Mengatasi Pandemi, Menyuburkan Pertumbuhan Ekonomi

Sabtu, 16 Oktober 2021 - 07:59 WIB
loading...
Mengatasi Pandemi, Menyuburkan...
Mengatasi Pandemi, Menyuburkan Pertumbuhan Ekonomi
A A A
Paul Sutaryono
Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan &
Mantan Assistant Vice President BNI

Pandemi Korona telah membumihanguskan harapan seluruh dunia yang mengakibatkan ekonomi global terancam tumbuh negatif (kontraksi). Korona yang menerjang Indonesia mulai Februari 2020 telah menjangkiti tak kurang dari 217 negara.

baca juga: Menyeluruh, Pertumbuhan Ekonomi Global Diproyeksi Turun di 2021


Nah, buku Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi yang merupakan kumpulan 43 artikel yang ditulis 41 pakar ini telah memberikan aneka sumbang saran kepada pemerintah Indonesia untuk mengatasi Pandemi Korona. Buku setebal 337 halaman ini merangkum sejumlah pemikiran dan gagasan reforma ke depan dari berbagai perspektif: ekonomi, agama dan filsafat. Buku ini juga merangkum analisis terhadap penanganan pandemi dan sejumlah tawaran solusi di tingkat mikro dan praksis kebijakan publik. Jangan lupa bahwa buku ini telah disampaikan kepada pemerintah sebagai sumbang saran para pakar yang dirangkum Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).

baca juga: Strategi Kemandirian Industri Baja Dukung Pertumbuhan Ekonomi

Apa saja sumbang saran para pakar terkait dengan ekonomi, keuangan dan perbankan? Pertama, pandemi akan melemahkan ekonomi global. Menurut Morgan Stanley, Goldman Sach, IMF, ekonomi global akan tertekan 0,9% hingga 1,25% yang semula 3%. AS akan lebih buruk minus 2,4-30,1%. China antara 4-5,6% yang sebelumnya 6%. Ekonomi Indonesia pun akan terlanda. Untuk itu, pemerintah telah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan mengalokasikan anggaran R 405,1 triliun pada 31 Maret 2020. Alokasi anggaran itu meliputi Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp701 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Rp150 triliun untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

baca juga: Pertumbuhan Ekonomi di Area Bandara Sultan Hasanuddin Meningkat 30 Persen

Kedua, mengingat pandemi itu belum juga akan berakhir, alokasi anggaran itu dianggap kurang memadai. Kemudian pemerintah menggandeng Bank Indonesia (BI) untuk berbagi beban fiskal (burden sharing) dalam mengatasi pandemi. Ketiga, oleh karena itu, disarankan agar pemerintah segera merealokasikan proyek-proyek non prioritas seperti Pembangunan Ibu kota Baru, Kereta Cepat dan infrastruktur lainnya. Tentang PSBB, diingatkan bahwa hal itu akan berdampak pada aktivitas produksi. Artinya, permintaan menurun (demand shock) dan pasokan terganggu (supply shock). Akhirnya, relaksasi pajak impor dan percepatan restitusi kurang efektif.

Keempat, pemerintah pun disarankan untuk fokus menanggulangi wabah dan upaya pencegahan penularan terutama di perkotaan karena sekitar 55% penduduk berada di perkotaan. Pemerintah perlu memperluas program bantuan langsung tunai (BLT), program keluarga harapan (PKH) dan bantuan pangan non tunai (BPNT). Program itu akan sangat membantu ketika makin banyak orang kehilangan pekerjaan. Kelima, itu semua membutuhkan biaya besar sehingga defisit anggaran dinaikkan.

baca juga: Pertumbuhan Ekonomi di Atas Rata-rata Nasional, Ini yang Dilakukan Banten

Stimulus fiskal lebih baik pada sektor kesehatan dan bantuan sosial penanggulangan wabah. Semua stimulus hendaknya melihat situasi, urutan prioritas dan waktu. Ingat, bahwa kerentanan sendi mikroekonomi paling pokok adalah kehilangan kapasitas permodalan bagi usaha kecil dan informal. Karena itu, disarankan agar program Pembiayaan UMi (ultra mikro), Permodalan Nasional Madani (PNM) Mekaar, Bank Wakaf Mikro, Lembaga Pengelola Dana Bergulir wajib lebih diintensifkan. Program Kartu Prakerja perlu diperluas pada angkatan kerja baru.

baca juga: Pemulihan Ekonomi Global dan Domestik Jadi Penggerak IHSG

Keenam, dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi terdapat beberapa skenario, yakni bentuk V: pola penurunan yang segera diikuti pemulihan secara cepat. Lalu, bentuk U: pola penurunan yang diikuti perlambatan cukup panjang sebelum akhirnya bangkit kembali. Kemudian, bentuk L: pola penurunan yang tak pernah diikuti pemulihan. Terkait dengan itu, pemerintah disarankan agar kebijakan ekonomi lebih berorientasi pada korban yakni mengupayakan keselamatan dan kesehatan manusia. China salah satu negara yang berhasil dalam memitigasi virus korona dengan memaksa penduduk untuk melakukan isolasi mandiri dengan disiplin tinggi.

baca juga: Indonesia-Turki Perkuat Kerja Sama di Bidang Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi

Ketujuh, disarankan pula untuk dilakukan restrukturisasi kredit perbankan dan non perbankan seperti perusahaan pembiayaan. Langkah ini amat membantu bank dan non bank dalam menahan tekanan kredit bermasalah (non performing loan/NPL) dan arus kas nasabah. BI pun wajib menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan untuk mendukung PEN. Bank disarankan untuk terus menggeber penyaluran kredit selain menaikkan tingkat efisiensi untuk memenangi persaingan di tengah badai ekonomi. Apalagi pemerintah sudah mengucurkan insentif berupa penjaminan, penurunan suku bunga acuan, penipisan uang muka KPR dan kredit otomotif. Sungguh, buku ini sarat dengan sumbang saran sehingga patut disimak!

baca juga: Percepat Pemulihan Ekonomi, Erick Thohir Minta Apindo Jabar Bangun Roadmap Bersama

Bagaimana relevansinya dengan kondisi saat ini ketika pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat mulai 3 Juli 2021 yang kemudian terus diperpanjang? Apakah pelbagai sumbang saran tersebut telah dilakukan pemerintah? Ya! Namun, masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, lonjakan kasus positif Covid-19 kali ini bersumber dari kluster mudik padahal pemerintah sudah melarang masyarakat untuk mudik. Selain itu, hal itu juga disebabkan oleh serbuan varian Corona Delta dan Mu yang lebih menular dan berbahaya. Sebaliknya, masyarakat masih belum menerapkan protokol kesehatan dengan baik dan benar.

baca juga: RI Butuh Banyak Orang dengan Gelar Doktoral Demi Pemulihan Ekonomi


Vaksinasi pun belum mampu menyentuh sebagian besar penduduk sehingga belum tercipta imunitas komunal (herd immunity). Padahal tingkat pencapaian vaksinasi yang tinggi akan sangat membantu dalam menggairahkan ekonomi nasional. Sejatinya, PPKM Darurat itu sejalan dengan sumbang saran ke-6 bahwa kebijakan ekonomi agar lebih berorientasi pada korban yakni mengupayakan keselamatan dan kesehatan manusia. Tetapi PPKM juga dapat membuat banyak perusahaan untuk mengerem kapasitas produksi sehingga arus kas (cash flow) akan terganggu. Untunglah, debitur yang terpapar pandemi sudah mengajukan restrukurisasi kredit.

baca juga: Dukung Pemulihan Ekonomi, Kemlu RI Garap Pasar Eropa Tengah dan Timur

Tentu, pertumbuhan ekonomi bisa tertekan. Oleh karena itu, pemerintah telah menambah Rp225,54 triliun sebagai anggaran program PEN dari Rp699,43 triliun menjadi Rp924,97 triliun. Anggaran itu untuk membiaya program Perlindungan Sosial, Kesehatan, Program Prioritas, Dukungan UMKM dan Korporasi dan Insentif Usaha. Khusus untuk meningkatkan daya beli (purchasing power) masyarakat menengah-kecil yang diperkirakan akan turun kembali, pemerintah mengucurkan kembali bantuan sosial tunai (BST) dengan anggaran Rp6,1 triliun. Selain BST untuk 10 juta keluarga selama 2 bulan, pemerintah juga memperpanjang pemberian diskon tarif listrik selama 3 bulan bagi 32,6 juta pelanggan. Demikian pula pemberian kuota internet kepada 27,67 juta pelajar, mahasiswa, tenaga pengajar dan dosen.

baca juga: Kunci Pemulihan Ekonomi, Kebangkitan UMKM Perempuan Jadi Perhatian


Kedua, ingat bahwa ketika pemerintah fokus untuk menangkis serbuan kasus Covid-19, sudah selayaknya bagi BI untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap rencana pengetatan kebijakan moneter (tapering off) oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Apa bentuk pengetatan itu? Suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate/FFR) yang kini 0,25% diperkirakan akan segera naik ketika pertumbuhan ekonomi AS kian tinggi. Apa potensi risikonya? Dana panas (hot money) yang tersimpan rapih di negara berkembang termasuk Indonesia bisa terbang pulang kampung kembali ke AS (capital outflow). Akibat berikutnya, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS bisa terdepresiasi (melemah) yang kini mencapai Rp14.253 per 6 Oktober 2021.

baca juga: Efisiensi Sektor Logistik Percepat Pemulihan Ekonomi Akibat Pandemi

Ketiga, oleh karena itu, peran bank makin dituntut untuk menyalurkan kredit lebih deras ke UMKM. Mengapa? Karena segmen itu mampu menyerap 100 juta lebih tenaga kerja sehingga mengurangi tingkat pengangguran. Hendaknya bank tak hanya asal aman (safety player) dalam berbisnis. Namun bank harus berani ambil risiko yang telah diperhitungkan (calculated risk). Bank dituntut untuk berani menghadapi perubahan dengan bertindak adaptif dan kreatif dengan membiayai sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja (Paul Sutaryono, Koran Tempo, 5 Juli 2021).

baca juga: Resmi Dibuka, Toraja Highland Festival Diharap Dorong Pemulihan Ekonomi

Keempat, ada kabar gembira bahwa kredit perbankan (bank umum tak termasuk bank umum syariah) sudah mengalami pertumbuhan positif 0,18% (yoy) dari Rp5.301,45 triliun per Juli 2020 menjadi Rp5.311,07 triliun per Juli 2021. Dana pihak ketiga tumbuh jauh lebih tinggi 10,08% dari Rp6.018,48 triliun menjadi Rp6.624,92 triliun. Sarinya, likuiditas perbankan melimpah tetapi kucuran kredit masih seret. Harap catat bahwa pertumbuhan kredit perbankan yang positif itu mencerminkan PPKM telah berjalan pada rel yang benar sekaligus menegaskan bahwa sektor riil mulai bergairah kembali. Sungguh, hal tersebut merupakan asa baru bahwa pertumbuhan kredit perbankan akan semakin subur sehingga mampu menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional.

baca juga: Dorong Pemulihan Ekonomi, Dispar Makassar Gagas Lorong Wisata di 14 Kecamatan

Kelima, terkait dengan restrukturisasi kredit (saran ke-7), bank harus memasang kuda-kuda lebih kokoh lantaran restrukturisasi kredit bisa menjadi bom waktu bagi bisnis perbankan nasional. Bom itu bisa meledak ketika kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang kini mencapai 3,35% per Juli 2021 semakin mendaki. NPL itu memang masih di bawah ambang batas aman 5%, namun kenaikan NPL merupakan lonceng bahaya bagi bank. Akibatnya, cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) bakal naik yang kemudian menggerus modal. Padahal modal merupakan elemen penting bagi sektor jasa keuangan yang justru wajib terus dikerek lebih tinggi lagi. Intinya, bank harus terus meningkatkan penerapan manajemen risiko dalam mengucurkan kredit dalam masa pandemi ini.

Judul: Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi
Penulis: 41 penulis
Penerbit: INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Mei 2020
Ukuran: 337 halaman, 15 x 23 cm
ISBN: 9-786025-063688
(ymn)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1998 seconds (0.1#10.140)