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap rencana pengetatan kebijakan moneter (tapering off) oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Apa bentuk pengetatan itu? Suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate/FFR) yang kini 0,25% diperkirakan akan segera naik ketika pertumbuhan ekonomi AS kian tinggi. Apa potensi risikonya? Dana panas (hot money) yang tersimpan rapih di negara berkembang termasuk Indonesia bisa terbang pulang kampung kembali ke AS (capital outflow). Akibat berikutnya, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS bisa terdepresiasi (melemah) yang kini mencapai Rp14.253 per 6 Oktober 2021.
baca juga: Efisiensi Sektor Logistik Percepat Pemulihan Ekonomi Akibat Pandemi
Ketiga, oleh karena itu, peran bank makin dituntut untuk menyalurkan kredit lebih deras ke UMKM. Mengapa? Karena segmen itu mampu menyerap 100 juta lebih tenaga kerja sehingga mengurangi tingkat pengangguran. Hendaknya bank tak hanya asal aman (safety player) dalam berbisnis. Namun bank harus berani ambil risiko yang telah diperhitungkan (calculated risk). Bank dituntut untuk berani menghadapi perubahan dengan bertindak adaptif dan kreatif dengan membiayai sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja (Paul Sutaryono, Koran Tempo, 5 Juli 2021).
baca juga: Resmi Dibuka, Toraja Highland Festival Diharap Dorong Pemulihan Ekonomi
Keempat, ada kabar gembira bahwa kredit perbankan (bank umum tak termasuk bank umum syariah) sudah mengalami pertumbuhan positif 0,18% (yoy) dari Rp5.301,45 triliun per Juli 2020 menjadi Rp5.311,07 triliun per Juli 2021. Dana pihak ketiga tumbuh jauh lebih tinggi 10,08% dari Rp6.018,48 triliun menjadi Rp6.624,92 triliun. Sarinya, likuiditas perbankan melimpah tetapi kucuran kredit masih seret. Harap catat bahwa pertumbuhan kredit perbankan yang positif itu mencerminkan PPKM telah berjalan pada rel yang benar sekaligus menegaskan bahwa sektor riil mulai bergairah kembali. Sungguh, hal tersebut merupakan asa baru bahwa pertumbuhan kredit perbankan akan semakin subur sehingga mampu menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional.
baca juga: Dorong Pemulihan Ekonomi, Dispar Makassar Gagas Lorong Wisata di 14 Kecamatan
Kelima, terkait dengan restrukturisasi kredit (saran ke-7), bank harus memasang kuda-kuda lebih kokoh lantaran restrukturisasi kredit bisa menjadi bom waktu bagi bisnis perbankan nasional. Bom itu bisa meledak ketika kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang kini mencapai 3,35% per Juli 2021 semakin mendaki. NPL itu memang masih di bawah ambang batas aman 5%, namun kenaikan NPL merupakan lonceng bahaya bagi bank. Akibatnya, cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) bakal naik yang kemudian menggerus modal. Padahal modal merupakan elemen penting bagi sektor jasa keuangan yang justru wajib terus dikerek lebih tinggi lagi. Intinya, bank harus terus meningkatkan penerapan manajemen risiko dalam mengucurkan kredit dalam masa pandemi ini.
Judul: Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi
Penulis: 41 penulis
Penerbit: INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Mei 2020
Ukuran: 337 halaman, 15 x 23 cm
ISBN: 9-786025-063688